Ihwal Suara Perempuan

sumber: Divapress Online
Buku : Melawan Sistem Perbudakan
Penulis : Nawal El Saadawi
Tahun : April, 2022
Penerbit : IRCiSoD
ISBN : 978-623-6166-92-5
Peresensi : Moh. Rofqil Bazikh

Hari ini, atau mungkin juga tahun-tahun sebelumnya, suara tidak hanya tentang bunyi yang keluar dari tengggorakan. Ia lebih dari itu, suara bisa bermetamorfosa ke dalam bentuk apapun. Selama ia menimbulkan kesan bagi orang lain, maka pada saat yang sama itulah suara. Sebagai sebuah amsal kita sebut sebuah gambar, tulisan, yang pada saat yang sama memberikan kesan yang tidak kalah dalam dibanding suara. Lagi-lagi suara tidak hanya terkait dengan apa yang keluar dari rongga tenggorokan, ia lebih luas daripada itu. Tidak melulu soal yang bisa didengar, suara meliputi yang bisa dibaca, hingga diresapi.

Demikian hal yang paling mungkin ketika hendak mendeskripsikan bagaimana Nawal hadir dengan setiap tulisannya. Ia seorang perempuan yang masuk daftar orang yang eksistensi dan nyawanya dalam posisi riskan. Musabab tulisan-tulisannya yang kritis dan lugas, kaum fundamentalis Mesir meresponnya dengan kemarahan dalam bentuknya agresif. Alih-alih membantah gagasan Nawal ihwal kesetaraan dengan semangat ilmiah, kelompok oposan tersebut justru menunjukkan sikap negatif.

Diakui atau tidak, hingga sekarang suara Nawal masih relevan dan kendati juga pasti diperselisihkan. Ia dengan keras mengatakan bahwa jilbab bukan berasal dari Islam. Inilah yang bertentangan dengan pandangan mayoritas umat muslim yang menyatakan sebaliknya dan membuat kalangan fundamentalis geram. Paham mayoritas mengklaim bahwa jilbab sebagai penutup kepala dipandang sebagai bagian integral dari ajaran Islam, bahkan melampaui simbol identitas. Ia adalah ajaran, yang jika tidak diamalkan, maka pemeluknya dipandang kurang kafah. Tetapi Nawal membantah hal itu dengan argumentasinya sendiri.

Apakah cukup sampai di situ suaranya? Tentunya tidak, Nawal dengan lantang juga menentang praktik khitan, baik pada perempuan maupun lelaki. Sebagai seorang yang berkecimpung di dunia medis, menyatakan bahwa praktik khitan—dalam bahasa Nawal male/female genital mutilation—bermasalah secara medis. Dengan bahasa lain, hal tersebut justru tidak dipandang hal yang kurang baik. Bahkan ia menentang hujah khitan pada perempuan yang konon untuk melemahkan hasrat seksual. Dalam perspektifnya hasrat seorang perempuan tidak bergantung pada klitsoris yang dipotong, melainkan timbul dari ruang pikiran atau sel di otak.

Dengan lugas ia tidak kurang mendemonstrasikan hak-hak perempuan. Di sisi yang bersamaan juga tak kalah lugasnya menentang dominasi elit pemodal. Sangat keras ia menentang apa yang disebut sebagai pasar bebas. Dikatakan bahwa pasar bebas adalah kebebasan kaum yang kuat untuk mengeksploitasi yang lemah. Pasar bebas, dalam hemat Nawal, tidak memiliki agama, Tuhan dari pasar bebas tidak lain adalah keuntungan. Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kritik dan suara yang keluar dalam tulisannya membonceng kompleksitas problem sosial.

Sebagai seorang feminis, tentunya tidak akan pernah luput perhatiannya bagaimana semestinya perempuan. Maksudnya, bagaimana seharusnya perempuan diperlakukan sama dan setara. Ia mempunyai sebuah gagasan bahwa perempuan tidak boleh ditindas dalam bentuk dan atas nama apapun, mulai dari agama hingga Tuhan. Keberaniannya melawan tabu yang menyebabkan ia mendapat serangan keras atau bahkan penolakan. Dalam bentuk yang paling kecil, barangkali karena dianggap berisiko, judul tulisan-tulisannya diubah oleh penerbit.

Alih-alih sebagai catatan seorang perempuan Mesir dalam bentuk tulisan, pembaca semestinya menikmati ini sebagai suara dari perempuan. Kendati tidak semua perempuan sepakat dengan apa yang disampaikan Nawal, seminimnya bahwa ia telah dengan lantang bersuara. Kebebasan meninggikan suara inilah yang harus dipahami sebagai spirit yang harus dirawat. Perempuan adalah manusia yang gagasan, pengalaman, hingga suaranya mesti didengar. Perempuan harus dilibatkan ke dalam segala urusan yang selama ini hanya dipandang sebagai otoritas lelaki.

Nawal boleh menutup hayatnya pada tahun lalu, tetapi suaranya masih bisa lantang untuk didengar. Gagasan-gagasannya masih sangat potensial untuk mendapat amin dari para pihak yang menjunjung tinggi kesetaraan. Sebagaimana saya tegaskan di awal, suara tidak hanya apa yang keluar dari rongga tenggorokan. Segala sesuatu yang bisa didengar, dilihat, lalu diresapi, juga suara. Seminimnya suara yang—bagaimanapun bentuknya—memberikan kesan pada penerimanya. Dari Nawal pembaca mendengar, melihat, merasakan, suara perempuan. Suara perlawanan.      


0 Response to "Ihwal Suara Perempuan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel