RUU KUHP: Sebuah Cita Urgensi Kemandirian Hukum Indonesia

 

Ashrambangsanews
Sebuah rancangan undang-undang baru masih segar, menyapa kabar baik Indonesia yang akan mempunyai corak hukum tersendiri bagi Indonesia. Merupakan salah satu negara yang paling banyak menganut sistem hukum, terlihatnya begitu beraneka ragam sistem yang telah mewarnai hukum di Indonesia. Dimulai dari sistem hukum Eropa, hukum Anglo saxon, hukum Adat, dan hukum Agama.

Dari sekian banyak sistem yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia sebagian besar bersumber atau merujuk pada sistem hukum Eropa khususnya ialah Belanda, mengingat bahwa Belanda telah menjajah negeri ini kurang lebih 3 abad sehingga masuk akal jika meninggalkan begitu banyak dinamika sejarah. Kini penjajahan Belanda kepada Indonesia secara fisik telah berakhir. Namun dengan berakhirnya penjajahan Belanda tersebut tidak serta merta tidak meninggalkan dampak apapun untuk Indonesia, tidak terkecuali ialah meninggalkan jejaknya dalam hal sistem hukum di Indonesia, karena cukup masuk akal, dijajah selama berabad-abad tentunya pasti akan ada yang ditinggalkannya, dampaknya ialah Indonesia tidak bisa lepas dari sistem hukum hasil produk Belanda.

Begitu berwarnanya sistem hukum di Indonesia tidak serta merta menjadikan hukum di Indonesia menjadi kaya akan sumber hukum namun disamping itu juga melahirkan problematika dalam sistem hukum nasional. Problematika sistem hukum nasional ini ditandai dengan diterapkannya berbagai sistem hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sebagaimana telah disebutkan diatas terdapat beberapa sistem hukum yang mempengaruhi sistem hukum di Indonesia.

Jika dilihat secara general, sistem hukum yang paling mendominasi warna dari sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum Eropa khususnya adalah Belanda yang secara yuridis masih berlaku. Sebagai contoh konkrit ialah di ranah pidana dengan digunakannya unifikasi hukum pidana yang di berlakukan pada 1 januari 1918 hingga sekarang, yang merupakan copy dari hukum pidana Belanda yang diadopsi dari hukum prancis yakni code penal dengan beberapa perubahan seperti hukuman mati dan hukuman terendah dihapus. Padamulanya hukum pidana Belanda ini di berlakukan untuk orang Eropa pada tahun 1867 lalu di bawa ke Indonesia dan terjadilah pecampuran dengan hukum Indonesia. Maka dari itu sumber hukum pidana yang digunakan adalah KUHPidana atau Wetboek van Strafrech (WvS).

Urgensi Reformasi KUHP (Belanda)

Dalam perspektif hukum pidana yang telah melebur dalam kehidupan bangsa Indonesia, Indonesia memakai sistem hukum belanda sudah lebih dari 222 tahun yang KUHP sejak dibuatnya 1800 tahun. Hal ini merupakan sebuah hukum aliran klasik yang mengartikan sebuah kepentingan individu atau kekuasaan Belanda dulu, sama sekali bukanlah suatu kepentingan masyarakat bahkan negara. Adalah sebagai wujud upaya Belanda dengan menggunakan instrumen hukum pidana sebagai lestalionis. Hal ini jelas menempatkan hukum pidana sebagai garda hukum kekuasaan terdahulu guna melancarkan aksi jajahannya.

 

Seara tidak langsung, hukum Indonesia yang terpengaruh dengan sistem hukum Belanda adalah hukum perdata. Hukum perdata Indonesia terkodifikasi dalam kitab undang-undang hukum perdata yang berasal dari Eropa, dibawa ke Indonesia oleh Belanda pada masa penjajahan. Hukum perdata yang dibawa oleh Belanda ini berasal dari negara Prancis. Ketika Prancis menjajah Belanda, hukum perdata Prancis diberlakukan di Belanda sebagai negara jajahan Prancis. Dikarenakan Belanda kemudian menjajah Indonesia, maka hukum perdata Belanda diberlakuakan di Indonesia (Sri Harini Dwiyatma, 2013 : 42).

 

Sedangkan, sumber pokok hukum perdata Belanda yang dibawa ke Indonesia ialah kitab undang-undang sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek (BW) yang sebagian besar -sebagaimana telah disebutkan pada paragraf sebelumnya- bersumber dari hukum Prancis, yaitu code napoleon. Dengan ini maka di berlakukannya hukum Belanda di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi, yakni pemberlakuan hukum negara penjajah pada negara jajahan.

 

Selain itu, beberapa alasan penting akan dilakukannya sebuah perubahan baru terhadap hukum yang saat ini sedang berlaku di Indonesia. Pertama, Paradigma hukum klasik. Sepantasnya untuk dilakukan sebuah revolusi hukum yang memberikan feed back nyata terhadap masyarakat Indonesia. Kedua, Indonesia memasuki era disrupsi. Sebuah regulasi yang menekan adanya dinamisasi hukum yang menempatkan hukum harus melihat ke depan (Lex prospicit, no respicit). Kemudian yang ketiga, terdapat beberapa hal yang jarang disadari adalah terjemahan hukum yang kita pakai tidak sesuai antar sesama pakar hukum Indonesia.

 

Sebuah probletika kompleks, hukum yang multi-tafsir ini beredar dalam seluruh elemen lembaga negara, institusi, bahkan dalam sistem trias politika Indonesia; terjemahan oleh Muliatno, Adi Hamzah, dan ada pula yang diterjemahkan oleh R. Susilo. Barangakali kita berfikir, bahwa di dalamnya terdapat perbedaan yang sangat signifikan. Misalnya dalam sebuah persidangan, hal pertanyaan sederhana, pada siapa terjemahan dalam mekanisme persidangan berkiblat?

 

Maka, dalam hal ini, urgensi atas diadakannya RUU KUHP menjadi suatu kabar gembira bagi masyarakat Indonesia, khususnya dalam merealisasikan cita-cita hukum Indonesia.

 

Menyikapi Kontroversial RUU KUHP

Pada dasarnya, ada sebuah riset yang dijelaskan oleh Akbar Faizal, seorang politisi hukum yang menyatakan adanya RUU KUHP ini merupakan sebuah undang-undang baru. Dalam kajiannya, terdapat beberapa perbandingan struktur KUHP dan RUU KUHP. Sejauh KUHP yang dipakai saat ini adalah memuat 49 Bab, dan 569 Pasal. Sedangkan RUU KUHP memuat 42 Bab, dan 628 Pasal.

 

Rangkuman KUHP saat ini yaitu memuat aturan umum (9 bab 103 pasal), kejahatan (31 bab 385 pasal), dan pelanggaran memuat (9 bab 81 pasal). Kemudian dalam RUU KUHP terdapat aturan umum (6 bab 187 pasal), dan tindak pidana (36 bab, 441 pasal). Ini merupakan pasal yang sangat memberikan corak pembaharuan hukum di Indonesia.

Kemudian dalam pasal-pasal yang kontroversial, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP menjadi hal urgent untuk dilakukan sebuah perbaikan. Melihat bagaimana produk hukum pidana yang masih belum maksimal dalam pengaturan maupun penegakkannya dilapangan, maka perbaikan-perbaikan harus dilakukan. Bahkan menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM sendiri mengatakan bahwa, KUHP yang saat ini berlaku penuh dengan ketidakpastian.

 

Maka urgesi atas dibentuknya RUU KUHP ini tentunya juga perlu pemerintah untuk melihat masyarakat sebagai pondasi masyarkat hukum yang melangsungkan hak dan kewajibannya dalam negara yang berlandaskan demokrasi.

 

Oleh: Lailur Rahman Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 Response to "RUU KUHP: Sebuah Cita Urgensi Kemandirian Hukum Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel