Demokrasi Dalam Cengkraman Partai Politik

sumber: BatamClick.com

Sekitar lima abad sebelum masehi, Plato sudah berkata, “Jangan Kau andalkan demokrasi itu, di dalamnya mengandung kebohongan.” Anggapan Plato ini sudah pasti berdasar, selain filsuf, dia juga salah satu penggagas demokrasi itu sendiri. Pada zaman Yunani kuno, pelaksana sistem demokrasi adalah rakyat dengan sifat konservatif nya. Sehingga, negara tidak bisa berkembang karena pemimpinnya adalah rakyat biasa, bukan dari seseorang yang berpendidikan tinggi ataupun bangsawan. Inilah yang menjadi alasan Plato mengucapkan kalimat tadi. 

Seiring berjalannya zaman, paham demokrasi berkembang pada bukan hanya kekuasaan oleh rakyat, tapi harus dipimpin dari beberapa unsur kekuasaan. Selaras seperti yang dikatan oleh John Locke dalam magnum opusnya yang berjudul “Two Treatises of Government”, bahwa fitrah manusia adalah “bekerja mengubah alam dengan keringat sendiri serta memiliki harta.” John Locke berdasar pada pengalamannya masa kecil, dimana para bangsawan selalu tertakan oleh kekuasaan absolut (raja). Dari sinilah menurut Locke perlu pemisahan kekuasaan antara bangsawan dengan raja. 

Berbicara demokrasai, titik intinya adalah majority rule (kesepakatan mayoritas). Tentu rakyat yang dimaksud. Namun, sistem perwakilan melalui partai telah mereduksi nilai yang paling urgensi. Kesepakatan bersama terkristal dalam bingkai partai dan antar koalisi partai yang akhirnya bukan supremasi hukum yang terbentuk, tetapi supremasi partai politik. Bahkan, fungsi DPD sebagai trikameral yang dianut Indonesia masih belum ditemukan manfaatnya. Jadi, sangat pantas apabila demokrasi sudah berada di ujung tanduk banteng dan tanduk lainnya. Lantas bagaimana jika hal ini terus terjadi dan adakah solusinya? Mari kita bahas.

Yang Kuat adalah Penguasa

Dari zaman purba, hanya orang yang mempunyai power yang mampu menjadi raja. Dan power itu tidak akan runtuh selama tidak ada yang sebanding. Selain sebanding, ia harus menjadi oposisi. Power disini bisa kita katakan elit partai politik. Kepemilikan partai politik selalu diwariskan kepada keturunannya dan dibagi-bagikan kepada se golongan. Seseorang bahkan rela menjual harga dirinya demi mendapatkan a slince of power (sepotong kekuasaan).

Bicara sistem demokrasi Indonesia, partai yang notabeni sarana penyambung lidah rakyat kepada penguasa, belum bisa secara holistik dikatakan sebagai wakil. Wakil hanya sebatas pengganti serta amanah rakyat, tidak lebih daripada itu. Dan mereka selalu tutup mata. Padahal spirit dari partai sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 adalah mengembangkan kehidupan demokrasi. Namun, sampai saat ini antara fakta dan spirit tujuan partai dibentuk terjadi paradoksal. Kata “wakil rakyat” dikikis menjadi “wakil partai politik.” Sungguh naif bukan!

Ditambah pengelolaan partai serta biaya parati selalu bergantung pada kader yang menjabat. Akhirnya, tokoh yang mampu mempertahankan jabatannya akan dijadikan ujung tombak perhelatan demokrasi (Pemilu/Pilkada) dan sentralisasi dalam partai. Sentralisasi dalam partai, berakibat sentralisasi pada pengolaan negara. Pada akhirnya anggaran negara bukan mengalir pada rakyat, tetapi deras alirannya pada segenap kader partai politik. Sebetulnya titik problematikanya bukan partai politiknya, tapi lebih kepada hilangnya idelisme dan ideologi partai. Yang ada pragmatisme semakin berkembang. Maka tidak heran, apabila pelawak mencalonkan legislative, karena partainya juga “ngelawak”.  

Gurita Kekuasaan dan Strategi Memberantasnya

Dari zaman kerajaan di Indonesia sampai zaman sekarang, perpolitikan memang mengerucut pada satu kekuatan. Jika ada satu kekuatan politik lainnya, hanya dua yang akan terjadi yaitu: berperang atau berkoalisi. Koalisi kekuasaan pada akhirnya melilit pada golongan itu-itu saja. 

Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemuda sebagai penerus bangsa. Belajar dari kemenangan Partai Move Forward (PMF) salah satu partai pemuda di Thailand yang berhasil menduduki parlemen, bukan hal yang mustahil jika anak muda mampu mereformasi dengan cara paling konstitusional yaitu pemilu. Hal yang harus di lakukan adalah perang propaganda media dengan gagasan yang berkualitas dan fisik yang energik. Jika hal ini tercapai, bukan tidak mungkin gurita kekuasaan terkhusus di Indonesia bisa di silet buntut-buntut guritanya. 

Penulis: Hoirul Anam

0 Response to "Demokrasi Dalam Cengkraman Partai Politik"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel