Mungkinkah Pesantren Menjadi Radikal?
Pertanyaan ini
kendati tidak provokatif, namun cukup sulit untuk dijawab secara presisi. Tidak
cukup semata-mata kita mengajukan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’. Musabab ihwal
relasi pesantren dan radikalisme mempunyai kompleksitasnya sendiri.
Problematikanya, relasi antara dua term ini tidak tidak mungkin hanya direduksi
dan disederhakanakan. Meski demikian, kita tidak berdosa besar ketika menaruh
asumsi dan spekulasi dasar. Untuk sampai pada asumsi tersebut, maka terlebih
dahulu diamati rias pesantren belakangan.
Aturan main pertama yang tidak bisa
ditolak ketika kita membincang ihwal pesantren bahwa pesantren mempunyai
sumbangsih besar terhadap bangsa ini. Selain ini, pesantren merupakan strategi pragmatis
sebagai upaya mempelajari agama secara praktis. Ri ngkasnya, dalam istilah yang
dipakai Cak Nur, pesantren sebagai produk asli pribumi(indigenous). Mencatat perjalanan pesantren tentu tidak cukup dengan
tulisan yang sangat terbatas ini. Perlu pembahasan tersendiri untuk membahas
lika-liku perjalanannya.
Yang hendak saya rekam dan ajukan di
sini, bagaimana pesantren ketika menghadapi serangan dari luar? Ini kemudian
berkaitan dengan pesantren dan sikapnya ketika menghadapi pembaruan,
modernesiasi secara spesifik. Pada dasarnya pesantren terbuka untuk mengadopsi
hal-hal yang berasal dari luar. Dengan catatan hal tersebut tidak pernah
mencederai dan menyimpang nilai-nilai luhur dan ortodoksi pesantren. Pada
bagian menjaga nilai luhur inilah, realitanya pesantren sangat hati-hati
menerima apa yang asing.
Balik ke catatan historis, kita
lihat bagaimana polemik internal pesantren ihwal sistem kelas. Sebagaimana kita
pahami bersama, semula sistem kelas tidak dianut di kalangan pesantren. Sistem
kelas adalah sebuah konsep yang dipakai dan dibawa oleh kolonialisme. Untuk
menerima sistem kelas saja pesantren hati-hati betul. Kendati kita tidak bisa
menyangkal bahwa kehati-hatian pesantren tentu merupakan implikasi logis dari
sikap politisnya waktu itu. Tatkala sistem kelas sudah diadopsi, kita bisa
kembali ke hipotesisi di awal bahwa sejatinya pesantren terbuka—hanya saja ia
sangat waspada!
Untuk memberikan jawaban terhadap kemungkinan
pesantren menjadi radikal ada satu hal yang perlu untuk ditilik. Kita memulai
dari asumsi deduktif bahwa mayoritas orang Indonesia memeluk mazhab Syafi’i.
Ini tentu mempunyai implikasi terhadap pesantren yang juga tumbuh subur di
Indonesia. Pesantren-pesantren kita, diakui atau tidak, masih langgeng mengadopsi
produk-produk mazhab Syafi’i, untuk tidak mengatakan Syafi’i Sentris. Dampak turunannya ialah mazhab lain seolah-olah
tidak mempunyai tempat dan ruang untuk dipelajari. Meski beberapa pesantren
mempelajari, hanya sebatas introduksi saja dan tidak sesubtil bagaimana produk
mazhab Syafi’i dibahas.
Hal seperti itu, bukan tidak mempunyai
implikasi logis apa-apa. Asumsi dasar saya tidak lain adalah pesantren masih
potensial terutup terhadap pandangan yang berbeda. Pandangan dari mazhab
non-Syafi’i potensial dianggap kurang ideal, bahkan keliru. Ini tentu sifatnya
subjektif dan berangkat dari spekulasi saya terhadap fenomena tersebut. Langkah
alternatif yang ideal untuk diterapkan oleh pesantren adalah dengan mempelajari
pandangan-pandangan dari perspektif lain. Mencoba menyelami khazanah lintas
mazhab untuk dipelajari di tubuh pesantren.
Lagi-lagi deskripsi saya tidak
menjawab pertanyaan utama. Hanya saja saya bisa menjawab sampai pada batas
bahwa pesantren potensial tertutup terhadap pandangan yang berbeda. Ketertutupan
ini penting untuk diwaspadai bersama, sebagaimana pesantren mewaspadai hal-hal
yang asing. Mengapa penting untuk diwaspadai? Sifat ketertutupan dari pandangan
yang berbeda pada saat yang sama akan mempengaruhi adanya klaim kebenaran
eksklusif. Hanya memandang bahwa dirinya dan pendapatnya yang benar dan di luar
itu semua salah. Kalau di dalam studi agama-agama kita mengenal istrilah
eksklusisvisme yang dipopulerkan oleh Alan Race, kurang lebih seperti itu.
Kita bisa melihat bagaimana
radikalisme dalam agama tidak sedikit yang terpantik oleh klaim kebenaran
eksklusif. Klaim-klaim yang mendudukkan pendapatnya sendiri yang paling absah,
meski sebetulnya itu hanya salah satu bentuk produk pemikiran. Padahal mungkin
banyak produk-produk pemikiran lain yang tidak kalah absahnya. Untuk itulah
menjawab pertanyaan probabalitas pesantren menjadi radikal tidak bisa dijawab
dengan pertanyaan afirmatif(ya) dan
negatif(tidak). Sebagaimana saya
utarakan di awal hal tersebut sangat kompleks untuk disimplifikasi.
Akhirnya, kita tidak menemukan jawaban yang memuaskan. Kita cuma mampu melihat bahwa pesantren masih potensial memliki perspektif yang tertutup, kebenaran yang eksklusif. Pada saat yang sama bukanlah hal yang naif jika mengatakan radikalisme muncul dari keterutupan seperti itu. Apalagi pesantren disinyalir terbuka terhadap hal-hal dari luar. Hanya saja untuk menjawab ‘iya’ terhadap probabilitas pesantren menjadi radikal tentu mengandu konten yang sensitif. Seterusnya, apapun jawabannya Anda bisa memilih dan memilah.(**)
Penulis: Moh. Rofqil Bazikh, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa, Korp Galiansa.
0 Response to "Mungkinkah Pesantren Menjadi Radikal?"
Post a Comment