Pemikiran Yusuf Al-Qardhawy: Perempuan dan Kepemimpinan Atas Laki-Laki

SWA.co.id

 Sampai saat ini, masih banyak sekali orang-orang yang lebih mendahulukan pertimbangan preventif daripada nash, yang didasarkan pada perkembangan zaman. Banyak hal yang berkaitan dengan diri perempuan diartikan secara kaku dan salah. Masyarakat sekuler gambling terhadap masalah perempuan dan berusaha mengaitkannya dengan Islam. Pada dasarnya, kita tidak boleh menetapkan suatu kewajiban kepada diri kita kecuali berdasarkan nash yang jelas dan konkrit. Sementara nash yang tidak kuat, seperti hadits-hadits dha’if atau nash yang bisa dita’wili dengan beberapa penafsiran atau pemahaman, maka tidak diperbolehkan untuk memaksakan suatu pemahaman kepada umat tanpa pemahaman yang lain, terutama dalam hal-hal sosial yang rawan memicu kontroversi dan bencana.

Dalam penentuan hukum dan fatwa tidak bisa kita pungkiri bahwa hal tersebut tidak terlepas dari keadaan zaman dan lingkungan pada saat itu. Begitulah beberapa hal lainnya tentu butuh perubahan sesuai dengan zaman dan lingkungannya. Maka daripada itu, para peneliti menetapkan bahwa fatwa bisa saja berubah menurut perubahan waktu, tempat, keadaan dan tradisi. Begitupula halnya dalam masalah perempuan.

Perempuan sama halnya dengan laki-laki. Mereka dituntut untuk beribadah kepa Allah, menegakkan agama-Nya, melaksanakan Kewajiban Nya, menjauhi larangan-Nya, berdiri pada batasan-batasan hukum-Nya, berdakwah dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Setiap seruan Allah yang menetapkan syari’at juga berlaku umum bagi dua jenis, untuk perempuan dan laki-laki, kecuali apabila terdapat dalil tertentu yang khusus bagi laki-laki, atau sebaliknya khusus untuk perempuan. Seperti pengaturan hukum haid, nifas, istihadhah, hamil, persalinan, penyusunan, pengasuhan yang khusus untuk perempuan dan pengaturan tentang kewajiban untuk memberi nafkah dan melindungi seluruh anggota keluarganya bagi laki-laki.

Pada masa kini, banyak sekali peluang kerja bagi perempuan yang tidak ada di masa dulu. Saat pendidikan dan zaman semakin berkembang, banyak sekali pembangunan sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lain yang disediakan bagi pelajar putri, yang kemudian menghasilkan para dokter, guru, akuntan dan lain sebagainya. Memang benar adanya bahwa dalam sejarah kita, ijtihad tidak biasa dilakukan oleh kaum perempuan, namun sangat perlu diingat bahwa hal tersebut tidak bisa terlepas dari kondisi pada masa itu, berbeda halnya dengan masa kita saat ini yang jauh sangat berbeda. Bukankah perkembangan hukum berubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman?

Sampai saat ini belum ada satupun dalil yang melarang kepemimpinan perempuan atas laki-laki di luar lingkup rumah tangga. Yang dilarang adalah kepemimpinan perempuan atas laki-laki dalam perwalian secara umum. Sedangkan maksud dalam hadits “Suatu kaum tidak beruntung jika mereka mengangkat perempuan sebagai pemimpin”. Riwayat Al-Bukhari dan Abu Bakrah ialah perwalian atau pemimpin secara umum terhadap umat.

Pertama, apakah hadits ini diambil dari pengertian umumnya atau dibatasi menurut sebab periwayatannya? Jika melihat sebab periwayatannya, hadits ini disampaikan oleh Nabi Muhammad untuk mengabarkan ketidak-beruntungan orang-orang Persi pada masa itu, karena mereka terikat sistem kerajaan maka mereka harus mengangkat putri pemimpinnya yang sudah meninggal untuk menggantikannya, meskipun di antara sekian banyak orang dalam umat tersebut ada yang lebih pantas menjadi pemimpin. Meskipun mayoritas ulama menyatakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz. Namun, tidak semua ulama berpendapat demikian. Disebutkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar terkait urgensi memperhatikan sebab turunnya ayat dan sebab periwayatan hadits. Jika tidak maka bisa terjadi kerancuan pemahaman dan penafsiran yang salah, layaknya golongan Al-Haruriyah dan Khawarij yang berlebih-lebihan. Dan jika pun hadits ini dipahami secara umum, maka akan bertentangan dengan zhahir Al-Qur’an yang telah mengisahkan kisah Ratu Saba’, Bilqis.

Yang kedua, para ulama sepakat untuk melarang perempuan memegang al-wilayatul kubra atau al-imamatull uzhma atau pemimpin tertinggi, maksudnya menjadi khilafah bagi seluruh urusan kaum muslimin. Yang pada kenyataannya tidak terjadi pada zaman sekarang, setelah sistem khilafah itu sendiri dibungkam pada tahun 1924 oleh Kamal Ataturk.

Yang ketiga, dibawah perlindungan sistem demokrasi, apabila masyarakat pada zaman sekarang mengangkat seorang perempuan untuk secara umum menduduki jabatan tertentu, tidak berarti dia seorang diri yang mengendalikan kekuasaan berdasarkan jabatannya, melainkan seperti yang kita lihat bersama bahwa tanggung jawab tersebut merupakan beban kolektif atau persatuan oleh semua anggota organisasi atau partai.

Jadi yang dimaksud disini bukanlah kedudukan perempuan sebagai penguasa mutlak yang perintahnya tidak boleh dibantah, melainkan keberadaannya sebagai pemimpin partai yang bisa ditentang oleh orang lain. Bahkan bisa saja ia diturunkan dari jabatannya setelah diadakannya pemilu sebagaimana pernah terjadi pada Indira Gandi di India.

Penulis: Pey, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa, Korp Akral Satria 

0 Response to "Pemikiran Yusuf Al-Qardhawy: Perempuan dan Kepemimpinan Atas Laki-Laki"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel