Mengapa Saya Tidak Membaca?

ashrambangsanesw
Manusia diciptakan untuk membaca, kira-kira begitu menurut orang yang sedikit paham ihwal agama—Islam secara lebih spesifik. Itu tidak lain karena dikonstruk oleh sebuah kejadian dalam wahyu pertama yang diturunkan lewat perantara malaikat Jibril. Seperti yang Anda pahami, Jibril memerintahkan nabi untuk membaca (iqra’), namun nabi menolak. Hal itu dilakukan Jibril, konon, sampai tiga kali, sebelum akhirnya nabi menerima. Demikian wahyu pertama turun yang kemudian menjadi mushaf dan sampai pada saat sekarang ini. Maka, spirit membaca sebelumnya sudah tertanam melalu cerita Jibril dan nabi yang turun-temurun, sampai saya besar.

Jauh di sebuah daerah, untuk membaca tidak semudah membolak balik tangan. Untuk mendapatkan bacaan-bacaan yang bagus, atau paling tidak layak, harus berjuang terlebih dahulu. Entah membeli dengan mengunjungi toko di kota atau bahkan—ini yang sering dilakukan—meminjam kepada mahasiswa yang merantau. Apa, perpustakaan? Tentu tidak akan pernah Anda temukan perpustakaan di setiap sudutnya. Ini persoalan yang serius dan kadang dianggap main-main. Minim sekali orang di daerah (desa lebih tepatnya) itu yang memahami persoalan ini, kepala pemerintah daerah sekali pun. Sementara saya, belasan tahun hidup di lingkungan yang seperti itu. Tentu biasa saja, maksudnya tidak membaca adalah hal yang biasa.

Ketika saya sudah mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah ke kota perlahan saya sadar. Persoalan tidak membaca ini adalah persoalan yang serius. Persoalan minimnya akses untuk membaca inilah yang harus segera diatasi, saya berhap kepala daerah membaca ini. Memang benar, bagi orang di desa saya itu, tidak membaca adalah ihwal dan persoalan yang biasa saja. Baik, itu bisa dimaklumi, mereka tidak pernah mengenal Milan Kundera yang dengan tegas berucap “Untuk menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya, maka pasti bangsa itu akan musnah.” Dan tentu tidak sedikit dari mereka yang melupakan kisah tentang nabi dan Jibril dalam transfer wahyu pertama.

Namun, untuk menyalahkan mereka sendiri (per se) merupakan sesuatu yang menurut saya paling naif. Mereka adalah orang yang sama sekali tidak tahu apa-apa dan orang yang tidak tahu apa-apa tidak pernah bisa dihukum atas nama ketidaktahuan. Setidaknya, beberapa orang yang paham betapa pentingnya membaca itu bisa turun tangan, menyelesaikan problem ini. Ini problem yang serius, meski (sekali lagi) sering tidak dipandang sebagai sebuah hal yang problematik. Jadi, wajar ketika saya ditanya “Mengapa Anda tidak membaca?” dengan tegas menjawab “Karena tidak ada bacaan.”

Itu tidak hanya berlaku untuk saya, ada banyak orang di sekitar saya yang mungkin akan mengalami hal yang sama. Anak-anak sekolah dasar, anak-anak sekolah menengah pertama, anak-anak sekolah menengah atas, juga mungkin mengalami keresahan yang serupa. Sesuatu yang lebih mirip dengan aib ketika diceritakan. Makanya, tidak banyak orang bercerita perihal ini, atau bahkan membahasnya. Hal ini seperti aib yang ditutup-tutupi sendiri, seperti penyakit akut yang enggan untuk dibawa ke dokter atau bahkan sekadar bertanya obat apa yang pantas. Akibatnya, penyakit itu akan mematikan ketika sudah sampai pada saatnya, peradaban daerah akan merosot drastis dan anjlok.

Tentu, berbeda dengan apa yang terjadi di kota, tempat di mana saya melanjutkan jenjang pendidikan. Saya menemukan banyak ruang untuk sekadar membaca, meksi saya bukan pembaca yang ulung dan tahan lama. Namun, saya senang dengan adanya ruang itu, betapa benar-benar difasilitasi untuk sekadar membaca hal-hal yang memang layak. Kontras dengan apa yang ada di desa saya dan tidak pernah sama. Inilah akibat dari tidak meratanya sebuah usaha untuk meningkatkan literasi bangsa, banyak lubang dan compengnya. Dan ketika bahan bacaan tersedia sedemikian rupa, tidak ada lagi alasan untuk tidak membaca. Saya sadar, alasan “Tidak ada bahan bacaan” yang sering saya lontarkan di desa sudah tidak relevan di kota. Tetapi, menurut saya bukan hanya di kota, belakangan di desa demikian pula.

Solusinya, perpustakaan berbasi daring milik pemerintah (iPusnas) bisa menjadi alternatif. Satu-satunya modal yang harus dimiliki untuk mengaksesnya adalah gawai. Telepon pintar menjadi alternatif untuk membuka perpustakaan milik pemerintah itu. Di saat semua sudah menemukan titik terang, saya tetap bertanya-tanya kepada diri sendiri; alasan apa yang paling relevan untuk tidak membaca? Mengapa saya tidak membaca?***

Penulis: Moh. Rofqil Bazikh

0 Response to "Mengapa Saya Tidak Membaca?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel