Islam dalam Pusaran Politik Oligarki dan Kapitalisme Di Indonesia

Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh sebagian besar penduduk di Indonesia. Dari sekitar 225 juta penduduk di Indonesia, sebesar 87,2 peresennya merupakan umat muslim. Bahkan meskipun tanpa saya sebutkan secara detail seberapa besar prosentase umat muslim di Indonesia, secara mutlak jelas terlihat bahwa umat muslim di Indonesia sangatlah begitu dominan. Sehingga tidak heran jika dalam lapisan masyarakat, tindakan yang diambil atau dilakukan umat muslim dalam bentuk komunalnya akan begitu berpengaruh pada pola kebijakan yang akan diberlakukan. Entah disadari atau tidak, di dalam negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, dimana kedaulatan rakyat dianggap sebagai kedaulatan tertinggi, maka suara rakyat mayoritas akan sangat menentukan kebijakan-kebijakan yang ada.

Hal inilah yang menjadi dasar dari dalil saya di awal bahwa tindakan dari umat muslim amat sangat berpengaruh terhadap kebijakan. Secara logika pemerintahan berbicara demikian, meskipun secara fakta kadang menyimpang dari hal itu, dengan berbagai faktor yang ada tentunya.

Pengaruh umat islam secara historis di Indonesia dapat kita lihat bahkan jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Sebagaimana pengaruh organisasi islam yang ada pada masa kolonial seperti Syarikat Islam (SI). Organisasi ini  memiliki pola gerakan akar rumput yang begitu berpengaruh baik dalam kalangan islam menengah, sampai dengan golongan islam bawah. Sehingga pengikutnnya berasal dari berbagai sektor, baik perdagangan, pers, sampai pada sektor pertanian di Hindia Belanda kala itu. Bahkan perlawanan SI dikenal begitu masif hingga membuat pemerintahan Hindia Belanda kerepotan. Akhirnya berujung pada pembuangan atau pengasingan terhadap beberapa pimpinannya.

Maju lagi sampai dengan masa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Lagi-lagi keputusan umat islam kala itu sangat menentukan bagaimana asas-asas kenegaraan yang sampai saat ini kita pakai dan masih kita junjung bersama sebagai fundamental norm. Dasar negara ini akan berbeda bentuknya jika kala itu ego primordial dari umat islam dikedepankan, dan tidak akan ada negara Indonesia yang membentang dan seutuh saat ini hingga ujung timur papua. Dengan semangat persatuan dan kemerdekaan, maka umat islam rela mengganti butir pertama dalam pancasila sehingga berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Meskipun kita tau bahwa umat islam memang menjadi penduduk mayoritas, akan tetapi toleransi bernegara jauh diperlukan untuk mencapai kata persatuan.

Sampai disini kita harus insaf, bahwa pengaruh umat islam begitu dominan dalam dinamika bangsa ini. Dapat kita katakan bersama bahwa umat islam sebenarnya harus berperan sebagai promotor kemajuan bangsa, meskipun kalimat ini agak sedikit rasis, akan tetapi saya memaknai ini sebagai motivasi bersama yang seharusnya kita bersama juga meyakini demikian. Karena islam pada dasarnya merupakan gerakan spiritual, moral, budaya, politik, serta sistem ekonomi alternatif. Artinya tentu saja hari ini islam harus siap menjadi gerakan “alternatif” terhadap seluruh sistem negara yang hari ini mulai rancu dan saya anggap menuju proses dehumanisasi. Namun pada kenyataannya gerakan alternatif umat islam ini tidak selalu konsisten dan sering mengalami pasang surut, sampai akhirnya sulit mempertahankan watak yang seharusnya sebagai gerakan alternatif.          

Bahkan hari ini umat islam justru menjadi sorotan saat membicarakan proses dehumanisasi, ketidakadilan gender, berpandangan intoleran, dan sebagainya. Islam tiba-tiba kehilangan citra diri sebagai gerakan alternatif dan gerakan dalam menegakkan keadilan. Justru hari ini islam seolah mengalami degradasi dan penyempitan pandangan hingga lupa terhadap visi spiritualnya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, yakni menjadi pembebas bagi kaum tertindas, menjunjung tinggi rasa kemanusiaan (Humanity) dan keadilan (Justice), serta sebagai pembebas manusia dari segala bentuk alienasi. Lantas bagaimana islam hari ini? Mampukah islam menjadi jalan altrnatif manusia untuk lepas dari berbagai jeratan ketidakadilan, yang dewasa ini semakin mengganas. Apakah islam mampu terlepas dari kerangkeng ideologi neoliberalisme, marginalisasi politik ekonomi akibat dari jeratan kapitalisme global dewasa ini?

Sodoran pertanyaan yang besar dan ambisius inilah yang sesungguhnya hari ini perlu manjadi renungan bersama. Renungan kembali atas ajaran moral, teologi, doktrin sosial dan politik ekonomi yang dulu pernah menjadi jawaban dan alternatif terhadap persoalan dehumanisasi di zamannya. Dewasa ini umat manusia khususnya umat islam di Indonesia dihadapkan pada serangan dan invasi yang begitu berat. Mendengar itu, sebagian umat islam justru memberikan perhatian dan tenaganya yang lebih tertuju pada ancaman yang bersifat praktis, yakni misalnya problem palestina yang menteror hati nurani kita sebagai manusia, atau justru bereaksi terhadap hal-hal yang dianggap menghina keyakinan umat islam, seperti penistaan agama dan lain sebagainya.

Akan tetapi perlu kita sadari bersama, bentuk ancaman kemanusiaan yang sesungguhnya mengancam umat manusia adalah menguatnya sistem ekonomi dan politik neoliberalisme dalam era yang disebut sebagai Globalisasi modal ini. Karena sesungguhnya ancaman politik kapitalisme global ini berwatak “persaingan bebas”, yakni merupakan kembalinya paham Kolonialisme dan imperalisme yang sudah lama mati, dan bahkan secara radikal merupakan kembalinya “ideologi jahiliah” yang membawa bencana dehumanisasi dan alienasi manusia yang dulu pernah dihentikan oleh islam.

Kapitalisme global ini harus kita sadari dampaknya yang begitu besar bagi kehidupan umat islam. Bukan hanya umat islam, namun dalam pandangan yang lebih general adalah seluruh umat manusia, seluruh  kaum manusia yang rentan dan lemah. Dengan neoliberalisme kapital ini justru kaum yang lemah akan semakin lemah dan termarginalkan.

Eksploitasi tersebar dimana-mana, bukan hanya eksploitasi sumber daya alam, akan tetapi eksploitasi tenaga manusia juga menjadi dampak dari kapitalisme ini. Sebagai umat islam, seharusnya batin kita ikut bergetar dengan segala bentuk ketidak adilan dan kedzoliman yang dibawa oleh kapitalisme. Bagaimana tidak? jika unsur-unsur dalam kapitalisme secara nyata menyimpang dari visi spiritual islam yang irahmatan lil ‘alamin, karena jelas-jelas akan menimbulkan dampak kerusakan alam dan dehumanisasi.      

Kapitalisme sendiri sesungguhnya adalah sistem yang kontradiktif, karena hanya segelintir orang kaya raya dan mayoritas lain hidup melarat. Seharusnya umat islam justru lebih peduli soal hal ini dengan mengedepankan “analisis kelas”, dan peduli terhadap kaum-kaum yang tergusur dan tergerus oleh arus neoliberalisme. Bukan sekedar ramai dengan sikap reaksioner terhadap sesuatu yang hanya sedikit saja menyinggung soal keislaman kita. Sebagai contoh umat islam yang melakukan demo besar-besaran terhadap ahok yang dianggap telah melecehkan kitab suci umat islam sehingga dituntut dengan tuduhan penistaan agama.

Hal ini sebenarnya terhitung kontraproduktif dan rentan dimanfaatkan oleh para aktor politik yang memandang hal tersebut sebagai salah satu keuntungan di pihaknya. Alih-alih yang terjadi bukan aksi bela islam, akan tetapi yang terjadi justru aksi bela oligarki. Karena aksi yang mengatasnamakan umat islam dan hanya mengedepankan politik identitas, serta isu sektarian tak ubahnya hanya menjadi salah satu bidak catur politik oligarki.

kembali lagi kita perlu merenung tentang bagaimana respon pemikiran islam terhadap menguatnya kapitalisme global aliran neoliberalisme saat ini? Hal ini akan membuat siapapun mengalami kesulitan memahami reaksi golongan islam. Karena kita harus sadar bahwa apa yang dimaksud dengan golongan islam, atau pemikiran islam, bahkan teologi islam, tidaklah tunggal. Pemikiran islam dalam kenyataanya terdiri atas berbagai aliran dan masing-masing aliran telah melahirkan berbagai paradigma dan doktrin serta keyakinan masing-masing. Oleh karena itu, jawaban teoritik sikap teologis, serta analisis teoritik umat islam tentang neoliberalisme ini tergantung pada teologi dan paradigma pemikiran islam masing-masing.

Maka pertanyaan terakhir yang muncul, mampukah islam menjadi kendaraan resistensi dalam melawan kapitalisme? Dengan kenyataan bahwa wajah islam yang tidaklah tungal, ditambah dengan kapitalisme global yang juga semakin plural. Atau pernyataan terakhir, umat islam hanya akan mampu menjadi kaum-kaum reaksioner fundamentalis yang hanya mengedepankan isu sektarian dan tidak lebih hanya sekedar bergerak dalam politik identitas.

Mohammad Yusron Mustofa, Kordinator Kaderisasi Rayon Ashram Bangsa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 Response to "Islam dalam Pusaran Politik Oligarki dan Kapitalisme Di Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel