KEMANA GUS DUR DI TUBUH PMII SEKARANG?
(Romantisme PMII dan Gus Dur)
Tak asing lagi di benak kita tentang sosok seorang KH. Abdurahman Wahid
atau akrab disebut Gus Dur. Sang pendekar toleransi beragama, mantan presiden
RI ke 4, mantan Ketua Umum PBNU 1984-1999 dan banyak lagi capaian figure satu
ini.
Sebagai seorang kyai, khazanah intelektual Islam ala Gus Dur banyak
memberikan kontribusi dahsyat dalam perkembangan keislaman. Tak jarang, saking
majunya pikiran Gus Dur justru banyak menimbulkan kontroversi di kalangan
kyai-kyai konservatif lainnya. Bahkan dalam buku karangan Muhammad Najih
Maimoen (Gus Najih, putra Mbah Moen Rembang), nama Gus Dur masuk dalam nominasi
tokoh liberal pertama di kalangan NU.
Meski kecaman dan tuduhan ‘sesat’ kerap menyasar Gus Dur, namun ia tetap
tegar dan tak gentar barang sedikit pun. Ironisnya, tuduhan yang kerap kali
dialamatkan pada Gus Dur justru datang dari orang yang paham agamanya lebih
dangkal. Dalam sebuah
kesempatan Gus Dur pernah berkata: “Kalian ini tau apa. Ini belum seberapa.
Hadaratusyaikh (KH. Hasyim Asy’ari) saja tetap berjuang meski setengah badannya
lumpuh”.
Dalam kaitannya dengan PMII, Gus Dur serupa nabi bagi
kader PMII. Begitu bunyi tulisan karya Malik Haramain dalam buku “PMII di
Simpang Jalan?”. Tak berlebihan kiranya seorang Gus Dur diibaratkan demikian. Gus
Dur membuat semangat kritisisme PMII bangkit. Di tahun 80-an Gus Dur yang mulai
aktif menulis ihwal NU dari pelbagai sudut pandang misalnya, dari prespektif
kebudayaan, sosial dan politik merupakan poros awal tradisi kritis di kalangan
PMII.
Di saat itu, kader-kader PMII mulai percaya diri untuk
tidak stagnan pada kultur tradisional ala NU. Maklum saja, PMII yang terikat dengan NU secara
kultural agaknya sempat terpengaruh dengan cara pikir tradisional NU. Mereka
bahkan berani mempertanyakan persoalan fundamental yang ada dalam tubuh NU.
Demikian itu jelas membuat kyai sepuh kala itu naik pitam dan menganggap
PMII telah keluar dari pakem Islam tradisional NU. Namun karena saat itu Gus
Dur masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, kader PMII merasa mendapatkan
payung perlindungan atas kecaman ulama sepuh NU.
Pergulatan intens dengan pemikiran Gus Dur dan berbagai pemikiran yang
mengusung corak Islam liberal membuat liberalitas dan radikalitas PMII semakin
menjadi-jadi. Pada awal dekade 90-an muncul tokoh-tokoh misalnya, Ulil Abhsar
Abdalla, Mun’iem DZ dan Ahmad Baso. Referensi bacaan kader PMII di masa itu sungguh sangat ‘mengerikan’ sekali.
Dalam pemikiran Islam Kiri menganut cara pikir Hassan Hanafi, kritik nalar
Islam ala Mohammed Arkoun, teologi pembebasannya Ashgar Ali Enginer, kritik Ulum
Al-Quran gaya Nasr Hamid Abu Zaid hingga post-tradisionalis ala Muhammad
Abied Al-Jabiri.
Kemana kah pemikiran Gus Dur di kalangan PMII? Atau
tepatnya kemana kader PMII dalam pikiran-pikiran Gus Dur?
Tak cukup kiranya hanya dengan mengetahui sedikit dari
biografi seorang Gus Dur menjadikan kader PMII mampu menyelami samudera
pemikiran Gus Dur. Kesampingkan dahulu persoalan pemikiran Islam di PMII. Tokoh
sebesar Gus Dur saja saat ini agaknya mulai asing di benak kader PMII. Padahal
sumbangsih Gus Dur terhadap tradisi kritik PMII sangat lah besar dan dahsyat
sekali. Ini merupakan tamparan keras untuk kader PMII saat ini.
Penulis tidak sedang membicarakan minat serta bakat dan
kecenderungan kader PMII saat ini. Dekadensi daya kritis dan argumentatif yang
ada saat ini menjadi bahan evaluasi yang sangat besar bagi PMII. Tak hanya mandeg
pada materi Aswaja saja. Kader PMII seyogyanya harus kembali ke nenek
moyang ideologinya yakni, Gus Dur. Toh, dengan
begitu cara pandang terhadap ideologi Aswajanya justru akan lebih menguat.
Akhirnya, mari hadirkan kembali ruang pikiran tokoh
seperti Gus Dur di ruang PMII saat ini. Tulisan ini penulis haturkan untuk hari
ulang tahun Gus Dur dan auto kritik terhadap kader PMII sekarang.
Penulis: Mustafa K.
Redaktur: A R Ridha
0 Response to "KEMANA GUS DUR DI TUBUH PMII SEKARANG? "
Post a Comment