SANTRI: WUJUD EKOPESANTREN MENURUT PERSPEKTIF FIQH AL BI’AH

sumber: nu.or.id
Salah satu warisan model pendidikan tertua di Indonesia yang mampu bertahan dan cukup eksis, serta mampu menjawab problematika zaman yang serba dinamis adalah “Pesantren“. model pendidikan yang diajarkan kepada santri di pesantren, secara umum terbagi menjadi 2, bandongan dan sorogan, kedua model pendidikan tersebut menjadi tanggung jawab pengurus pesantren atau Masyayikh dengan cirinya yang khas dan independen sejak dahulu dalam hal apapun.

Ekopesantren ini memiliki dua unsur kata; eko - yang diadaptasi ke bahasa Indonesia; dengan konotasi erat berhubungan dengan ilmu ekologi, yakni ilmu yang mempelajari tentang interaksi makhluk hidup dengan lingkungan alam. Sedangkan, Pesantren adalah lembaga pendidikan islam tradisional khas Indonesia yang para siswanya dibimbing oleh seorang kyai dan mempunyai asrama untuk menginap para santri.

Muatan lokal pelajaran yang dipelajari santri di pesantren tidak hanya terbatas pada ilmu nahwu, shorrof, fiqh, aqidah, dan tasawwuf. Selain itu, mengajarkan betapa pentingnya ilmu ekologi (lingkungan) guna mengedukasi serta mengajarkan sifat tanggung jawab sebagai khalifah Fil Ard dalam menjaga dan merawat alam.

Lingkungan pesantren dianggap strategis untuk membina akhlak, moral, dan mental. hal ini menjadikan pondok pesantren memiliki reputasi baik dari masyarakat. Berangkat dengan potensi yang besar dan dilengkapi SDM yang melimpah ruah. Tentu jalan dakwah para santri tidak hanya satu jalur dalam bentuk pengajaran kepada masyarakat, pengimplikasian ilmu lainnya dengan cara ikut andil dalam merawat alam. Beberapa persolan yang dihadapi santri adalah kerusakan alam, dimana didalam ajaran islam mendapatkan concern yang serius. dan tak kalah penting, ada hal fundamental yakni korelasi antara islam dan lingkungan untuk menggali kesalehan spiritual, kesalehan sosial dan memikirkan kembali tanggung jawab manusia terhadap alam. Umat islam perlu menggali nilai etik universal tentang lingkungan hidup agar dapat merekonstruksi tatanan pandangan kosmologis yang lebih bersahabat dengan alam.

Kelestariaan alam menyimpan hadiah penting dalam kesejahteraan hidup manusia. Kunci stabilitas kehidupan wajib ada pada segala aspek, baik yang bersifat benda ataupun yang berkaitan dengan jiwa, akal, perasaan manusia. Diantara dalil agama yang mengajak berbuat bijaksana kepada alam tercantum pada Al qur’an surat Al- A’raf ayat 5:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Dan jangan kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaiki dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat allah amat dekat kepada orang – orang yang berbuat baik“.

Ayat ini menyiratkan kepada kita semua tentang fungsi diciptakan alam bukan dengan cara di rusak, dieksploitasi secara berlebihan, dicemari atau bahkan dihancurkan hingga merusak ekosistem makhluk hidup. Sungguh, perilaku yang kurang bijak.

Di dalam hadits nabi juga dijelaskan betapa pentingnya kepedulian manusia dalam persoalan lingkungan sebagaimana sabda nabi, Diriwayatkan oleh abu hurairah: sesungguhnya nabi bersabda: “ketika seorang laki – laki berjalan di satu jalan, lalu ada duri dan dibuang, Allah berterima kaksih kepadanya, lantas diampuni oleh Allah dosanya (HR. Bukhari)

Permasalahan kerusakan lingkungan terjadi karena 2 faktor. Pertama, kejadian alam yang bersifaat alamiah yang murni terjadi karena proses alam. Kedua, kejadian alam yang disebabkan ulah manusia baik yang direncanakan (pembangunan) maupun yang tidak direncanakan. Tak bisa di pungkiri bahwa dalam usaha menjaga kelestarian alam di Indonesia harus melibatkan semua unsur masyarakat, termasuk santri didalamnya. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia mempunyai formulasi konseptual dalam diskursus kajian isu – isu lingkungan yang dikenal dengan nama Fiqh – Bi’ah.

Menurut Yusuf al Qardhawi, menjaga ligkungan hidup sama dengan menjaga jiwa, akal, keturunan, harta. Rasionalitasnya bahwa jika 4 aspek tersebut rusak, maka eksistensi manusia dalam lingkungan juga ikut ternodai. Dalam konsep fiqh lingkungan yang dirumuskan oleh cendekiawan muslim mencerminkan dinamika fiqh berubah sesuai konteks dan situasi yang dihadapi.

 Rekonstruksi Fiqh Bi’ah (Environment Islamic Law)

Secara umum, tujuan maqasidus as- syariah terbagi menjadi 5: Hifdz Din (menjaga syariat islam), Hifdz Nafs (Menjaga Martabat manusia), Hifdz aql (Merawat kebebasan berpikir), Hifdz Mal (Menjaga / Memanfaatkan harta), Hifdz Nasl (Melestarikan keturunan). Selanjutnya, para cendekiawan muslim menambahkan dengan Hifdz Bi’ah (menjaga lingkungan) hingga memunculkan konsep baru Fiqh Bi’ah

“Al bi’ah” dapat diartikan dengan lingkungan hidup yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsung kehidupan, dan kesejahteraan manusia dalam hidup berdampingan dengan makhluk hidup lainnya. Di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, pertimbangan fiqh al-bi'ah baru muncul pada tahun 1960 melalui kajian, seminar dll. Pentingnya rekonstruksi fiqh al-bi'ah setidaknya ada 3 faktor. Pertama, kondisi obyektif krisis lingkungan yang semakin parah. Kedua, umat Islam membutuhkan pedoman yang komprehensif tentang paradigma lingkungan, sedangkan fiqh klasik belum dilihat dapat disesuaikan dengan kerangka saat ini dari perspektif lingkungan modern. Ketiga, fiqh al-bi'ah belum dianggap sebagai disiplin ilmu dalam ranah studi Islam.

Akar ontologis dan epistemologis teori ini masih diperdebatkan. Masyarakat sangat berhak hidup berdampingan dengan lingkungan yang sehat. Berangkat dari semangat merawat lingkungan, wawasan teoritis tentang lingkungan masuk dalam agenda besar pembangunan ekonomi nasional. Di sisi lain, penurunan ekosistem tidak hanya mengancam kelangsungan hidup manusia, tetapi juga makhluk hidup lainnya. Peningkatan suhu global yang semakin meningkat dan berpotensi menyebabkan perubahan iklim yang akan memperburuk kualitas lingkungan. semakin banyak perubahan iklim, semakin buruk hasilnya. Penipisan lapisan ozon, kerusakan mangrove, dan ketidakstabilan emisi dan kualitas udara merupakan ancaman serius yang perlu segera diatasi. Dalam konteks ini, perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan secara serius dan konsisten.

Selain itu, guna mencapai kepastian hukum agar program yang dirancang bisa berjalan denan tegas dan efektif, pemerintah telah beberapa kali mengeluarkan peraturan perundang-undangan, di antaranya: UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan lingkungan hidup, UU No. 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.

Negara melalui perangkatnya telah menerapkan konsep fiqh al-bi'ah sebagai instrumen penting dalam menyongsong kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks atau situasi yang membutuhkan berbagai macam orang atau benda, diperlukan unit-unit pendukung dari semua lapisan masyarakat. Termasuk peran agama dalam menyikapi persoalan lingkungan dari perspektif yang lebih praktis. Fiqh al-bi`ah berkembang dengan kompleksitas permasalahan ekologi secara multidisiplin. Oleh karena itu, pergeseran dari Fiqh al-Bi'ah dapat menjadi peluang jika diikuti dengan paradigma epistemologis yang luas. Menjaga dan mengelola lingkungan tentu bukan tugas yang mudah. Sebuah pepatah mengatakan bahwa cara tercepat untuk mencapai suatu tujuan adalah dengan bekerja keras dalam waktu yang relatif lama (asra'u at-Thariq li al-ghayah tuulu az-zaman fi aljiddah). Tindakan nyata santri hari ini yang perlu di evaluasi dengan tidak melakukan kerusakan, apapun bentuknya, terhadap lingkungan sekitar meskipun belum melindungi atau mengelolanya dengan baik.

Penulis: Muhammad Haqiqi, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa, Korp Akral Satria.

0 Response to "SANTRI: WUJUD EKOPESANTREN MENURUT PERSPEKTIF FIQH AL BI’AH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel