Ramuan Kesakralan Menggapai Keabadian

Oleh: Hasan Pasean*
Sumber gambar: http://www.yennisuhartanto.com
Kali ini aku akan membicarakan, atau lebih layaknya disebut sumpah-serapah yang pada akhirnya akan menggenang dalam tong sampah, mengenai apa yang disebut dengan perjalanan menuju kebenaran, yang sebetulnya bagiku merupakan proses menuju kesakralan. Bagaimana tidak, masing-masing telah menyakralkan jalan yang mereka ambil untuk mendapat kesakralan itu sendiri. Sedang kesakralan hanya ada dalam keyakinan.

Suatu ketika, seorang teman berkata padaku bahwa kebenaran itu mutlak, tak dapat dirubah, tak dapat dibubarkan. Kukatakan padanya, “kebenaran tidaklah mutlak, Kawan. Sungguh, tidak ada yang benar-benar mutlak. Kita tahu apa yang terjadi kemarin, dan sekarang. Apa kamu tahu apa yang bakal terjadi besok.” Hal itu benar adanya. Hanya saja semua itu bisa disiasati. Apa yang terjadi hari ini dan yang kita nyatakan hari ini, dapat kita abadikan dalam waktu yang begitu lama, bahkan dalam keabadian yang dapat melampaui waktu, dan waktu pun tidak dapat menaksir keabadian tersebut.

Jadi, sekarang aku berbicara mengenai kebenaran. Oh, tidak, tidak! Bukan niatku untuk membicarakannya, aku hanya bercerita tentang apa yang telah terjadi padaku dan teman, juga yang kami bicarakan saat itu. Karena memang di sini aku hanya akan sedikit bercerita, hanya bercerita, tidak lebih. Tapi, sejak awal aku telah berjanji akan berbicara soal kebenaran, kesakralan, dan keabadian?! Ah, abaikan saja semua itu. Apa peduliku dengan janji-janji. Dunia ini sedang berpura-pura pada kita, kita tidak perlu jujur lagi padanya. Apa guna menepati janji, kita semua akan mati.

Jika suatu nanti datang seseorang yang sangat berpegang pada kehormatan dan bertanya, “Lantas, bagaimana dengan sumpah?” Akan kujawab dengan jujur, sejujur-jujurnya. Dan kali ini aku akan bersungguh-sungguh atas kujujuran. “Dengar, Bung. Biarkan si buta akan pengetahuan ini memberimu suatu pengertian yang tidak akan kamu percaya! Apa yang kau sebut dengan ‘Kehormatan’ tadi sudah terkubur dalam-dalam, bahkan oleh waktu. Jadi, siapa yang dapat menggali dan mengeruk waktu, apa kau bisa?” Sudah kupikirkan semuanya, mempertimbangkan resiko dari apa yang kunyatakan. Di setiap tindakan, resiko mengikutinya. Aku tahu apa yang kulakukan. Bukankah itu kebijaksanaan?

Kini kurasa, seseorang mengira bahwa aku adalah pemuda yang ingin dianggap bijaksana. Tidak, aku tidak ingin dianggap demikian. Aku hanya pernah mendengar, orang bijak tahu apa yang ia lakukan. Namun, semua itu tidaklah penting kubahas. Di sini, aku hanya ingin menceritakan pengalamanku yang mungkin telah usang.

Baiklah, aku telah melalui beberapa fase kehidupan dan persalinan zaman. Jika berbicara persalinan, baru-baru ini muncul beberapa istilah yang cukup menggelikan; Zaman Old dan Zaman Now. Entah dari mana datangnya kedua  istilah tersebut hingga begitu fanomenal di telinga masyarakat. Aku mengambil kesimpulan bahwa, istilah itu tak lain hanyalah sebagai bentuk cercaan dan makian bagi persalinan zaman itu sendiri. Siapapun penciptanya, ia telah berupaya untuk mencerca dan memaki kehidupan yang terjadi saat ini dengan bahasa yang cukup etis. Kemudian muncul lagi ‘generasi micin dan generasi milenial’.

Akan kucoba untuk membacanya. Namun yang jelas, pembacaanku akan jauh dari fakta, akan jauh dari apa yang terlihat, akan meleset dari kebenarannya. Karena aku seorang pelajar, kurasa, maka aku akan membacanya melalui mata seorang pelajar, atau katakan saja ‘Mahasiswa’, yang bagi kami tidak ada kata diam, oleh kami harus mengalami perubahan. Lagi-lagi aku pernah mendengar; dulu, mereka tampak melakukan perubahan melalui suatu gerakan atas pemerintah yang kebijakannya dianggap tidak cocok bagi rakyat. Mereka meluncurkan suatu gerakan dengan mengandalkan strategi demonstrasi dan perlawanan melalui parlemen jalanan. Mereka berekspresi dengan melakukan aksi menutup jalan sembari menyampaikan tuntutan-tuntutan melalui megaphone. Ada yang beranggapan bahwa jalan aktivis paling heroik adalah jalan para demonstran, dan juga ada yang berasumsi bahwa untuk mejadi seorang pembela hak rakyat harus berpanas-panasan di jalan dengan membawa spanduk.

Mari kita bangun sejenak dari mimpi masa lalu. Kita kembali ke masa kini, masa yang dikenal dengan “Jaman Now”. Langsung saja ke pembacaan. Pada masa yang bergelimang elektro dan bermandikan internet ini, strategi-strategi yang digunakan oleh orang-orang terdahulu kita, di sisi lain justru menjadi lelucon. Pergerakan aktivis Jaman Now tidak hanya mengandalkan aksi demonstrasi dan parlemen jalanan, melainkan melalui media sosial dan surat kabar, baik secara umum maupun personal, cetak maupun online. Mereka dapat menggunakan media sosial sebagai senjata untuk menggugah kesadaran. Senjata mereka bukan lagi spanduk dan megaphone, melainkan dengan menulis. Senjata ini jauh lebih hebat dari senjata militer mana pun. Jika senjata militer hanya bisa menembus satu kepala, satu tulisan mampu menembus jutaan pikiran, dan itu lebih berbahaya dari kematian.

Itu saja ceritaku kali ini, cerita yang hianat, tidak menepati janji, juga tidak sesuai dengan keinginan. Karena mungkin, jaman telah berubah, berikut dengan peradaban, apa-apa sering tidak sesuai dengan keinginan.

*Penulis adalah kader PMII Rayon Ashram Bangsa
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2012 (Korp Kretek)
Serta menjadi pimpinan redaksi IDEATRA

0 Response to "Ramuan Kesakralan Menggapai Keabadian"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel