Mahbub Djunaidi; Sang Pejuang Multi Talenta

Oleh: Di Mashudi*
150786854959e03f8599e47
Sumber gambar: nu.or.id


“Tanamkan ke kepala anak-anakmu bahwa hak asasi itu sama pentingnya dengan sepiring nasi”
(H. Mahbub Djunaidi)

Jakarta, pada tanggal  27 Juli 1933, sosok bayi laki-laki lahir ke dunia dari seorang ibu yang bernama Muchsinati dan ayah yang bernama KH. Mohammad Djunaidi, seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pernah menjabat sebagai angota DPR hasil pemilu 1955. Oleh ayahnya, bayi itu diberi nama Mahbub Djunaidi.

Pada awal kemerdekaan Mahbub kecil tidak bisa menikmati pendidikannya, sebab pada waktu itu situasi dan kondisi di Jakarta belum memadai. Akhirnya keluarganya pindah ke Solo dan ayahnya menyekelohkannya di madrasah Mambaul Ulum Solo. Oleh seorang gurunya ia diperkenalkan dengan karya-karya modern seperti, Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan di sinilah ia mulai belajar tulis menulis. Pada tahun 1948 saat Belanda memasuki Solo, Mahbub dan keluarganya kembali lagi ke Jakarta dan meneruskan sekolah SMA Budi Utomo. Bakat menulisnya terlihat sejak SMP, ia telah mampu melahirkan beberapa karya yang telah dimuat di media massa terkenal saat itu di antaranya, majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Roman, dan Star Weekly.

Di usianya yang baru duduk di bangku SMA, mahbub mulai mengembangkan bakatnya di bidang jurnalistik dan menjadi salah satu siswa yang memprakarsai sekaligus menjadi pimpinan redaksi majalah sekolah Siswa.

Selain bakat di bidang jurnalistik, ia juga mempunyai bakat di dunia politik. Tendinsi di dunia politik sudah terlihat dari kegemarannya mengikuti berbagai macam organisasi pelajar dan mahasiswa, seperti IPNU, GP Anshor, IPPI, dll. Mahbub juga tercatat sebagai sosok pendiri organisasi mahasiswa yang bernama, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) – yang kemudian hari organisasi ini menjadi organisasi ternama di Indonesia, dan salah satu organisasi pertama yang menyebut dirinya sebagai “Islam ala Indonesia,” – pada tanggal 17 April 1960, sekaligus diamanahi sebagai pimpinan pusat periode 1960 – 1967. Aktivitas inilah yang kemudian hari mengantarkannya pada struktur kepengurusan Nahdhatul Ulama.

Disela-sela kesibukannya mengikuti berbagai organisasi, Mahbub tetap konsisten dalam bidang jurnalistiknya. Usianya yang baru menginjak 25 tahun tepatnya pada tahun 1958, ia diajak oleh KH. Syaifuddin Zuhri untuk membangkitkan kembali Duta Masyarakat (Koran NU yang sempat bangkrut). Meskipun ajakan KH. Syaifuddi Zuhri tanpa arah yang jelas, namun Mahbub tetap bertahan hingga ia menjadi pimpinan redaksi mulai thun 1960. Di koran ini, Mahbub tidak hanya jadi pimpinan redaksi, tetapi ia juga mendidik para wartawannya untuk disiplin dan konsisten dalam menulis. Hingga akhirnya koran ini berhenti beredar pada tahun 1970.

Di tahun-tahun berikutnya karir Mahbub semakin meningkat, tulisan-tulisannya yang identik dengan kritik sosial yang sangat tajam yang dibumbui dengan gaya khsnya yang nyentrik tersebar di berbagai media cetak bergengsi, seperti Kompas, TEMPO, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat dan Pelita. Akibat tulisannya yang penuh dengan kritik pedas itu, Mahbub terseret ke jeruji besi pada tahun 1978. Namun kegelapan serta kepengapan di dalam penjara tak menghetikan semangatnya untuk tetap menulis, bahkan selama di penjara Mahbub pernah menerjemah buku Road To Ramadhan karya Heikal. Tak heran jika Mahbub dikenal dengan sebutan “Pendekar Pena.”

Pada era 1960 – 1980-an, Mahbub bisa dibilang periode paling sibuk. Pada tahun 1967 -1971 ia menjabat sebagai anggota DPR-GR/MPRS, anggota DPR/MPR RI pada tahun 1971 – 1982, wakil PBNU pada tahun 1984 – 1989, dan ketua Majlis Soekarni dan anggota Muhtsyar PBNU 1989 – 1994. dan sempat menjadi ketua pansus UU Ketentuan Pokok Pers. Sementara karirnya di bidang jurnalistik semakin berkibar dengan terpilihnya menjadi ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pada tahun 1965 dan ketua Dewan Kehormatan PWI sejak 1979.

Dari hari ke hari namanya semakin melambung, rupanya Mahbub belum puas dengan pencapaian yang telah didapatnya. Kecintaannya terhadap sastra amat dalam hingga megatarkannya memenangkan lomba mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1974 dengan karyanya yang berjudul Dari Hari ke Hari. Kemudian ia lebih suka menyebut dirinya sebagai satrawan ketimbang sebutan lainnya. Tetapi baginya menjadi seorang jurnalis dan sastrawan saja tidak cukup untuk mencapai perubahan sosial yang lebih baik. Ia juga memilih jalur politik sebagai pelengkap perjuangannya untuk merubah kondisi sosial yang saat itu mengancam kehidupan masyarakat kalangan bawah.

Dengan misinya yang begitu mulia memperjuangkan masyarakat dan negaranya, ia kemudian masuk ke dalam kampus-kampus untuk membicarakan kepemimpinan nasional sekaligus upaya menyadarkan umat mahasiswa. Atas sikap itulah Mahbub ditahan selama satu tahun tanpa diadili oleh penguasa Orde Baru. Di balik pesakitannya di dalam penjara, semangatnya untuk menulis tak pernah luntur sedikit pun, hingga akhirnya melahirkan karya satra yang begitu monumental yang berjudul Masuk Angin.

 Selepas bebas dari tahanan, Mahbub kembali aktif di bidang organisasi dan politik serta tetap aktif dalam dunia tulis-menulis.  Ia tetap menyumbangkan buah pikirannya ke berbagai dunia massa, dan secara rutin menulis di kolom Asal Usul di Kompas yang terbit seminggu sekali sejak tahun 1986 hingga akhir hayatnya.

Pejuang multi talenta ini wafat di Bandung, tanggal 1 Oktober 1995. Kini beliau tidak akan pernah menulis dan mengkritik lagi, tetapi kata-kata dan karyanya masih bisa kita nikmati sampai saat ini.


Penulis adalah kader PMII Rayon Ashram Bangsa (Korp API 2014).
Bergiat di komunitas IDEATRA dan Menulis Pinggir Rel (MPR) Yogyakarta.


Sumber:
Pmiistitaf.blogspot.co.id
www.historia.id

Mahbub Djunaidi Asal Usul, Harian Kompas

0 Response to "Mahbub Djunaidi; Sang Pejuang Multi Talenta"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel