Menakar Superioritas Islam

Kibrispdr.org
Relasi antara muslim dengan nonmuslim adalah sesuatu yang sama sekali tak terhindarkan. Bahkan, jika kita bertolak dari titik historis sekalipun akan menemukan hal yang sama. Yakni, relasi antara nabi Muhammad dengan orang di sekelilingnya yang tidak sekeyakinan. Sejarah juga berulang sampai hari ini, di sekeliling kita. Ini sekaligus menegaskan bahwa kita adalah makhluk sosial dan tak lepas dari relasinya. Namun pertanyaan yang paling mendasar adalah, bagaimana relasi antara muslim dengan nonmuslim itu? Pertanyaan yang remeh, namun butuh kematangan dalam menjawabnya agar paparan yang dikemukakan terlihat presisi serta tidak melangkahi fakta yang ada.

Jika hendak jujur, bisa dikatakan relasi antara muslim dan nonmuslim mengalami sebuah kendala besar. Itu juga yang seringkali menjadi sasaran tembak ketika kita membahas ihwal moderasi beragama. Di titik itu moderasi hendak ditegakkan dan menengahi ekstrem. Persoalannya menjadi rumit musabab relasi negatif—untuk menghindari lema pertentangan—dipicu oleh distingsi “mayoritas-minoritas”. Relasi negatif tersebut bisa dimulai karena ada anggapan bahwa yang satu(mayoritas) superior, sedang yang lainnya(minoritas) berada satu tingkah di bawahnya. Ketika terjadi klaim tersebut, kontak negatif tidak akan pernah berujung. Nahasnya, justru sampai pada klaim ‘mayoritas benar’ dan ‘minoritas salah’.

Tak ayal lagi, jika kemudian pengrusakan tempat ibadah minoritas adalah hal kaprah. Perasaan dan klaim paling benar demikian yang disebut eksklusivisme dalam istilah yang dipopulerkan Alan Race. Semula istilah ini hanya berkembang di dunia Kristen dan pandangan mereka terhadap agama lain. Namun, belakangan juga digunakan beberapa orang untuk diterapkan dalam Islam. Kata lain yang merupakan lawan dari eksklusivisme adalah inklusivisme bahkan pluralisme. Aksin Wijaya membahas hal tersebut panjang lebar dalam bukunya Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia. Di sana ia menjabarkan bagaimana sikap eksklusif dan inklusif terhadap nonmuslim—Yahudi dan Kristen dalam hal ini.

Yang hendak dibahas di seksi ini hanya terkait dengan dari mana munculnya klaim yang eksklusif itu. Sebelum masuk ke inti, menarik untuk dijelaskan bahwa sebetulnya ada andil teks teologis(al-Quran). Sebagaimana yang telah kita sepakati bersama, al-Quran merupakan pedoman dan teks suci umat Islam. Tidak bisa dibantah lagi, bahwa eksklusivisme justru hadir karena semangat pemahaman akan teks. Saya tidak hendak menggugat teks teologis tersebut dan mengecapnya eksklusif, melainkan pemahaman mereka terhadapnya. Ada beberapa ayat yang memang jika diinterpretasikan secara leksikal justru akan menjerumuskan pada sikap ekslusif. Bagi saya ini reduksi yang mengerikan.

Untuk membuatnya lebih inklusif, maka saya hendak mendatangkan sebuah wacana tandingan. Salah satu ayat yang kerap digunakan adalah QS. 3:19 yang diklaim bahwa satu-satunya agama di sisi Allah adalah al-Islam. Namun, beberapa mufasir reformis, seperti Rasyid Rida dan Abul Kalam Azad, bersitegang akan itu. Rasyid Rida mengartikan al-Islam di sana sebagaimana yang kita pahami hari ini, Islam yang terlembagakan. Sedang Azad mengartikan bahwa hal tersebut tidak dikonotasikan pada Islam yang terlembagakan seperti sekarang. Melainkan sebuah jalan dan kepatuhan kepada Tuhan beserta Keesaannya. Itulah mengapa, dalam kacamata Mun’im Sirry, ayat ini tidak bisa dinilai telah menghapus ayat lain yang menjanjikan keselamatan kepada komunitas religius lain yang beriman kepda Tuhan dan berbuat amal saleh [Mun’im Sirry, 2013:408]

Selanjutnya yang sering dijakan alasan untuk mengintimidasi (baca;memerangi) nonmuslim adalah QS. 9:29. Namun hal ini tampak bertentangan dengan QS. 2:256 yang menyatakan ‘tidak ada paksaan dalam beragama’. Untuk mengatasi hal itu, maka diberlakukan teori universalitas dan partikulartis, sebagaimana yang digunakan Tariq Ramadan. Untuk ayat pertama, yang berkonotasi negatif dan anjuran memerangi, diterapkan pada saat-saat tertentu(partikular). Itu juga dinilai memiliki sebab (asbab al-nuzul) yang khusus terkait turunnya. Sementara yang terakhir, frasa tidak ada paksaan dalam agama, digunakan secara universal. Saya berani mengambil kesimpulan, bahwa di saat-saat keadaan yang tenteram seperti Indonesia ini, maka ayat terakhir yang berlaku.  Hanya dengan cara inilah, kita dapat bersikap lebih inklusif terhadap nonmuslim.

Tatkala hidup telah bergandengan dengan orang nonmuslim seperti hari ini. Maka, tidak ada alasan apapun selain menerapkan sikap tenggang rasa. Legetimasi dengan ayat teologis dan penafsiran yang serampangan memang seharusnya dipatahkan. Lalu, kita kembali kepada semangat universal agama-agama, yakni kemanusiaan. Menjadi semakin menarik jika keberagamaan ini diletakkan pada ranah antroposentris dan memberikan perhatian kepada seluruh manusia (terlepas dari agama, suku, ras, dan budaya). Hanya dengan cara yang demikian kerukunan dan sikap saling menghormati akan terjalin sedemikian erat. Bahkan seandainya agama menganjurkan sikap keras—tapi tidak mungkin kecuali di titik tertentu—maka harus dikesampingkan demi spirit universal itu.

Konklusi dramatiknya, patut kita catat baik-baik, peperangan di masa nabi bersifat defensif alih-alih agresif. Hal ini memberi ilustrasi kepada kita, bahwa sesungguhnya agama yang telah dibawa nabi tidak hendak menjadi dalang kekerasan. Eksklusivisme selayaknya dikesampingkan dan sikap inklusif harus dikemukakan. Sikap inklusif itulah yang dapat memberi kita ruang untuk menerapkan dan menimbang spirit kemanusiaan. Di saat yang bersamaan juga membuang jauh-jauh hal yang mencederai kemanusia. Di akhir, saya hendak mengutip salah satu tulisan Habib Ali al-Jufri, al-Insaniyyah Qobla Tadayyun, kemanusiaan sebelum keberagamaan. Kemanusiaan di atas segalanya. [**]

Penulis: Moh. Rofqil Bazikh, Pengurus PMII Rayon Ashram Bangsa masa khidmat 2022/2023

0 Response to "Menakar Superioritas Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel