Merawat Harmoni NU-Muhammadiyah


Foto: Berita Kompas

Oleh Ahmad Farisi*

Di tengah ketegangan masyarakat menghadapi isu virus korona atau  covid-19 yang kabarnya telah menginfeksi dua WNI (Warga Negara  Indonesia). Konflik dua ormas Islam, yang dalam hal ini adalah NU dan Muhammadiyah menurut saya juga tak kalah penting dan menarik untuk didiskusikan. Pasalnya, selama ini, dua ormas yang sama-sama didirikan oleh dua ulama besar (Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Ahmad Dahlan) ini bisa dikatakan tidak pernah berselisih soal pemahaman keagamaan ataupun soal kebangsaan.

Bahkan, M. Zainuddin, dalam tulisannya yang berjudul NU￾Muhammadiyah dalam Diradikalisasi di Jawa Pos edisi (27/3/2020), menuliskan bahwa dua ormas ini sama sama punya potensi untuk melawan dan menangkal masalah radikalisme yang juga menjadi salah satu masalah  yang disoroti pemerintahan presiden Jokowi Jilid II. Hal itu, disebabkan,  karena sejauh ini NU-Muhammadiyah sudah menjadi bagian dari tradisi dan bahkan pola pikir masyarakat muslim Indonesia pada umumnya.

Muhammadiyah-NU pada aspek tertentu memang berbeda (ikhtilaf), tetapi tidak pada aspek doktrin kebangsaan dan kenegaraannya. Pada aspek  ini mereka memiliki visi yang sama: mempertahankan NKRI, moderat, dan toleran. Meski merupakan ormas Islam puritan, Muhammadiyah tetap  menolak ekstremisme dan penetrasi ideologi keislaman transnasional ISIS.

Perbedaan Muhammadiyah-NU lebih pada persoalan hukum Islam (baca:  fikih) yang bersifat trivial, furuiyah-khilafiyah, bukan teologis-fundamental  yang menyangkut doktrin kenegaraan.

Sementara itu, NU dengan doktrin tawazun, tawasut, iktidal, dan tasamuhnya tetap menolak penetrasi ideologi Barat yang ekstrem dan segala  macam bentuk kekerasan yang berbau agama. Bahkan, NU sering  mengadvokasi kelompok agama atau aliran lain yang termarginalkah seperti Ahmadiyah dan Syiah. Tulis Zainudin.

Lalu, mengapa dua ormas rintisan ulama alim-nasionalis inibersitegang, meski hanya dalam sekala lokal? Mengikuti laporan Duta Masyarakat versi online edisi (4/3/2020), hal itu disebabkan karena adanya  penolakan dari pihak Muhammadiyah terhadap pengajian Akbar yang akan diselenggarakan warga NU dalam rangka memperingati Harlah NU yang ke- 94 yang akan dihelat pada Kamis (5/5/2020), di Masjid Gedhe Kauman,  Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penolakan itu, masih dalam laporan Duta Masyarakat, sebagaimana  diungkapkan Ketua Pemuda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sholahuddin Zuhri, didasarkan karena beberapa pertimbangan, yakni  karena pengajian akbar itu hendak mendatangkan Gus Muwafiq ke tengah  masyarakat Kauman yang mayoritas adalah warga Muhammadiyah. Sedang  Gus Muwafiq sendiri, beberapa waktu lalu sempat membuat kontroversi  umat.

Sejauh ini, saya menilai hal itu wajar saja. Namun ironisnya,  penolakan yang dilakukan pihak Muhammadiyah saya rasa terlalu berlebihan.

Sebab, penolakan tersebut sampai melibatkan sepanduk-sepanduk penolakan
yang berisi tulisan kurang mengenakkan. Salah satu tulisan sepanduk yang
cukup banyak beredar di media sosial adalah “Jangan Membuat Gaduh!!!
Kauman Adalah Jantung Muhammadiyah. Silahkan Harlah Di Daerah Kalian
Sendiri!!!”.

Dalam hemat saya, sesungguhnya hal itu sangat tidak etis diucapkan  oleh ormas ataupun anggota dari ormas Muhammadiyah yang selama ini juga
dikenal ramah dan menjadi panutan banyak umat, baik dalam soal sikap
keagamaan ataupun sikap kesosialan lainnya.

Menanggapi penolakan tersebut, pihak NU mengeluarkan Surat  Terbuka. Surat itu, dibuat oleh Haddi VJB/Nahdliyin online, dan ditujukan untuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nasir. Secara sederhana, surat itu berisi tentang kekecewaan pihak NU terhadap pihak
Muhammadiyah.

Sebagai dua ormas yang sejauh ini dinilai memiliki hubungan baik￾baik saja, pihak NU menilai bahwa Muhammadiyah secara tidak langsung  telah merusak harmoni keagamaan dan persaudaraan yang selama ini telah terawat cukup baik. Bahkan, dalam surat itu, Muhammadiyah dikecam sebagai ormas yang telah banyak disusupi oleh orang-orang eks HTI yang  pada suatu saat akan mengantarkan NU Muhammadiyah pada gerbang  konflik tak berkesudahan.

Seharusnya Bisa Menjadi Contoh
Sebagaimana disinggung di muka, NU-Muhammadiyah, dikalangan masyarakatnya bukan hanya sekadar ormas. Tetapi, lebih dari itu, keduanya
merupakan juga tradisi dan cara berpikir bagi masyarakat muslim  kebanyakan. Jadi, seharusnya, dalam segala hal, NU Muhammadiyah bisa  menjadi contoh yang baik bagi masyarakatnya. Lebih-lebih dalam menyikapi problem sosial keagamaan yang sedang di hadapi seperti saat ini.

Menurut saya, seandainya kedua belah pihak (Muhammadiyah-NU) lebih berpikir panjang; mengedepankan sikap kehati-hatian; dan kedewasaan  dalam menyikapi masalah ini. Dengan cara ta'aruf, misalnya, niscaya,  ketegangan NU-Muhammadiyah, baik di kalangan elite mau pun di kalangan  anggotanya tidak akan terjadi.

Namun apalah daya, nasi telah jadi bubur. Mari kita bersama-sama  mengevaluasi diri, dan jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran bersama untuk  lebih konsisten lagi merawat harmoni Muhammadiyah-NU. Wallahu a'lam


*Farisi Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Korp Nagasasra 2019)

0 Response to "Merawat Harmoni NU-Muhammadiyah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel