Membangun Rumah Nyaman bagi Anak

 

CV Tirta Buana Media 

Judul Buku : Ia Tak Pernah Meminta untuk Dilahirkan

Penulis : Muhajjah Saratini

Penerbit : Laksana

Cetakan : Pertama, 2023

Tebal : 158 hlm. 

ISBN : 978-623-327-471-5

Peresensi: Moh. Rofqil Bazikh


Salah seorang penonton film Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang memberikan kesan yang sederhana. Menurutnya, rumah tidak senantiasa berbentuk bangunan, melainkan sebuah tempat di mana seseorang bebas menjadi dirinya sendiri. Ini rumus sederhana dari rumah yang tidak banyak diketahui penghuninya. Selama ini rumah hanya didefinisikan sebagai bentuk konkret. Padahal, tidak sesederhana bangunan yang tegak menjulang. Rumah semestinya diartikan sebagai sebuah keadaan atau suasana. 

Dengan pemaknaan rumah semacam itu, tentu mengalihkan fokus dari bangunan. Yang akan dilihat adalah suasana di dalam bangunan itu sendiri. Katakanlah bangunannya mewah, namun dengan suasana yang buruk. Rumah semacam itu adalah rumah yang gagal memberikan kenyamanan. Dengan demikian, yang lebih penting dari bangunan tidak lain adalah situasi dan kondisi yang melingkupinya. Berbicara soal rumah, tidak afdal kalau melewatkan elemen-elemen di dalamnya. 

Seminimnya, rumah dihuni satu keluarga yang terdiri dari sepasang orang tua dan anak. Sampai pada pembahasan ini, kiranya penting untuk dimafhum betapa rumit persoalan. Relasi antara orang tua dan anak yang hierarkis itu mempunyai efek domino tersendiri. Banyak anak yang merasa tidak nyaman di rumah akibat pola pengasuhan. Suasana yang dibentuk oleh orang tua tidak sesuai dengan kehendak si anak, misalnya.

Dalam pandangan klasik, anak memang menjadi objek pasif. Orang tua mempunyai peran sebagai agen aktif di dalam sebuah keluarga. Ada banyak faktor mengapa hal tersebut terjadi. Bahkan mungkin faktor keyakinan (keagamaan) turut memberikan sumbangsih. Keniscayaan hormat kepada orang tua pada saat yang sama justru meletakkan anak satu tingkat lebih rendah di bawahnya. Dengan pola hubungan yang semacam ini, anak tidak bisa mempunyai suara. Ia tidak lebih sebagai objek yang hendak dikreasi oleh orang tua. 

Bermula dari situ, tidak sedikit orang tua yang terjerumus ke liang toksik. Sebuah pola pengasuhan yang jelek dan berdampak buruk pada perkembangan anak. Mengutip Susan Forward—penulis buku Toxic Parents—di sini dijabarkan karakteristik orang tua toksik. Lucunya, banyak orang tua dengan karakter tersebut malah beralibi bahwa hal itu adalah upaya mendidik anak. Padahal sejatinya, pola pengasuhan dengan cara demikian merupakan langkah mundur.

Toxic Parent(ing)

Karakter yang pertama adalah orang tua yang merasa seperti Tuhan. Orang tua semacam ini merasa mempunyai kekuatan penuh untuk membentuk anak. Ini hal yang sukar untuk terhindarkan, musabab sejak anak lahir bergantung penuh pada orang tua. Namun, apa efek samping dari pola seperti itu? Orang tua akan terjebak ke dalam anggapan benar sendiri. Perasaan bahwa yang dipilihnya sudah pasti dianggap benar dan anak tidak boleh membantah. 

Karakter tersebut mempunyai kelindan erat dengan hasrat untuk memegang kendali. Orang tua selalu berusaha untuk mengendalikan anak. Sementara seorang anak harus selalu berada di bawah tangan dan pengawasannya. Akibatnya, anak tidak cukup percaya diri untuk melakukan pilihan dan terlepas sepenuhnya dari orang tua. 

Selanjutnya, hal yang tak kalah sering terjadi adalah pengabaian terhadap kebutuhan anak. Ini merupakan salah satu ciri pola pengasuhan yang toksik dalam kacamata Susan Forward. Ada tiga elemen dalam kebutuhan anak ini, mulai dari asuh, asih, hingga asah. Asuh berarti memperhatikan pengasuhan anak dan hal lahiriah. Sedangkan asih berkenaan dengan kasih sayang orang tua pada anak. Asah berarti pemenuhan terhadap sarana untuk menggali kemampuan serta intelektualitas anak. 

Termasuk pola pengasuhan toksik adalah dengan langkah kekerasan. Terdapat tiga bentuk kekerasan yang menjadikan anak gagal berkembang dengan baik. Kekerasan verbal berupa kata-kata yang dapat membuat mental dan pola pikir anak kacau. Berlanjut pada kekerasan fisik yang mempunyai efek tidak kalah membahayakannya. Paling puncak adalah kekerasan seksual yang di banyak kasus justru dilakukan oleh orang tua. Semua ini adalah bentuk toksik kendati orang tua beralibi dirinya sedang mendidik anak. Apalagi kekerasan seksual yang lebih menjurus ke dalam karakter hewani, alih-alih manusia.

Akhirnya, saya percaya bahwa tidak setiap orang yang tua mampu menjadi orang tua. Tidak semua orang tua mampu membangun rumah yang nyaman bagi anak-anaknya. Buku ini hadir untuk membantu orang tua mewujudkan rumah yang ideal. Di mana anak tidak merasa terasing dan ketakutan. Anak akan menjadi dirinya sendiri dan bebas memilih. Dalam hal ini orang tua harus sedikit lebih bijak. Menghapuskan relasi hierarkis dan menggantinya dengan posisi yang sejajar. Suara, keluhan, hingga keputusan anak adalah hal yang juga pantas diperhitungkan.  



0 Response to "Membangun Rumah Nyaman bagi Anak"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel