Surat Cinta untuk Mama


Oleh: Ahmad Fathoni Fauzan*
Sumber gambar: feli-idee.blogspot.com
“Dita! Apa yang kamu lakukan?” Bentakku padanya dengan wajah memerah. Ia hanya diam saja, terkejut. Tak terasa sedikit demi sedikit butiran bening meleleh membanjiri wajahnya.

Sudah acap kali anak semata wayangku itu membuatku jengkel sehabis pulang dari kerja. Ya, Dita Octavia namanya, kini ia sudah berumur 6 tahun. Dari piring yang selalu dipecahkannya, pakaian didalam lemari yang tersusun rapi di obrak-abrik, dan sampah berupa kertas yang berserakan tatkala pulang sehabis kerja seharian. Jika sudah terlanjur kesal seperti itu, maka tanpa basa-basi lagi kutarik ia kemudian kupukuli tubuhnya yang mungil dengan sapu yang tergeletak pasrah di atas lantai. Sedangkan ia hanya merengek dan mengerang kesakitan, tanpa berteriak minta tolong. Bukannya karena ia tak mau minta tolong, tapi karena anakku itu memang tak bisa berbicara.

*****

Orangtuaku terhenyak ketika mengetahui aku telah bunting 3 bulan dihamili oleh kekasihku sendiri, Rudi. Sehingga, lantas mereka mengusirku dari rumah. Hatiku sangat perih dan galau kala itu. Kukutuk-kutuk anak haram yang saat itu tengah kukandung. Dari situlah semua kebencianku berasal.

Paska pengusiranku dari rumah, aku pun memutuskan merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dan tinggal di sebuah kost yang tak seberapa besarnya yang bayarannya kudapatkan hasil keringatku sendiri dari upah mencuci baju. Dan selama masa kehamilanku, seringkali aku berusaha menggugurkan kandunganku itu. Aku tak mau anak haram ini lahir kedunia. Dengan berbagai macam cara telah kulakukan, dari minum obat-obatan sampai terkadang aku memukul-mukul perutku sendiri. Ternyata tuhan punya rencana lain. Anak haram ini tetap lahir ke dunia. Tetapi keadaanya sungguh diluar dugaan, anakku terlahir dalam keadaan cacat. Aku malu pada tetanggaku mempunyai anak haram yang cacat. Namun, aku terpaksa tetap membesarkannya dengan susah payah.

Perkembangan anakku terasa normal-normal saja, hingga suatu saat aku merasakan ada suatu hal yang mengganjil dari anakku. Ternyata saat anak-anak seusianya telah lancar berbicara, namun anakku tak bisa menyebutkan sepatah katapun. Sejak saat itulah aku tau bawha anakku bisu. Entahlah, terkadanag ada sebuah penyesalan karena aku telah melahirkannya. Lebih baik kubunuh saja ia setelah aku melahirkannya. Pikirku dalam hati.

Seperti biasa, pada jam 4 sore aku pulang dari rutinitas pekerjaanku. Berharap sesampai di rumah bisa menemukan ketenangan, tapi aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Kamar mandi telah digenangi oleh air yang berasal dari kran yang mungkin lupa ditutup oleh Dita saat bermain di kamar mandi.

“Dita, apa-apaan ini?” Teriakku.

Kemudian aku mencari ia didalam kamar, ternyata kamar kosong. Kucari ia dibelakang rumah, tapi tetap nihil. Akhirnya aku memutuskan mencarinya ke rumah tetangga. Dan ternyata benar dugaanku, ia sedang bermain disana. Tanpa panjang lebar lagi, kutarik tangannya dengan paksa. Aku tak peduli lagi dengan tatapan elang para tetangga. Kesabaranku kali ini benar-benar habis. Sesampainya di rumah, kupukul-pukul dengan sapu sampai badannya tampak lebam. Puas memukulnya langsung kumasukkan dia kedalam kamar mandi yang tentu saja masih tergenang air. Anakku itu mencoba berontak, tapi tenaganya yang kecil itu tak seberapa menghadapi Iblis yang telah merasuk dipikiranku. Kulihat ia hanya merengek dan meronta. Seandainya ia bisa bicara, mungkin saja ia akan berteriak sekeras-kerasnya meminta pertolongan akibat kelakuan Iblisku ini.

Setelah puas melampiaskan kemarahanku padanya. Akupun terkulai lemas ditempat tidurku, entah kecapekan karena habis marah-marah atau capek karena pulang sehabis kerja. Dan akupun tertidur pulas. 

Tiba jam weaker berdentang “kriiiiiiinggg” jam menunjukkan jam 06.30.

“Ya ampun, aku belum beres-beres” ucapku.

Baru kali ini rumahku yang tampak paling berantakan. Diruang tamu, banyak sekali berhamburan kertas yang berasal dari buku tulis anakku yang dengan susah payah aku beli, tapi dengan mudahnya ia mencorat-coret buku itu lalu membuangnya begitu saja. Kupunguti kertas itu satu-persatu sambil bibirku mengerutu berkepanjangan. Tapi timbul rasa penasaranku ketika ku melihat kertas yang bertuliskan “Surat Cinta untuk Mama” kemudian kupunguti kertas itu. Dan aku tak percaya dengan apa yang kulihat dan kubaca. Sebuah tulisan acak-acakan dari seorang anak yang bisu

Mama, Dita minta ma’af kalau selama ini Dita nakal. Dita juga minta ma’af, udah buat Mama kecewa dengan keadaan Dita. Tapi Mama, tolong jangan pukuli Dita lagi, Dita janji enggak akan nakal dan akan nurut sama Mama. Dita ingin sekali berbicara pada Mama. Tapi setiap bibir Dita mau bicara, rasanya seluruh kepala Dita jadi sakit. Jika Tuhan mengizinkan Dita dapat berbicara Dita ingin sekali mengatakan pada Mama, betapa Dita sangat sayang pada Mama. 

Tiba-tiba seperti ada sekat yang menyumbat di kerongkonganku setelah membaca tulisan itu. Rasanya seperti ada benalu berduri yang menjalari hati.

“Dita, dimana Dita?” Dalam hatiku membatin, dan aku segera mencarinya. Aku baru teringat, beberapa jam yang lalu aku sempat mengurungnya di kamar mandi.

“Dita!!!” Aku menjerit, hingga tetanggaku berhamburan, kaget menghampiri rumahku. Aku terkuali lemas di kamar mandi melihat anak semata wayangku tak sadarkan diri. Wajahnya begitu pucat, tubuhnya pun sangat dingin, sedingin salju. Kini aku menyadari, bahwa perbuatanku kepadanya sangatlah keji. Dan aku juga menyadari, semua yang terjadi pada kisah masa laluku tidak ada sangkut-pautnya dengan Dita, apalagi sampai menyalahkannya. Dan suatu hal yang kini aku percayai. Mungkin ia memang bisu. Tapi aku percaya, ia mampu tuk berbicara. Berbicara dengan hatinya. Bukan hanya sepatah kata, melainkan beribu-ribu kata.  

Sesampainya di rumah sakit, Dita langsung di bawa ke ruang UGD. Aku hanya menunggu di luar. Detik demi detik berlalu menjadi menit, menitpun berlari menuju jam. Hingga akhirnya pintu ruangan itu terbuka, dan kulihat seorang dokter keluar.

“Gimana dok, keadaan anak saya? Dita baik-baik saja kan?” Tanyaku lirih dan tak terasa air mataku terus membanjiri pipiku. Tapi sang dokter tetap saja diam.

“Dok, apa yang terjadi? Tolong jawab!” Kugetar-getarkan bahu sang dokter itu, berharap sang dokter memberikan jawaban yang mampu menenangkan kegelisahanku. Sang dokter hanya mendesah dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku lemas tak berdaya. Air mataku semakin tumpah ruah membanjiri pipi. Sampai akhirnya sang dokter itu mengatakan kepadaku

“Ma’af! Kami sudah berjuang sekeras mungkin, tapi anak ibu tak bisa kami selamatkan.”


*Penulis adalah kader PMII Ashram Bangsa
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2011 (Korp Komando Pergerakan Intelektual)
Beberapa karya-karyanya sudah tersebar di media-media lokal dan nasional.
Dan saat ini mejadi pengamat Sosial dan Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

1 Response to "Surat Cinta untuk Mama"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel