Saya Hanya Ingin Ikut-Ikutan, untuk Sebuah Kerukunan


Pukul 23:38, kamis malam, seorang sahabat mengabari saya bahwa lagu Yalal Wathan yang hendak dinyanyikan pas pembukaan PBAK 2020,  sempat menciptakan kegaduhan kecil-kecilan, katanya. Karena itu, yang rencananya mau  dinyanyikan di awal acara, lagu itu akhirnya dinyanyikan di bagian akhir. 

Jujur saja, pertama kali saya menerima pesan itu, saya tidak tahu menahu soal kegaduhan ini. Maklum, saya sedang di kampung halaman. Dari pagi, siang, sore, hingga malam, saya punya banyak kesibukan. Jadi, tak sempat mengikuti pelaksanaan PBAK kampus tercinta ini. 

Setelah saya telusuri. Ternyata konfliknya cukup sederhana. Sesederhana isi puisi cinta Sapardi Djoko Damono yang berjudul: “Aku Ingin”. 

Puisi Sapardi, memanglah sederhana. Tetapi isinya, menyayat hati. Begitupun soal Lagu Yalal Waton yang dipermasalahkan. Juga sederhana. Namun, membawa dampak besar karena berkaitan dengan NU dan Muhammadiyah. Juga, UIN secara kelembagaan. 

Muasal dari  lagu Yalal Wathan ciptaan Kiai Wahhab Hasbullah yang dipermasalahkan di pelaksanaan PBAK UIN Djogja ini ternyata tumbuh dari sebuah percakapan di media Wasap. 

Seseorang yang menurut saya bukan NU, tetapi MM, menulis bahwa: “Menyanyikan lagu Yalal Wathon di tengah mahasiswa baru yang tidak semuanya NU dan di UIN yang bukan NU adalah pemaksaan ideologi terselubung”. Begitu katanya.

Lebih lanjut, ia juga menulis bahwa: “Pemaksaan seperti ini tentu bukan sikap akademisi yang jujur dan fair”. “Bagaimanapun UIN milik negara yang harusnya netral dalam hal ini, setidaknya jangan racuni anak bangsa dengan kedok Aswaja namun menanamkan bibit dan rasa ketidakadilan.” Tulisannya dalam percakapan pendek itu. 

Masalah ini, sebenarnya sudah ditanggapi serius lagi akademis oleh Solekhan, mahasiswa Perbankan Ekonomi Syariah UIN SUKA. Ia menanggapi cukup serius dengan berbagai macam buku referensi yang diterbitkan di situs demafebi.uin.suka.ac.id. 

Dalam tulisan ini, ia menawarkan dua solusi. Yang kurang lebih begini: 

1/

“jika tidak ingin hanya lagu Yalal Wathan saja yang berkumandang di tengah heroiknya mahasiswa baru maka mintalah kepada panitia PBAK untuk memutarkan juga lagu sang surya, toh di dalamnya juga terdapat nuansa-nuansa tauhid. Sehingga kedua lagu milik organisasi islam ini benar-benar bisa diresapi oleh mahasiswa baru.”

2/

“Cara yang kedua, selama lagu Yalal Wathan tidak dilarang secara resmi oleh negara maka siapapun berhak menyanyikan lagu tersebut karena memiliki nuansa perjuangan dan cinta tanah air, sehingga jika yang bersangkutan ingin melarang lagu Yalal Wathan maka mintalah negara untuk melarangnya, walaupun penulis yakin akan mendapatkan penolakan yang keras dari berbagai unsur elemen yang ada.”

Dua solusi yang ditawarkan Solekhan itu, nyatanya bagus. Namun, bagi saya mustahal bisa jadi solusi. Eh, mustahal. Mustahil yang benar ya...

Pertama, teman-teman mahasiswa MM, tidak mungkin akan datang ke teman-teman PBAK hanya untuk mengemis agar diputarkan lagu Sang Surya. Itu mustahil sebab ini adalah soal moral. Pun teman-teman MM berani datang, bukankah teman-teman panitia didominasi oleh teman-teman mahasiswa NU, yang boleh jadi, kedatangan dan maksud teman-teman bukannya disambut dengan perdamaian, tetapi dengan perdebatan. Saya yakin itu.

Kedua, kata Solekhan, selama negara tak melarang menyanyikan lagu Yalal Wathan, maka semua orang berhak menyanyikan lagu tersebut. Karena itu, jika yang bersangkutan melarang untuk menyanyikan lagu Yalal Wathan, maka mintalah negara untuk melarangnya. Toh ia yakin bahwa tindakan itu akan mengalami penolakan dari berbagai elemen. Begitu katanya. Bagi saya, ini solusi yang bukan solusi. Sebab, mengandung narasi keangkuhan dan kepongahan di dalamnya. Sebagai seorang mahasiswa NU, narasi semacam ini, sebenarnya tak elok dilontarkan oleh seorang Solekhan. 

Saya, menulis semacam ini, mengomentari tulisan Solikhan, bukan berarti saya membela pihak mahasiswa MM. Saya seorang mahasiswaNU. Tak hendak membela pihak MM. Dan juga NU. Yang saya bela adalah kebenaran dan keadilan untuk keduanya.

Dan juga,  saya tak mengamini pihak teman-teman mahasiswa MM yang mengatakan bahwa pemutaran lagu Yalal Wathan di tengah mahasiswa baru adalah bentuk peracunan. Itu juga tak benar. Bagaimana pun pernyataan itu perlu diralat dan direvisi. Demi harmonisme kehidupan kita. 

Akar Masalah dan Jalan Keluarnya

Panitia PBAK UIN SUKA 2020, dengan memutar lagu Yalal Wathan. Tidaklah salah. Sebab, lagu Yalal Wathan bukanlah milik NU. Tetapi milik kita bersama. 

Namun, karena lagu ini diciptakan oleh seorang kiai NU, dan lebih dekat dengan kehidupan orang-orang NU, di sinilah kecemburuan itu terjadi. Dan inilah akar masalahnya. 

Secara psikologis, kelompok teman-teman mahasiswa MM menganggap bahwa di PBAK 2020, khususnya, kelompok mahasiswa NU berusaha membawa NU-nya ke dalam kelompok mahasiswa yang semuanya bukan NU. Padahal, itu tidaklah adil. Kira-kira begitu jalan psikologisnya.

Karena itu, menurut saya, dari pada pemutaran lagu Yalal Wathan ini menjadi sumber kekacauan kehidupan kemahasiswaan kita. Pun maksudnya baik; untuk membangkitkan nasionalisme adek-adek maba, jangan lagi dilakukan.

Toh, walaupun kita tak menyanyikan lagu itu di PBAK UIN SUKA Indonesia tak akan tiba-tiba bubar karena terjadi krisis nasionalisme to? Lagian, untuk menyaksikan lagu Yalal Wathan, jika teman-teman panitia di luar sana malah asyik-asyik ngobrol, ketawa-ketiwi. Bukan ikut nyanyi. Bukankah itu bentuk ketidakjelasan dari acara penyanyian lagu Yalal Wathan ini.

Hey, Bung! “Nasionalisme itu penting. Tapi, apa artinya nasionalisme tanpa kerukunan di antara kita; omong kosong” Wallahu a'lam.


Farisi Aris, Manusia yang Berharap Jadi Anak Ideologis Gus Dur


0 Response to "Saya Hanya Ingin Ikut-Ikutan, untuk Sebuah Kerukunan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel