Argumentasi Tandingan Formalisasi Syariat Islam

Kantor Hukum Menggala Alugoro

 Satu fakta yang tidak bisa dibantah bahwa Indonesia adalah negara yang plural. Kemajemukan tersebut menjadi modal utama dalam ranah sosial yang sangat kuat. Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah pulau sebanyak 17.000. Juga 740 suku dan kebudayaan dan 400an bahasa daerah. Di sini eksis enam agama besar serta sejumlah agama lainya yang bersifat minoritas seperti Baha’i dan kepercayaan local. Dari Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, Tolottang, Bissu, Kajang, hingga Parmalim. Sayangnya, kondisi yang demikian hal tersebut dapat memicu perbedaan hingga perpecahan. Misalnya, perbedaan pemahaman tentang perlu atau tidaknya formalisasi hukum Islam secara kaffah di negara yang plural ini. 

Menjadi hal yang pasti bagi sebuah negara harus memiliki ketentuan dalam produk hukum yang mengatur warga negaranya termasuk Indonesia. Indonesia yang merupakan negara hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 3 undang-undang dasar 1945. Dengan konsep negara hukum, Indonesia harus bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Setiap tindakan atau kebijakan dari negara haruslah bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum. Namun, masih banyak segelintir orang yang mempertanyakan keabsahan produk hukum negara Indonesia. Apakah produk hukum Indonesia sudah merujuk pada hukum Islam seperti halnya yang ada pada literatur fikih atau tidak. Hal ini disebabkan muslim Indonesia yang memegang posisi mayoritas. 

Dalam hal ini, penulis menyajikan setidaknya ada dua teori yang menjadi landasan berfikir untuk menyelesaikan problematika diatas. Pertama, anggpan hukum Islam abadi dan tidak tergerus oleh zaman sehingga hukum Islam tidak patut untuk diadaptasikan dengan perubahan sosial. Kedua, teori adaptabilitas (perubahan), teori ini memberikan arti bahwa hukum Islam dapat disesuaikan dengan keadaan sosial sehingga dianggap perlu adanya ijtihad atau terobosan baru yang relevan dengan realita sosial yang ada agar dapat merespon sebuah perubahan. Pertanyaannya, perlukah formalisasi syariat Islam?

Syekh Salim Al-Awwan, penulis buku yang berjudul On the Political System of the Islamic State mendefinisikan formalisasi syariat Islam adalah mentransfer hukum syariat pada pasal dalam Undang-Undang yang bersifat mengikat. Dalam konteks Indoneisa, hukum Islam diberi ruang untuk dapat mengatur sebagian dari aspek kehidupanya seperti hukum islam yang diformulasikan secara formal dalam UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan ibadah Haji, PP No 28 tahun 1977 tentang pewakafan, dan UU No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Adapula hukum Islam yang diformulasikan ke dalam hukum nasional tanpa menyebutkan hukum Islam, seperti UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU No7 tahun 1989 tentang peradilan Agama. Dengan demikian eksistensi hukum Islam di Indoneis dapat dilihat dari segi normatif yang secara sadar diimplementasikan oleh ummat Islam, dan segi formal yang didelegasikan sebagai hukum positif. 

Dalam kondisi yang sedemikian rupa, realita yang terjadi adalah masih banyaknya sekelompok masyarakat yang dengan sengaja melakukan propaganda dengan memprovokasi ummat Islam untuk menyakini bahwa produk hukum negara Indonesia tidak merujuk pada syari’at Islam secara kaffah. Propaganda yang semacam ini sangatlah berbahaya bila dibiarkan, dengan perbedaan cara sudut pandang akhirnya menyebabkan perpecahan. 

Salah satu yang bisa menjadi preseden adalah Sayyidina Umar Ra. yang memilih untuk tidak menerapkan hukum potong tangan kepada pencuri yang melakukan hal tersebut dalam kondisi darurat untuk menjaga keselamatan nyawanya. Justru, sayyidina Umar lebih memilih untuk tidak melaksanakan hukuman had dalam rangka menghindari bahaya yang lebih besar berupa terancamnya nyawa dibandingkan dengan dampak negatif meninggalkan had pencurian yang berorientasi pada penjagaan terhadap harta. 

Jika dianalogikan seperti halnya orang tidak mampu sholat berdiri, syariat yang berlaku baginya adalah sholat dengan cara duduk, tidak perlu memaksakan untuk berdiri. Bahkan bila hal itu dipaksakan justru akan menimbulkan bahaya. Begitu pula dalam konteks formalisasi hukum Islam secara kafah yang tidak memungkinkan diterapkan di Indonesia, bila dipaksakan justru menimbulkan kemudhorotan yang lebih besar. Kita tahu, bahwa penduduk Indonesia tidak semuanya beragama Islam, sehingga penerapan formalisasi tersebut ditakutkan justru memberatkan salah satu personal atau kelompok masyarakat yang lain. 

Terakhir, dalam kitab Al–Ihkam Fi Tamyiz Al Fatawa Wa Ahkam Fi Tashorrufati Al – Qodli Wa Imam karya Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarrafi dijelaskan bahwa ada empat bagian yang terkandung dalam sunnah nabi. Pertama, risalah yang berarti diutusnya rosul sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Kedua, fatwa yang berarti segala aktivitas rosul dalam berfatwa dalam hal ini rosul menyampaikan wahyu. Ketiga, hakim dimana rosul berperan penting untuk memberikan putusan dalam berbagai kasus tertentu. Keempat, siyasah/imamah yang berarti bahwa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan rosul ditunjukan untuk mengatur pasukan, alokasi dana dan lain sebagainya. 

Imam Qarrafi kemudian mengelompkan empat bagian tersebut dengan keterangan bahwa poin yang pertama dan kedua disebut sunnah dan masuk dalam perkara agama, sedangkan yang ketiga dan keempat bukan dari agama. Maka dari itu mengatakan, kita tak diwajibkan untuk mengikuti serta mengaplikasikannya. Hal ini relevan untuk menjelaskan bahwa pihak-pihak yang memiliki wacana formalisasi syariat Islam sebenarnya masih terjebak dalam konteks Arabisasi Indonesia dengan mengatasnamakan agama. Karena perilaku yang demikian merupakan tindakan mengambil hukum apa adanya pada satu masa tertentu untuk diaplikasikan di masa yang berbeda dimana tindakan tersebut adalah tindakan yang arogan. 

Penulis: Faizal Basri, Korp Galiansa

Editor: Rofqil Bazikh 

0 Response to "Argumentasi Tandingan Formalisasi Syariat Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel