Dua Hari Di Sunan Pandanaran Dihantar NU

Foto CNN Media

Oleh Zain Ali PM*

Ashrambangsanews.com-Cerpen Bendera PWNU DIY berukuran tidak begitu besar dan bapak-bapak Banser sudah lanjut usia menyambut kedatangan saya pagi itu. Suasana kental ke-NU-an seketika kurasakan,  masyarakat sarungan di lingkungan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran sangat mudah kita temukan. Saya jadi teringat kampung halaman di Madura.

Di depan gedung lantai dua saya memarkir motor entah gedung apa, di samping kanan terlihat adik-adik santri tengah asyik main bola. Main bola ala santri ya pakek sarung dan jelas tanpa menggunakan sepatu, pemandangan ini membawa saya pada kenangan saat nyantri di Pondok Pesantren Darul Falah Amtsilati Bangsri Jepara sepuluh tahun silam.

Suasana pesantren yang syahdu menentramkan jiwa dan kalbu begitu membuat saya emosional, serasa ingin kembali nyantri di pondok pesantren lagi. Oh Tuhan  betapa beruntung mereka yang diberi kesempatan olehmu untuk menjadi Santri. “Semua santri harus bersyukur, tak semua anak-anak muda seusia kalian mondok di pesantren, kalau bukan orang pilihan,” begitu motivasi Kiai sewaktu saya di Pesantren.

Di Pondok Pesantren Sunan Pandaran tepatnya di halaman Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran saya dua hari ini akan bermukim, untuk mengikuti PKPNU (Pelatihan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama) Yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta angkatan ke enam segmen khusus mahasiswa.

Sunan Pandanaran nama ini tidaklah asing ditelinga saya, sebab Ustad Abdul Mannan Hasan guru saya di Pondok Pesantren Miftahul Karangdurin Sampang Madura pernah bercerita perihal pondok ini “Pondok yang NU-nya kental selain pondoknya Mbah Ali Maksum Krapyak,” begitu kata Ustad Mannan suatu sore di belakang Masjid As-Solihin saat saya masih nyantri di Madura, tepatnya enam bulan sebelum saya bertolak ke Jogja untuk menimba Ilmu di UIN Sunan Kalijaga.

Namanya mahasiswa yang sok sibuk, keinginan untuk sekedar bermain ke Pandanaran tak lebih hanya wacana belaka semata, sibuk ngopi dan rapat gak jelas sana sani, tak lupa sembari mencari potongan tulang rusuk yang sampai detik ini tak kunjung kutemui.

Bukan karena hanya itu, di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) angkatan saya juga setiap malam jumaat punya agenda ziaroh ke makam-makam para Ulama dan Kiai di Jogja, hanya saja pada saat jadwal ziarah ke makam para pendiri Sunan Pandanaran saya tidak ikut, saya memang nakal, duh.

NU bagi saya bukan hanya soal organisasi bukan pula soal Mbah Hasyim dan para pendiri NU lainnya, melainkan NU bagi saya yang memang asli Putra Madura “adalah agama kebanggaan orang Madura” begitulah guyon yang kerap dilontarkan para petinggi NU disetiap acara formal atau  non formal. Bahwa kalau orang Madura ditanya agamamu apa? Jawabnya ya agama saya NU.

Tak hanya itu, setelah saya mulai tumbuh besar dewasa dan suka membaca sedikit mampu berpikir dan bisa memetakan mana yang benar dan salah minimal menurut saya, NU merupakan organisasi yang sangat bersahaja dengan segala bentuk kontribusi pemikiran dan andilnya dalam membangun dan mempertahankan kesatuan Negara Indonesia. Dan saya menemukan landasan pemikiran itu di NU. Korelasi agama berbangsa dan bernegara.

******
Saya berkesimpulan bahwa NU lah yang mampu mengantarkan saya ke Pondok Pesantren Sunan Pandanaran melalui PKPNU. Tuhan selalu punya caranya sendiri dalam menunaikan kehendak hambanya, tanpa terkira dan tanpa wacana. Karena saya mengikuti PKPNU ini tidak niat sedikit pun, hanya saja ketika berdiskusi dengan sahabat-sahabat, dengan mengikut PKPNU setidaknya kita jadi lebih paham NU secara menyeluruh, meski tidak sempurna.

Ternyata setelah mengikuti progam PKPNU bukan hanya soal pemahaman ke-NU-an yang saya dapati, yang paling memberuntungkan bagi saya ialah “menyambung sanad” keilmuan dengan para pendiri NU serta tokoh-tokoh Ulama NU lainnya.

Pada sebuah sore yang rindang, materi pertama telah berlalu. Pembukaan PKPNU begitu memberi saya kesadaran pentingnya berorganisasi. Sambutan pertama yang dibawakan oleh pihak panitia, satu hal yang saya garis bawahi dari sambutannya. Mbah Wahab mengatakan “PMII adalah otak NU”

Lebih jelasnya pembahasan mengenai keluarnya PMII dari banom NU pada era pemerintahan Soeharto tidak lepas dari pada intervensi dan kepentingan orde baru pada saat itu. Yang menginginkan pemuda-pemuda NU keluar dari barisan NU itu sendiri, jelas agar supaya otak atau barisan starategis dan kader-kader mudanya NU menjadi kocar kacir. Dan bukan hanya PMII saja melainkan IPNU (ikatan Pelajar Nahdlatul Ulma) juga berhasil keluar dari NU, sehingga menyebkan pelajar NU beberapa kali ganti nama.

Pada muktamar NU ke 33 di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, PMII tetapkan dirinya bagian dari badan otonom NU memalui siding komisi organisasi diacara muktamar tersebut “Meski sebenarnya sampai saat PMII masih setengah-setengah” guyon  panitia diacara pembukaan PKPNU dalam sambutannya.

Pondok Pesantren Sunan Pandanaran telah berhasil membuat saya bernostalgia, pondok ini bersih jauh dari kesan pondok-pondok yang dikenal kumuh.  

Jarak yang tak terlalu jauh dengan lereng gunung merapi, membuat suasana sejuk selalu menyelimuti pondok ini. Airnya pun segar, suasana berkabut pada pagi hari dibarengi dengan bunyi-bunyi reriuhan para santri dengan segala aktivitasnya membuat jiwa saya semakin emosional dalam mengenang masa-masa di pesantren dulu.

Aliran sungai yang melahirkan bunyi ketenangan serta lantunan bacaan al quran menyatu menjadi satu pada malam hari di pondok ini. Oh Tuhan terimakasih atas kesempatanmu telah memberiku waktu bernafas selama tujuh tahun di pesantren.

Pada malam itu saya hendak ke kamar mandi sembari ingin mengambil sepatu di dalam jok motor untuk keperluan olah raga besok pagi yang merupakan susunan agenda acara PKPNU. Kebetulan saja saya berpapasan dengan santriwati yang mungkin baru saja sholat magrib dari Masjid menuju kamar biliknya, sebab mereka masih dalam balutan mukena dan memeluk mushaf al quran.

Sedikit saya salah tingkah pada malam itu, bagaimana tidak dilihat puluhan santriwati sedangkan saya tengah berdiri seorang diri pura-pura kuat menahan malu. Sebagaimana adab seorang santri mereka semua kuperhatikan merundukkan pandangannya, saya paham tertundukknya kepala mereka adalah keterpaksaan sebab ada ustdzah yang siap memarahinya jika mungkin di antara santriwati ini melihat kegantengan saya yang diam-diam salah tingkah ini hahaha.

******
Mengikuti pelatihan pendidikan kader penggerak NU ini, mengajari saya banyak hal, tentang pentingnya berorganisasi untuk kemudian pengalamannya akan dikhidmahkan pada masyarakat kelak, serta pentingnya menyambung sanad keilmuan agar tidak terputus dan kelak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Tak cukup hanya itu, saya jadi paham pentingnya doktrin ideologi tentunya dalam hal ini ideologi ala NU. Oleh salah satu pemateri dalam acara ini dijelaskan, seseorang tanpa doktrin ibarat layang-layang tanpa benang. Jadi, doktrin merupakan kebutuhan pun juga doktrin adalah pembatas.

Di pertemuan kedua, saya dipaksa menjadi ketua kelas setelah ketua kelas yang terpilih enggan untuk memimpin yel-yel di hadapan 103 pesarta PKPNU. Awal mula saya anggap ini hanya perintah panitia untuk mengomando yel-yel semata, nyatanya saya memang menjadi ketua kelas selama acara tersbeut.

Jadi saya sering tampil di depan, setiap ada apa-apa saya selalu menjadi perwakilannya termasuk di akhir acara PKPNU ini. Saya diberi kesempatan untuk memberikan testimoni terkait pelaksanaan PKPNU yang diselenggarakan oleh PWNU DIY ini. 

Dengan sisa suara yang sudah hampir habis dikarenakan setiap hari teriak-teriak mengomando yel-yel saya memberi terstimoni yang disaksikan oleh para peserta dan beberapa panitia disebuah aula Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran.

“Ikut PKPNU saya jadi tahu, bahwa ternyata yang dilakukan oleh masyarakat Madura kebaanyakan kesemuanya merupakan amaliyahnya NU. Jelas semua keluarga saya NU, hanya saja secara teori saya tidak paham apa itu NU? Ada apa saja di NU? Dan lain-lain sebagainya, sekilas saya memang paham tapi tidak begitu mendalaminya.

Madura yang masih sangat asri ke-NU-anya meskipun pada dasarnya masyarakat kebanyakan “awam” tentang ke-NU-an, mereka melaksanakan amaliah NU hanyalah bermodal  taqlid dan loyalitas pada Kiai dan Lora (Sebutan putra Kiai di Madura) setempat. 

Namun demikian Madura tak bisa dilepaskan dari pada histori sejarah berdirinya organisasi Islam terbesar di Inonesia ini. Setelah Mbah Cholil Bangkalan memberi restu pada Mbah Hasyim lewat isyrat pemberian tasbih dan tongkat yang dihantar oleh Yai As’ad Situbondo. Selain itu, PKPNU mengajari saya disiplin.”

Saya berhenti sejenak tak melanjutkan testimoni yang tengah saya paparkan, sedangkan Mas Panitia yang berdiri di belakangku mengamati betul apa yang saya sampaikan. Saya berpikir akan lebih berkesan jika saya tutup testimoni ini dengan cerita lucu, maka saya memohon izin untuk minta waktu dua menit sebelum saya tutup untuk bercerita. “Iya Mas Zen, monggo” lirih Mas panitia sembari tangan kanangan mempersilahkan.

“Ada orang Madura kuliah di Jogja” saya memulai cerita wajah teman-teman saya amati ingin tertawa lebih dulu “Jangan tertawa dulu ya sebelum selesai saya ceritanya, biar lebih ngenna” kataku menjelaskan. Saya lanjut bercerita.

Setelah anak Madura diterima di salah satu kampus, ia kemudian menelfon Ibunya di kampung, dengan suara riang gembiara ia lapor pada sang Ibu.

“Bu saya diterima di Universitas Muhammadiyah Bu.”

“Wah… kampus apa itu nak, jangan kuliah di sana itu kampus “sesat””

Karena sang Ibu melarang, lalu Anak Madura ini pindah kampus. Diterimalah ia di disalah satu kampus lain. Tak lama setelah mendapat pengumuman kelulusan ia menelfon kembali Ibunya.

“Bu, Alhamdulillah saya diterima sekarang”

“Diterima di kampus mana nak, awas jangan Muhammadiyah lagi ya”

“Enggak buk, bukan.”

“Apa nama kampusnya, Nak?”

“UAD”

“Apa UAD itu, Nak”

“Universitas (Kiai Haji) Ahmad Dahlan”

“Nah, kalau itu baru kampus keren nak, namanya saja nama Ulama besar”

Pecah bukan main, seketika suara gemuruh tercipta di ruangan mini komplek Sekolah Tinggi Islam Sunan Pandanaran. Setelah testimoni dari pihak laki-laki yang diwakili saya usai, kemudian selanjutnya tetimoni akan disampaikan dari pihak perempuan, Uyun namaanya mahasiswi UGM, dia juga anak PMII, katanya.

******

Malam baiat

Setelah barisan semua lurus, seketika lampu sekitar komplek kampus Pandanaran mati. Suasana semakin terasa kesakralannya. Satu persatu tamu undangan berdatangan, senior dan ulama-ulama besar hadir pada malam pembaiatan tersebut.

Bagi saya ini merupakan suasana pembaaiatan yang memberi kesan paling mistis, beberapa oragnisasi yang saya ikuti pada malam pembaiatannya tidak semistis ini, ini memang sangat berbeda. Sebab dihadiri oleh kiai dan senior pengurus wilayah NU Jogja.

Lantunan solawat badar menemari prosesi hormat sekaligus mencium bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bendera kebesaran NU. Diawali dengan langkah serta pernghormatan pertama oleh saya yang kemudian diikuti oleh peserta yang lain, jiwa saya bergetar dengan sangat. Sebelum benar-benar mencium bendera merah putih, terlebih dahulu kami harus memberi hormat, begitupula kepada bendera kebesaran NU.

Waktu ketika saya mencium bendera NU, saya betul-betul penuh takdzim dan pasrah diri, seakan seluruh jiwa raga ini rela kuwaqofkan untuk kemajuan aswaja dan kebesaran NU ke depan. Saya berusaha tatkala mencium bendera NU seakan-akan mbah Hasyim dan Gus Dur menyaksikan prosesi ini. Oh Tuhan, bimbinglah saya dalam berkhidmat dan berilah keikhlasan dalam hati ini.

Dan teks baiat yang paling menakutkan dari teks-teks baiat organisasi lain yang saya ikuti, baru teks baiat PKPNU yang begitu paling mengerikan, bagaimana tidak, bayangkan saja jika saya lalai dan main-bermain atas sumpah yang telah saya ucapkan ini “Allah akan menghukum saya” mengerikan sekalai bukan?

Blandongan Kopi
Selasa 10 Maret 2020
(Sampai hidup lagi tetap NU)



*Penulis adalah Kader NU muda.

0 Response to "Dua Hari Di Sunan Pandanaran Dihantar NU"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel