Menjadi Manusia yang Seutuhnya

Belakangan ini, kita banyak mendengar berita-berita yang kurang mengenakkan untuk didengar atau dibaca, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Kebanyakan berita tersebut berisi soal kejahatan dan tindak kriminal. Tidak heran bahwa muncul suatu ungkapan yang menyinggung hal itu, i see human but not humanity.

Hal ini kemudian memancing kesadaran kita soal jadi diri sebagai manusia. Ada suatu kalimat dalam bahasa Arab yang mendefinisikan manusia, Al insan hayawaanun naatiqun yang berarti manusia adalah hewan yang berakal. Jutaan tahun lalu, menurut teori Darwin, manusia sebelum seperti sekarang, adalah bangsa kera. Kemudian seiring berjalannya waktu, peradaban menuntut nenek moyang kita untuk ber-evolusi. Hingga sampailah manusia pada perkembangan yang begitu maju dan modern saat ini. Tentu teori ini berbeda dengan berbagai kepercayaan agama di dunia, salah satunya agama Islam. Dalam kepercayaan umat Islam, manusia diciptakan pertama kali sebagaimana saat ini. Manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan adalah Adam, kemudian menyusul penciptaan Hawa. Karena kesalahan keduanya, akhirnya mereka diturunkan ke bumi hingga beranak pinak hingga sekarang.

Dari teori maupun kepercayaan diatas, ada satu kesamaan, yaitu bahwa manusia dianugerahi akal budi dan pikiran, sehingga membuat manusia berkembang dan semakin kompleks kehidupannya dan dianggap makhluk yang paling indah dan sempurna. Selain itu yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal dan pikirannya. Seekor hewan bertindak sesuai dengan insting dan rangsangan yang dimilikinya, maka berbeda dengan manusia yang bertindak sebagai subyek (tuan) dari apa yang dilakukannya, tindakan ini tentunya bukan semata mata karena insting dan rangsangan, namun tindakan manusia adalah perwujudan dari perkembangan kemanusiannya. Namun, kadangkala anugerah ini tidak dihargai oleh kita sendiri selaku manusia. Saat itulah manusia disebut atau disamakan dengan binatang.

Menurut Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.Hum., tindakan manusia dibagi menjadi dua, yaitu ACTION OF HUMAN BEING (ACTUS HOMINIS) & HUMAN ACTION (ACTUS HUMANUS).

Actus hominis adalah tindakan manusia yang didasarkan pada insting, refleks atau yang lainnya sebagaimana makhluk hidup lainnya. Dalam tindakan ini,  manusia berada dalam level vegetatif atau level terendah, level tindakan yang dimiliki oleh semua makhluk hidup. Ciri yang mendasar dari actus hominis juga sama seperti makhluk lainnya, yaitu fisik, bergerak, dan ada. Tindakan ini tidak dapat masuk dalam lapangan penilaian moral karena salam melakukannya, manusia tidak menyertakan rasionalitasnya.

Sedangkan actus humanus adalah tindakan manusia yang menyertakan rasio dalam proses tindakan tersebut. Disini, rasio manusia ada sesuai dengan fungsinya sedemikian rupa sehingga ia adalah tuan dan pemilik atas perbuatannya itu, dengan kata lain bertanggung jawab atas perbuatannya. Dalam actus humanus ini, ada elemen yang menjadi dasar darinya, yaitu rasio yang berhubungan dengan "tahu", sedangkan mau adalah suatu kehendak, dan kebebasan. Kebebasan sendiri mengandaikan dua hal, yaitu tahu dan mau, tanpa keduanya manusia tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatannya.


Dari sini, segala tindakan manusia seharusnya selalu disertai dengan rasio dan akal budinya. Dalam satu waktu, Muhammad SAW pernah bersabda, Al 'amalu binniyah, setiap perbuatan selalu disertai dengan niat. Artinya bahwa selalu ada refleksi sebelum manusia bertindak agar "aksi" tersebut tidak menyeleweng dari sifat manusiawi yang kita miliki lewat akal kita. Juga selain itu selalu ada evaluasi agar tindakan tersebut menjadi suatu pelajaran bagi kita. Kita analogikan dalam suatu tindakan sederhana, makan. Jika makan hanya karena didasari rasa lapar, artinya tindakan kita sama sekali tidak berbeda dengan tindakan binatang. Namun jika ada kita berpikir bahwa makan adalah untuk mempertahankan hidup kita, serta memberi asupan untuk tubuh, agar kita memiliki tenaga untuk melakukan hal lainnya, maka bisa jadi tindakan kita berbeda dengan yang dilakukan binatang, karena ada penyertaan rasio di dalamnya.

Perbuatan manusia yang disertai akal selalu menuntun kita menjadi manusiawi, menjadi manusia yang utuh, karena manusia disebut manusia sebab akal dan pikirannya. Jika manusia bertindak menurut hawa nafsunya tanpa menggunakan akal, maka sepantasnya manusia yang seperti didefinisikan sebagai Al insan hayawaanun, manusia adalah binatang.


Ramadan Iman Battosay, Ketua Korp Pasko 2018 Rayon Ashram Bangsa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 Response to " Menjadi Manusia yang Seutuhnya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel