Surat Cinta untuk Mama
Tuesday, March 13, 2018
1 Comment
Oleh: Ahmad
Fathoni Fauzan*
Sumber gambar: feli-idee.blogspot.com |
“Dita! Apa
yang kamu lakukan?” Bentakku padanya dengan wajah memerah. Ia hanya diam saja,
terkejut. Tak terasa sedikit demi sedikit butiran bening meleleh membanjiri
wajahnya.
Sudah acap
kali anak semata wayangku itu membuatku jengkel sehabis pulang dari kerja. Ya,
Dita Octavia namanya, kini ia sudah berumur 6 tahun. Dari piring yang selalu
dipecahkannya, pakaian didalam lemari yang tersusun rapi di obrak-abrik, dan
sampah berupa kertas yang berserakan tatkala pulang sehabis kerja seharian.
Jika sudah terlanjur kesal seperti itu, maka tanpa basa-basi lagi kutarik ia
kemudian kupukuli tubuhnya yang mungil dengan sapu yang tergeletak pasrah di
atas lantai. Sedangkan ia hanya merengek dan mengerang kesakitan, tanpa
berteriak minta tolong. Bukannya karena ia tak mau minta tolong, tapi karena
anakku itu memang tak bisa berbicara.
*****
Orangtuaku
terhenyak ketika mengetahui aku telah bunting 3 bulan dihamili oleh kekasihku
sendiri, Rudi. Sehingga, lantas mereka mengusirku dari rumah. Hatiku sangat
perih dan galau kala itu. Kukutuk-kutuk anak haram yang saat itu tengah kukandung.
Dari situlah semua kebencianku berasal.
Paska
pengusiranku dari rumah, aku pun memutuskan merantau ke Jakarta untuk mencari
pekerjaan dan tinggal di sebuah kost yang tak seberapa besarnya yang bayarannya
kudapatkan hasil keringatku sendiri dari upah mencuci baju. Dan selama masa
kehamilanku, seringkali aku berusaha menggugurkan kandunganku itu. Aku tak mau
anak haram ini lahir kedunia. Dengan berbagai macam cara telah kulakukan, dari
minum obat-obatan sampai terkadang aku memukul-mukul perutku sendiri. Ternyata
tuhan punya rencana lain. Anak haram ini tetap lahir ke dunia. Tetapi keadaanya
sungguh diluar dugaan, anakku terlahir dalam keadaan cacat. Aku malu pada
tetanggaku mempunyai anak haram yang cacat. Namun, aku terpaksa tetap
membesarkannya dengan susah payah.
Perkembangan
anakku terasa normal-normal saja, hingga suatu saat aku merasakan ada suatu hal
yang mengganjil dari anakku. Ternyata saat anak-anak seusianya telah lancar
berbicara, namun anakku tak bisa menyebutkan sepatah katapun. Sejak saat itulah
aku tau bawha anakku bisu. Entahlah, terkadanag ada sebuah penyesalan karena
aku telah melahirkannya. Lebih baik kubunuh saja ia setelah aku melahirkannya.
Pikirku dalam hati.
Seperti
biasa, pada jam 4 sore aku pulang dari rutinitas pekerjaanku. Berharap sesampai
di rumah bisa menemukan ketenangan, tapi aku tak percaya dengan apa yang
kulihat. Kamar mandi telah digenangi oleh air yang berasal dari kran yang
mungkin lupa ditutup oleh Dita saat bermain di kamar mandi.
“Dita,
apa-apaan ini?” Teriakku.
Kemudian aku
mencari ia didalam kamar, ternyata kamar kosong. Kucari ia dibelakang rumah,
tapi tetap nihil. Akhirnya aku memutuskan mencarinya ke rumah tetangga. Dan
ternyata benar dugaanku, ia sedang bermain disana. Tanpa panjang lebar lagi,
kutarik tangannya dengan paksa. Aku tak peduli lagi dengan tatapan elang para
tetangga. Kesabaranku kali ini benar-benar habis. Sesampainya di rumah,
kupukul-pukul dengan sapu sampai badannya tampak lebam. Puas memukulnya
langsung kumasukkan dia kedalam kamar mandi yang tentu saja masih tergenang
air. Anakku itu mencoba berontak, tapi tenaganya yang kecil itu tak seberapa menghadapi
Iblis yang telah merasuk dipikiranku. Kulihat ia hanya merengek dan meronta.
Seandainya ia bisa bicara, mungkin saja ia akan berteriak sekeras-kerasnya
meminta pertolongan akibat kelakuan Iblisku ini.
Setelah puas
melampiaskan kemarahanku padanya. Akupun terkulai lemas ditempat tidurku, entah
kecapekan karena habis marah-marah atau capek karena pulang sehabis kerja. Dan
akupun tertidur pulas.
Tiba jam
weaker berdentang “kriiiiiiinggg” jam menunjukkan jam 06.30.
“Ya ampun,
aku belum beres-beres” ucapku.
Baru kali
ini rumahku yang tampak paling berantakan. Diruang tamu, banyak sekali
berhamburan kertas yang berasal dari buku tulis anakku yang dengan susah payah
aku beli, tapi dengan mudahnya ia mencorat-coret buku itu lalu membuangnya
begitu saja. Kupunguti kertas itu satu-persatu sambil bibirku mengerutu
berkepanjangan. Tapi timbul rasa penasaranku ketika ku melihat kertas yang
bertuliskan “Surat Cinta untuk Mama” kemudian kupunguti kertas itu. Dan aku tak
percaya dengan apa yang kulihat dan kubaca. Sebuah tulisan acak-acakan dari
seorang anak yang bisu
Mama, Dita
minta ma’af kalau selama ini Dita nakal. Dita juga minta ma’af, udah buat Mama
kecewa dengan keadaan Dita. Tapi Mama, tolong jangan pukuli Dita lagi, Dita
janji enggak akan nakal dan akan nurut sama Mama. Dita ingin sekali berbicara
pada Mama. Tapi setiap bibir Dita mau bicara, rasanya seluruh kepala Dita jadi
sakit. Jika Tuhan mengizinkan Dita dapat berbicara Dita ingin sekali mengatakan
pada Mama, betapa Dita sangat sayang pada Mama.
Tiba-tiba
seperti ada sekat yang menyumbat di kerongkonganku setelah membaca tulisan itu.
Rasanya seperti ada benalu berduri yang menjalari hati.
“Dita,
dimana Dita?” Dalam hatiku membatin, dan aku segera mencarinya. Aku baru teringat,
beberapa jam yang lalu aku sempat mengurungnya di kamar mandi.
“Dita!!!”
Aku menjerit, hingga tetanggaku berhamburan, kaget menghampiri rumahku. Aku
terkuali lemas di kamar mandi melihat anak semata wayangku tak sadarkan diri.
Wajahnya begitu pucat, tubuhnya pun sangat dingin, sedingin salju. Kini aku
menyadari, bahwa perbuatanku kepadanya sangatlah keji. Dan aku juga menyadari,
semua yang terjadi pada kisah masa laluku tidak ada sangkut-pautnya dengan
Dita, apalagi sampai menyalahkannya. Dan suatu hal yang kini aku percayai.
Mungkin ia memang bisu. Tapi aku percaya, ia mampu tuk berbicara. Berbicara
dengan hatinya. Bukan hanya sepatah kata, melainkan beribu-ribu
kata.
Sesampainya
di rumah sakit, Dita langsung di bawa ke ruang UGD. Aku hanya menunggu di luar.
Detik demi detik berlalu menjadi menit, menitpun berlari menuju jam. Hingga
akhirnya pintu ruangan itu terbuka, dan kulihat seorang dokter keluar.
“Gimana dok,
keadaan anak saya? Dita baik-baik saja kan?” Tanyaku lirih dan tak terasa air
mataku terus membanjiri pipiku. Tapi sang dokter tetap saja diam.
“Dok, apa
yang terjadi? Tolong jawab!” Kugetar-getarkan bahu sang dokter itu, berharap
sang dokter memberikan jawaban yang mampu menenangkan kegelisahanku. Sang
dokter hanya mendesah dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku lemas tak
berdaya. Air mataku semakin tumpah ruah membanjiri pipi. Sampai akhirnya sang
dokter itu mengatakan kepadaku
“Ma’af! Kami
sudah berjuang sekeras mungkin, tapi anak ibu tak bisa kami selamatkan.”
*Penulis adalah kader PMII Ashram Bangsa
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2011 (Korp Komando Pergerakan Intelektual)
Beberapa karya-karyanya sudah tersebar di media-media lokal dan nasional.
Dan saat ini mejadi pengamat Sosial dan Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mantap
ReplyDelete