Menyangsikan Nuansa Baru Pemilu

KPUkotabanjarbaru
Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 jatuh pada tanggal 14 Februari tahun depan. Artinya, estimasi waktu yang dimiliki para pihak saat ini adalah setahun. Waktu yang relatif singkat untuk ukuran hajat besar lima tahunan. Dalam rentang waktu ini, pihak yang berkepentingan dituntut untuk menyiapkan semuanya. Segala hal terkait tetek bengek Pemilu, utamanya kampanye dengan segala bentuknya. Beruntung, pihak yang sudah menyiapkan dari tahun-tahun kemarin. Selian, kita harus melihat kilas balik dari tahun lalu, utamanya Pemilu 2019.

Sejak tahun itu, topik yang menjadi pembicaraan menyangkut pemilihan tidak jauh dari perkara identitas. Kita dapat menarik akarnya pada Pilgub DKI 2017 yang klimaksnya di Pemilu 2019. Rentang waktu dua tahun dari Pilgub DKI tersebut menjadi ajang memupuk politik identitas. Tidak perlu kaget pada Pemilu 2019, sentimen identitas mencuat dengan kuat. Ketika dicermati, pihak yang berkonfrontasi adalah orang yang tidak jauh beda dengan dua tahun sebelumnya. Dengan kata lain, mereka meneruskan konfrontasi dari Pilgub hingga Pemilu. 

Tentu tidak usah disebutkan, pihak mana saja yang dimaksud. Kabar buruknya, rentang waktu dari Pemilu 2019 hingga 2024 belum ada tanda-tanda mereda. Bahkan, dua orang junjungan yang menjadi koalisi saat ini tidak banyak memberikan dampak. Maksudnya, konfrontasi yang dibawa ke gelanggang masih kental. Kendati begitu, terlalu cepat untuk mengatakan bahwa identitas sedang dipertaruhkan. Hanya saja, saya berani berasumsi terkait potensi menarik marwah identitas sekali lagi.

Kita hendaknya menaruh rasa skeptis melihat Pemilu 2024 mendatang. Dalam pandangan saya, Pemilu yang diselenggarakan tahun depan tidak jauh beda dengan empat tahun lalu. Kembali lagi, apa yang ditanam pada Pilgub DKI 2017 dan Pemilu 2019 akan kita tuai besok. Salah satu skenario yang paling mungkin kita rangkai saat ini. Kendati ada skenario lain, tidak akan jauh-jauh dari koridor tersebut. Antara lain yang bisa kita duga adalah polarisasi cebong-kampret, tentu dengan bentuknya yang sudah dimodifikasi. Bukankah semua ini adalah apa yang kita temui sebelum-sebelumnya?

Itulah mengapa saya berani sesumbar bahwa hajat besar besok tidak bakal jauh beda. Ketika ada yang mengatakan bahwa sebaiknya tidak menyeret identitas, tidak membonceng agama ke gelanggang, ini adalah permintaan yang sukar dipenuhi. Diakui atau tidak, yang namanya marwah identitas, lebih-lebih agama nantinya, tidak mungkin disia-siakan begitu saja. Daya jual agama di pasar demokrasi laku keras. Masih segar di ingatan tatkala agama memberi warna yang mencolok pada Pilgub DKI enam tahun lalu.  

Medsos dan Identitas

Maujud media sosial menjadi enjawantah dari demokrasi yang paling konkret saat ini. Di sana, setiap orang bebas berbicara dan melontarkan pendapat. Hal tersebut sukar mendapat kontrol yang maksimal. Titik kulminasinya biasanya pada perdebatan yang kurang sehat. Ditambah lagi, influencer yang tidak jarang memantik keributan. Seringnya membuat keruh suasana menjelang pemilihan. Idealnya, influencer menjadi eksponen Pemilu yang arif dan damai, bukan malah menuangkan minyak dalam api.   

Hal ini yang sukar dikontrol dan memang potensial dimanfaatkan tahun depan. Pertama, pihak mana pun tidak akan menutup mata terhadap daya jual identitas. Bahkan, pihak yang mengkampanyekan antipolitik identitas pasti paham daya tawar ini. kedua, demikian juga media sosial yang tidak bisa diabaikan kekuatannya di atas bidak politik. Antara kekuatan media sosial dan marwah identitas akan saling melengkapi. Terjadi relasi resiprokal di antara keduanya untuk mewarnai Pemilu tahun depan. Makanya saya katakan dua hal tersebut tidak mudah untuk ditanggulangi.

Namun, kita tidak harus gegabah mengatakan itu pasti terjadi. Hak kita saat ini hanya satu, tidak lain menaruh rasa skeptis. Meragukan aura baru yang diharapkan pada Pemilu tahun depan. Kita hanya perlu menyangsikan itu sembari mengingat borok di masa silam. Warisan arogansi dan sentimen yang hingga kini belum padam.(**)  

Penulis: Moh. Rofqil Bazikh Mahasiswa Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga yang kini tinggal di Depok, Sleman, Yogyakarta.

0 Response to "Menyangsikan Nuansa Baru Pemilu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel