Eksistensi Salat dan Hal Kecil Lainnya

Hierarki dalam keagamaan selalu mementingkan hal yang berkaitan dengan Tuhan berada di nomor satu. Dengan kata lain, hal-hal yang bersifat vertikal selalu bersifat transenden disertai sepenuh ketulusan hati—sebagai dari implementasi kehambaan seseorang terhadap Tuhannya. Wujud dari penghambaan memang tidak selalu tentang relasi vertikal tersebut. Tetapi dalam realita yang dihadapi, hal tersebut justru menduduki posisi tertinggi. Sepantasnya seluruh hal yang bersifat horizontal tidak berada di bawah bagian tersebut.

Perlu disadari memang hal yang bersifat horizontal juga tidak kalah penting ketika membahas persoalan teologi Islam dan seperangkat ajarannya. Bagaimanapun Islam adalah agama langit yang kemudian diturunkan ke bumi. Sehingga skop Islam itu sendiri sejatinya adalah di bumi. Sekali lagi—harus dicatat dengan baik dan teliti—tanpa menafikan skop langit. Perintah-perintah yang berasal dari wahyu dengan otoritasnya, selalu dan memang harus dipenuhi. Tetapi jika hal tersebut bersifat semacam ralasi sesama manusia, tidak semua orang bisa mencapai. Atau dengan bahasa yang sederhana, selalu mengesampingkan kemanusiaan dan meletakkannya di bawah relasi dengan Tuhan.

Dalam wacana keislaman sudah tidak mungkin bisa dilepas dari yang namanya perangkat rukun Islam. Pertama, dalam rukun Islam sendiri, salat—sebagai penghambaan kepada Allah—berada di nomor dua setelah pengakuan. Pengakuan terhadap ketuhanan Allah dan kenabian Muhammad Saw. Secara tidak langsung memang seperti menonjolkan bahwa relasi kepada pencipta itu lebih utama dari segalanya. Memang itu tidak bisa disangkal, sebagai sebuah syariat yang sudah mutlak. Tetapi juga tidak bisa dinafikan bahwa dalam rukun Islam sendiri ada sebuah syariat zakat, yang hal tersebut masuk terhadap relasi antar sesama manusia. Ini sejatinya tidak berada di bawah keagungan syariat salat. Tetapi selalu dan terus-terusan sejajar.

Persoalnya yang serius, justru kedua komponen tersebut(kemanusiaan dan ketuhanan) kadang tidak berjalan beriringan. Sebagian orang terlalu mengelu-elukan ketuhanan, meski hal tersebut tidak salah. Tetapi di sisi lain menutup mata terhadap problem kemanusiaan. Di lain hal juga, sebagian orang mengklutuskan dan menyeriusi problem kemanusiaan. Tetapi juga, melupakan hal yang bersifat ketuhanan. Mungkin ini sekadar sangkaan, tetapi sekecil apapun sangkaan tetap berangkat dari sesuatu yang mendasari.

Hal yang mendasari itu adalah sebuah realita dalam hidup dekade terakhir. Di sekitar bisa ditemui beberapa orang yang masih begitu meremehkan terhadap syariat salat itu sendiri. Meski ia adalah orang yang—kalau dalam ranah sosial—selalu berbuat kebaikan. Juga tidak sedikit orang yang salatnya selalu tepat waktu tetapi masih tidak sadar isu sosial. Tidak sadar terhadap kesenjangan sekitar yang sekiranya membutuhkan bantuan dan uluran tangan. Semestinya syariat dan seperangkat wacana hukum Islam benar-benar dihayati.

Dalam perspektif ini, sama sekali tidak akan menyangkal kesakralan salat sebagai sebuah perintah. Tidak akan mengutak-atik, eksistensi salat dalam agama Islam itu sendiri. Tetapi, akan kembali ditelaah sejauh mana syariat itu benar-benar diterapkan. Karena bagaimanapun syariat dalam Islam tidak hanya salat. Meski, barangkali lazim di mafhum, bahwa perkara selain salat adalah hal kecil. Tentu pandangan-pandangan kecil ini yang harus dihapus. Takut-takut, meremehkan kepada hal yang selain salat itu tadi.

Umum memang, hal yang selain salat dianggap kecil. Itu adalah sebuah problem yang, saya kira, luput dari perhatian. Maka pikiran-pikiran semacam itu perlu disegarkan kembali, bahwa dalam ranah penghambaan kepada Tuhan tidak ada hal kecil dan besar. Semua adalah tentang kebaikan dan kemaslahatan. Karena inti dari syariat Islam itu sendiri sejatinya adalah kemaslahatan. Maka, baik hal yang bersifat vertikal maupun horizontal selalu dan harus berjalan serempak. Tidak ada istilah tumpang tindih dan tidak beriringan.

Penghayatan terhadap keberislaman juga perlu disegarkan kembali. Ketika salat selalu dielu-elukan dan memandang hal selain salat adalah kecil, itu adalah kesumiran pikiran yang luar biasa. Sekali lagi, dalam ranah bumi, Islam turun untuk bumi dan apa-apa di dalamnya. Kesetaraan dalam memandang hal yang sama-sama bersumber dari teks teologis harus tercapai. Tidak ada hierarki dalam implemntasi kehambaan terhadap Tuhannya. Semua adalah sejajar dan sama. Maka salat adalah barang yang sangat vital, tetapi isu-isu kemanusiaan harus mendapat perhatian secara transenden juga.

 

Moh. Rofqil Bazikh, mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga. Sekarang tinggal di Garawiksa Institute Yogyakarta. dan anggota baru PMII Ashram Bangsa 2020 

 

0 Response to "Eksistensi Salat dan Hal Kecil Lainnya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel