Renaissancce diambang Pilu dalam Kekuasaan yang Candu

 

Sumber Gambar: Dreamstime 

Abad kegelapan tumbang melahirkan zaman pencerahan, di Perancis pada kisaran tahun 1789 rakyat kaya miskin kota dan desa berseru bergerak kolektif melancarkan aksi revolusi dibawah bendera (reason) nalar. Jauh sebelum meruntuhkan tembok bastille, mereka meruntuhkan tembok penjara logika mistika dan takhayul. Semboyan bertuliskan cita-cita liberte, egalite, fraternite turut mendorong Hasrat untuk memenggal kepala raja sebagai orotitas tertinggi kepemimpinan yang pada akhirnya dapat terwujud bahkan berpengaruh di sebagian besar penjuru dunia abad ini.

Begitulah sekiranya kisah dramatis berbalut romantis berdarah bila kita melihat sebuah momen perubahan terbesar sepanjang sejarah perdaban umat manusia di era modern kini. Meskipun pada akhirnya Gerakan yang dibangun atas keresahan Masyarakat yang hidup dalam sistem kolot menggerakkan mereka untuk memberontak, akan tetapi hanya setelah mendudukan diri di tampuk kekuasaan para kaum berpunya malah melawan proletariat, dan membuang jauh di pembuangan sampah ideologis masa mudanya dikala itu. Mereka yang telah membuang tersebut barangkali telah lupa dulu waktu dimana mereka ngopi bareng atau istilah masa kini rembug berdiskusi keras di warung kopi pojok Prancis yang konon katanya tak bisa lepas dari catatan sejarah bahwa itu merupakan pemantik awal gencarnya konsolidasi keresahan untuk menumbangkan rezim monarki yang kemudian melahirkan jalan revolusi politik pada abad ke 18-19.

Tanpa perlu menjabarkan secara panjang lebar kondisi di Prancis, bila kita melihat sejarah pergerakan di Indonesia beberapa kaum terpelajar didikan ala barat pasti telah menerapkan nilai-nilai tersebut dalam medan perjuangannya untuk mengupayakan kesejahteraan kaum miskin tertindas di masa itu. Penulis ambil contoh saja dari dalam buku yang ditulis oleh Takashi Shiraisi yang berjudul Zaman Bergerak  bagaimana pada sekitar tahun 1919 Tjipto Mangunkusumo mendapat julukan sebagai tokoh penggerak “Anti Raja” yang dalam aksinya ia kerapkali kampanye mengkritik dan memprotes posisi keraton Surakarta dimasa itu yang feodal. Beberapa golongan dari kelompok anti raja berargumen yang salah satunya ialah bahwa apakah tanah kit ini hanya kepemilikan satu orang saja? Dan dengan berbagai cara baik secara politik maupun gerakan untuk menyadarkan Masyarakat diupayakan untuk menumbangkan budaya feodal yang menghisap dimasa itu.

Masa depan tidak bisa lepas dari masalalu, tujuan untuk mempelajari masalalu pun bukan untuk semata mata meramal masa depan melainkan ia bisa menjadi alternatif pandangan dalam kita berpijak hari ini dan dalam menjalani kehidupan di esok hari. Pembentukan negara Indonesia yang melalui proses diskusi maupun perdebatan Intelektual panjang telah melahirkan sebuah negara Republik yang berarti bahwa negara ini merupakan kepemilikan Bersama, bukan seperti lawan katanya yaitu Res Privata. Konsekuensinya ialah kita hidup didalam sistem demokrasi, sebuah kekuasaan yang tak bisa lepas dari peran rakyat, dan harus tetap dikawal oleh rakyat.

Demokrasi sendiri tak bisa lepas dari pengaruh dimana titik mulanya berawa; dari Revolusi Perancis sebagaimana yang telah dibahas diawal, yang pada akhirnya diadopsi oleh negeri ibu pertiwi Indonesia hingga saat ini. Tanpa mengulas sejarah Panjang demokrasi di Indonesia, yang menjadi masalah ialah upaya segelintir pihak yang membajak demokrasi sendiri bukan berarti tidak mungkin, Reformasi yang meruntuhkan rezim otoriter orde baru seharusnya tetap harus diperjuangan cita-cita tersebut, dan tetap harus dikawal agar tak hanya sekedar pura-pura demokrasi.  Reformasi bisa jadi hanya menjadi history belaka bila kita melihat kondisi Indonesia yang mengadopsi nilai-nilai ala barat telah dianggap mengalami kemunduruan. Supremasi hukum sebagai rel dalam lokomotif politik praktis seolah-olah telah dipaksa dibelokkan hanya untuk kepentingan semata. Konsep  Trias Politika peninggalan Jhon Locke yang diadopsi di Indonesia seolah-olah hanya sok keren saja, padahal dalam implementasinya kekuasaan justru terpusat disatu lembaga saja, terbukti di Lembaga kekuasaan lain yaitu yudisial berdasarkan putusan etik terdapat intervensi dari pihak lain dalam perkara untuk memberikan legacy kekuasaan pada sang anak dengan bantuan paman yang secara teoritis sangat menyedihkan fenomena tersebut namun tak sedikit dibela dan dipilih oleh sebagian besar Masyarakat. Sedangkan Jhon Locke sendiripun juga dalam konsep demokrasinya berpendapat bahwa demokrasi merupakan kekuasaan politik bersumber dari persetujuan rakyat, bukan bersifat turun temurun atau pemberian tuhan semata. Namun seolah-olah hukum tertatih-tatih menahan birahi kekuasaan dalam upaya mewariskan kekuasaan kepada si buah hati Presiden yang sedang menjabat di hari-hari kemarin.

Ini bukan sekedar cerita dongeng atau imajinasi belaka akan tetapi sebuah fakta nyata di negeri Konoha.  Tetapi demokrasi tidak boleh kalah! Siapapun yang menjadi presiden tugas kita ialah mengkrtisi, ucap nasehat Tan Malaka yang memerintahkan belajarlah dari barat, meskipun jangan menjadi peniru barat namun dalam sistem yang kita jalani ini ialah buah jasa dari usaha dan korban nyawa manusia suci dan mulia sejarah barat jangan sampai dimanipulasi, ditunggangi sepihak oleh aktor-aktor pemegang kekuasaan maupun cukong-cukong yang memiliki kepentingan. Buah resultante para pendiri bangsa yang telah menyepakati sistem Indonesia saat ini tetap harus diperjuangkan agar tak terus dijadikan kamar gelap ruang perselingkuhan antara pemerintah dan pemodal yang berdampak pada nasib masyarakat bawah. Upaya dari ini itu semua ialah hidupkan kembali upaya pemikiran kritis sebagaimana sejarah Perancis dimana untuk melakukan perubahan ialah bergerak dibawah bendera Nalar, karena pengetahuan ialah sumber kekuasaan. Mahasiswa yang secara posisinya sebagai kaum terpelajar yang dari dulu pun merupakan aktor-aktor renassainse yang tampil sebagai pelaku pembaharuan jangan sampai terasing dari lingkungannya dan bersikap elitis jauh dari Masyarakat. Ini semua tak lain untuk merefleksikan dalam upaya merawat kembali perjuangan bermodal nilai-nilai renassainse yang kini sedang diambang pilu dalam menghadapi kekuasaan yang candu.

Penulis : Vartos, Korp AkralSatria

Editor : Ar_Ridha

0 Response to "Renaissancce diambang Pilu dalam Kekuasaan yang Candu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel