Al-Ghazali dalam Mosaik Intelektual Islam

 

Ashrambangsanews
Dalam perjalanan intelektual Islam, nama Al-Ghazali tentu tidak asing lagi. Apalagi di kalangan warga nahdliyin, ia menjadi kiblat tasawuf bagi ormas Islam terbesar di Indonesia. Kiprahnya dalam Islam begitu banyak bahkan ia diklaim mampu merekonsiliasi perseteruan antara para yuris Islam dan para sufi yang dahulu kontradiktif. Sebut saja, Al-Hallaj seorang sufi besar itu tewas mengenaskan di tiang gantung setelah sebelumnya diadili oleh para ahli syariat. Lewat magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin, upaya mendamaikan antar dua entitas itu bisa dikatakan sukses.

Dalam Ihya’ Al-Ghazali mengkombinasikan antara fikih dan tasawuf. Metode penulisan yang seperti ini hampir tidak pernah dijumpai dalam buku-buku islam klasik sebelumnya. Begitu proposional ia menempatkan letak pembahasan antara ilmu materiil dan imateriil. Dalam menentukan judul di tiap babnya, ia memilih diksi yang mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada titik diferensial antar tiap ilmu keislaman.

Jika dalam kitab konvensional lain berbunyi ‘hukum-hukum sholat’ maka berbeda dengan Al-Ghazali, ia justru memilih diksi ‘rahasia-rahasia sholat’, kemudian menjelaskan tentang syarat yang berkaitan dengan luar diri (zahir) lantas menjelaskan syarat yang berkaitan dengan dalam diri (batin). Inilah yang dewasa ini barangkali disebut dengan integrasi-interkoneksi dalam catur keilmuan islam.

Al-Ghazali merupakan sosok yang komplit dan sukar ditemukan padanannya. Ia ahli dalam banyak bidang keilmuan Islam. Ia seorang filsuf, dibuktikan dengan karyanya yang bernama Maqasid Al-Falasifah dan Tahafut Al-Falasifah. Buku kedua ini yang di masa mendatang dikomentari oleh Ibnu Rusyd dengan judul Tahafut At-Tahafut. Al-Ghazali ahli di bidang tasawuf. Ia menganggit banyak sekali buku-buku tasawuf seperti, Ihya’ Ulumiddin, Minhajul Abidin dan Misykatul Anwar.

Dalam ushul fikih, ia mengarang buku Al-Mustshfa fi Ilm Al-Ushul yang menjadi referensi metode pengambilan hukum islam ala mazhab Syafi’i. Al-Ghazali juga seorang fukaha, ia mengarang buku Al-Wajiz dan Al-Basith. Ia juga seorang teolog, dengan karaynya yang masyhur, Al-Iqtiqod fil Al-Iqtishod. Ia juga pernah mengomentari kelompok yang menuduhnya sesat dalam akidah, sehingga muncul buku yang berjudul Faishal At-Tafriqah.

Di Al-Munqid min Al-Dlalal yang merupakan autobiografinya, ia menyebutkan ada empat model ‘pencari Tuhan’. Pertama, teolog. Kedua, ahli kebatinan. Ketiga, filsuf. Keempat, sufi. Ajaibnya, secara runtut ia memperlajar fase itu semua. Setelah dirasa bahwa teologi tidak cukup dijadikan sebagai metode ‘mencari tuhan’, ia kemudian mempelajari ilmu kebatinan yang sangat popular di kalangan Syiah Ismailiyah. Tetapi baginya ajaran ini masih belum bisa menunjukan hakikat Tuhan.

Sembari mengajar di madrasah Nizamiyah dengan tiga ratus murid yang kesemuanya adalah ulama’, secara otodidak Al-Ghazali mempelajari inti filsafat. Sama seperti sebelumnya, filsafat juga masih belum mampu menjawab hakikat ketuhanan. Pada akhirnya ia mempelajari ilmu tasawuf. Baginya tasawuf mampu mengkombinasikan antara ilmu dan praktek. Hasil dari praktek itu bersih dari etika buruk yang puncaknya nanti adalah hati nurani yang hanya terisi Tuhan.

Meski banyak dedikasi yang diberikan olehnya, tidak sedikit pula orang yang mencercanya. Bahkan disebut bahwa Al-Ghazali adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kemunduran peradaban islam. Adapun dalihnya adalah bahwa dengan corak tasawufnya manusia menjadi membenci dunia (dzamm ad-dunya), hidup tidak realistis karena senantiasa berteodisi, mengikutsertakan Tuhan dalam mobilitas kehidupan. Ini yang membuat manusia, secara khusus muslim bermalas-malasan dalam semangat intelektual.

Kendati pun demikian, kritik dan cercaan itu muncul jauh setelah wafatnya Al-Ghazali. Sehingga jawaban yang cocok untuk menanggapi hal itu adalah perkataan bijak bestari Arab, Idza Ikhtalafa An-nasu baina qadihin wa madihin, fa’lam annaka tatakallam an syakhsin adzim. (Ketika ada manusia yang mencaci dan memuji, maka ketahuilah mereka sedang membicarakan seorang yang mulia). Pemikiran Al-Ghazali sampai sekarang tak pernah habis dibahas, ini lah bukti bahwa sisa peradaban islam masih menyala.

Penulis: iMusthafa Kamal, anggota rayon Ashram Bangsa 2022

0 Response to "Al-Ghazali dalam Mosaik Intelektual Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel