Wanita Bergerak

untitled.png
http://neorafsyahnews.blogspot.co.id



Judul          : Wanita Bergerak
Penulis        : Ir. Soekarno
Penerbit      : Kreasi Wacana
ISBN          : 978-602-9020-47-2
Peresesnsi  : Eko Nurwahyudin

Membaca dan melakukan refleksi atas karya para tokoh bangsa terhadap keadaan sosial kebangsaan dewasa ini memang akan menimbulkan kesan romantisme, keterpesonaan, bahkan pengkultusan. Soekarnoe salah satu tokoh bangsa yang besar, dengan banyak sumbangsih karyanya menarik untuk dipelajari, baik oleh pengagumnya maupun pengkritiknya.

Membaca ulang karya-karya Soekarno adalah merefleksikan arah pergerakan bangsa Indonesia dari masa ke masa, menelisik sejauh mana cita-cita didirikannya NKRI ini, dan menjadikannya kaca benggala sejauh mana perjalanan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tentunya dalam membaca karya-karya Soekarno berarti membaca pula tokoh tersebut dari perkembangan pemikirannya dan kondisi sosial politik pada masa tersebut. Salah satu karya yang menarik dari Soekarnoe yakni Wanita Bergerak. Buku ini adalah materi yang di ulas Soekarnoe dalam “Kursus Wanita” di Yogyakarta pada tahun 1947.

Pada bagian pertama Soekarnoe mengulas tentang kemunculan dan perkembangan (evolusi) gerakan wanita di beberapa negara. Soekarnoe menjelaskan tentang tiga tahap evolusi gerakan wanita. Pertama, tahap menyempurnakan kewanitaan. Pada tahap ini wanita terkusus golongan atasan membuka club-club, komunitas, dan perkumpulan yang menambah keterampilan bersolek, memasak, mengurusi anak dan rumah tangga untuk memikat si laki-laki atau om den man te bekoren (hlm. 9). Kedua, tahap pergerakan feminisme. Pada tahap ini kemunculan gerakan wanita mula-mula terjadi di dunia Barat pada abad 18. Dimana perkembangan teknologi dan industri menuintut kemampuan, kecakapan, dan keahlian manusia dalam mengoprasionalkan mesin-mesin. Kecakapan tersebut hanya dapat diperoleh dengan pendidikan yang pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi kaum berada dan sekse tertentu (baca : laki-laki). Bagi kaum tak berpunya (baca : proletar) jadilah mereka buruh kasar yang semakin lama tenaga mereka pun tak banyak dibutuhkan. Terkhusus wanita keadaan tersebut memaksa mereka mempergunakan kecantikannya untuk menyambung hidup sebagai sundal. Kemiskinan, dan kesenjangan sosial yang semakin tajam inilah yang mendorong timbulnya gerakan-gerakan wanita. Dalam pergerakan feminisme para wanita tersebut menuntut hak bekerja, hak memilih dan dipilih, hak memperoleh pendidikan. Gerakan ini diawali dari Amerika, Perancis, Inggris dan menyebar ke negara Eropa yang lain. Ketiga, tahap pergerakan sosialisme dimana laki-laki dan wanita bersama-sama mendatangkan masyarakat sosialistik. Pergerakan sosialisme adalah reaksi dari perkembangan masyarakat kapitalistik yang semakin senjang. Pergerakan sosialisme adalah kritik atas gerakan feminism yang mengalami retak dan neo-feminis yang tidak jauh beda dengan tahap pertama (menyempurnakan keperempuanan). Retak yang dimaksud adalah kaum feminis ketika telah mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan dan kesempatan mengaplikasikan ilmunya (baca : bekerja) pada akhirnya mereka (para wanita) kembali dihadapkan persoalan urusan kerumahtanggaan (beban ganda). Feminisme memang tidak mampu memecahkan soal! Tidak mampu memecxahkan soal bagaimana meniadakan pertentangan antara pekerjaan (pencaharian) dan keibuan! (hlm. 120). Keadaan retak tersebut disebabkan oleh jam kerja dan upah dalam sistem kapitalisme. Maka titik kritik yang ditekan oleh tahap ketiga ini adalah bagaimana menciptakan memperjuangkan keadilan dalam masyarakat kapitalisme dengan menghilangkan pertentangan provesi dan keibuan.

Dengan bahasa yang ringan dan pengulasan ulang (baca : mengingatkan) peristiwa-peristiwa gerakan wanita pada tiap babnya penulis rasa Soekarnoe berhasil memahamkan gagasan-gagasannya kepada pembaca. Penulis mengapresiasi Soekarno yang tidak lupa menekankan pembedaan dengan jeli membandingkan perjuangan tokoh-tokoh feminis yakni Mary Wollstonecraft dengan Condorcet dan Olympe de Gouges (hlm. 64) juga pada pembahasan mengenai dasar falsafah dalam pengusungan ide emansipasi kaum feminis seperti Condorcet, Mary Wollstonecraft, Theodor von Hippel (hlm. 70).

Namun Soekarno dalam kepenulisan buku Wanita Bergerak terlalu positivis dengan mengikuti perkembangan masyarakat dalam ajaran marxis. Bisa ditinjau pada pembahasan bagian ketiga dan keempat buku, Soekarnoe tidak memberikan solusi kongkrit yang ditawarkan dalam meniadakan retak kaum feminism. Apakah dengan jalan revolusi, membuat koperasi yang diadakan perusahaan partikelir maupun dipegang langsung negara dengan mengoperkan pekerjaan rumah semula dibebankan pada wanita kepada koperasi ? Soekarnoe mungkin lupa bahwasannya hal kongkrit yang penulis rasa mampu mengobati retak gerakan feminis adalah dengan cara membuat Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur jam kerja bagi wanita yang telah berkeluarga dan yang menjamin masalah upah berdasarkan ekonomi kerakyatan. Selain solusi kongkrit yang penulis telah sebutkan, dalam masalah retak perjuangan kaum feminis adalah masalah keharmonisan dalam rumah tangga ini perlu lakukan sosialisasi dan pendampingan baik dari pemerintah maupun dari NGO untuk meminimalisir prosentase ketidakadilan gender seperti Stereotiope (pelebelan negatif), Marjinalisasi (permiskinan ekonomi), Subordinasi (penomorduaan), Violence (kekerasan), dan Double Burden (beban ganda).

Yogyakarta, 02 November 2016


*Penulis adalah kader PMII
Rayon Ashram Bangsa Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2014 (Korp Aliansi Pejuang Indonesia)




Sumber: http://neorafsyahnews.blogspot.co.id

0 Response to "Wanita Bergerak"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel