Belajar Pluralisme Hukum ala Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wenner Menski
Gus Dur, “pemikir alam” penulis menyebutnya. Karena
pemikirannya telah mendobrak sendi-sendi kebuntuan ummat manusia. Alfatihah
untuk Gus Dur. Selamat memperingati haul yang ke14 Gus Dur bagi semua ummat
beragama.
Berbicara tentang Gus Dur, penulis yakin bakal
habis jika kiamat telah tiba. Yah, bisa jadi barengan dengan warung madura
tutupnya, yang katanya tetep akan buka setengah hari pas hari kiamat. Namun,
penulis tidak akan membahas kiamat pada tulisan ini. Penulis akan mengajak
kepada para pembaca untuk mendobrak sistem hukum yang di anut oleh Indonesia,
yakni civil law dan bagaimana jika pemikiran Gus Dur dan Wenner Menski tentang
pluralisme di internalisasi di dalamnya.
Pertama, rasa syukur dan ucapan terimakasih
kepada orang-orang Romawi abad VII sampai abad ini, karena kecerdasan dan
keberanian mereka mendobrak tembok-tembok doktrin menyesatkan mampu di
runtuhkan. Hal tersebut menjadi bukti sejarah bahwa pernah ada suatu peradaban
yang begitu gemilang.
Berbicara sejarah, sebetulnya antara
sejarah hukum, bahkan budaya pemikiranpun hanya sebatas pendikotomian kajian
keilmuan agar lebih gampang. Adapun ruang lingkup sejarah biasanya terlingkup
pada tiga hal: Kronologis, geografis dan tematis. Tiga variable ini yang
biasanya digunakan oleh para ahli sejarah dalam membagi kajian keilmuan
sejarah.
Pola atau geografi hukum yang dianut oleh
negara-negara mesti dipengaruhi oleh kolonialisme. Misalnya, semenjak abad
pertengahan, sampai abad XII hukum di Inggris (common law) dan Eropa Daratan,
keseluruhannya bermuara dari hukum Jerman. Dan perubahan terjadi satu abad
kemudian, Eropa Continental menggunakan civil law karya Kaisar Agung Iustiniaus
Corpus Iuris Civilis. Dalam konteks Indonesia, secara pasti hukum yang dianut
adalah civil law, sebagai akibat dari kolonialisme Belanda ke Indonesia. karena
kolonialisme pun tidak sesempit perebutan kekuasaan, tetapi juga meliputi
pengkultusan budaya, hukum, bahkan paradigma berpikir.
Bersamaan dengan hal tersebut, hukum Islam
dan hukum adat sudah melekat jauh sebelum adanya penjajah. Oleh sebab itu,
hukum yang ada di Indonesia bervariasi: hukum adat asli, Islam dan civil law. Kenyataan
ini merupakan keberuntungan untuk Indonesia dan harus di akui secara sadar.
Namun, modernisasi hukum sebagai akibat dari globalisasi memformulasi hukum
pada tataran positvisme-prosedural. Yang tidak jarang terjadi paradoks; baik
secara teknis atau tujuan dari masing-masing hukum.
Dalam hal ini, penulis merekomendasikan
konsep pemikiran pluralisme Gus Dur dan pluralisme hukum ala Wenner Menski. Pluralisme
harus diakui sebagai realitas yang tidak bisa diganggu gugat. Keberagaman sejarah
yang Indonesia alami mengakibatkan bentuk masyarakat heterogen Indonesia dengan
berbagai nilai dan moral (monovalue). Dan disinilah pluralisme itu ada
sebagai kenyataan.
Gus Dur sebagai bapak pluralisme Indonesia
telah memperjuangkan pemahaman pluralisme atas realitas ini dengan penuh
pengorbanan. Bahkan, tidak jarang Gus Dur dipahamai oleh sebagian golongan
sebagai orang yang “ngadi-ngadi”. Mungkin, bagi orang petani desa hanya akan
menganggap “itu adalah sifat mistik Gus Dur” yang tau sebelum hal terjadi. Dan
itulah memang adanya. Sebagai muslim
yang terkenal dengan ketaatan dan selalu menjaga nilai-nilai Islam, Gus Dur
memiliki keyakinan akan keberagaman sebagai kepastian. Ia melihat Indonesia
bukan negara Islam, seperti yang diimpikan golongan Hizbu tahrir, tetapi
Indonesia adalah negara damai dan Islam sebagai agama mayoritas harus mengayomi
agama-agama lain.
Sebagai cendikiawan mulslim, gagasan
pluralisme Gus Dur terinspirasi dari sirah nabawiyyah, bagaimana Nabi
Muhamad bersikap dalam suasana perbedaan tekanan, tuntutan dan saling merebut
kekuasaan. Misalnya, dalam Piagam Madinah yang isinya tentang keniscayaan
perbedaan. Yang terpenting adalah tercapainya kedamaian seluas-luasnya. Pengaitan
pluralisme hukum ala Gus Dur berarti meskipun Indonesia bersistem civil law
(hukum positif), bukan berarti boleh mengabaikan hukum adat asli masyarakat
Indonesia. Apabila terjadi pertentangan keduanya, sikap yang harus diambil
adalah melihat apakah kepentingan hukum negara hanya sebatas prosedural, maka
yang didahulukan kepentingan hukum adat. Walaupun pada dasarnya norma yang
dipositifkan menjadi hukum adalah serapan dari hukum adat juga. Artinya, bukan
berarti tidak akan terjadi saling tarik-menarik antara keduanya.
Kemudian konsep pluralisme hukum ala Wenner Menskie berlingkup pada pemahaman atas kondisi suatu negara yang terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berjalan atau hidup berdampingan pada taraf sosial. Konsep ini menyatakan bahwa hukum/norma adat (agama, adat nasional) dengan hukum positif bisa berjalan berdampingan. Yang keseluruhannya sama-sama bertujuan menjalin interaksi norma agar terciptanya hukum yang adaptif. Berikut skema pluralisme hukum:
Gambar: Tiga norma pluralisme hukum
Dalam pandangan Winner Menski masyarakat heterogen
akan menghasilkan norma yang pluralisme, berbeda dengan negara-negara barat
yang lebih mengedepankan rasio-logis, sehingga mengeliminasi pengaruh perasaan
atau moralitas agama. Apabila kita kaji
antara Wenner Menski dan Gus Dur, spirit pluralisme harus benar-benar mampu di
internalisasi pada saat pembentukan dan penegakan hukum. Karena dimensi hukum
bukan sebatas ranah pembuatannya, tetapi penegakannya juga merupakan hal
penting.
Pada kesimpulannya, pluralisme hukum sangat
penting dipahami bukan sebatas teori, lebih daripada itu, pluraliesme hukum
adalah jawaban dari tantangan zaman yang antara satu norma dengan norma yang sering
terjadi paradoksial. Pluralisme hukum pula akan menyatukan perasaan hukum dalam
bingkai unity in diversity. Dan inilah yang harapkan oleh bangsa
Indonesia, dimana hukum asli masyarakat Indonesia dapat diperhatikan kembali oleh
negara.
Author: Hoirul Anam
Dedaktur: AR. Ridha
0 Response to "Belajar Pluralisme Hukum ala Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wenner Menski"
Post a Comment