Hari Pahlawan; Sebuah Refleksi atas Keberagaman

 


Ketika kemudian, ditetapkan dalam keputusan presiden no.316 tahun 1956, sedikit-banyak merupakan sebuah penghormatan bagi jasa-jasa para pahlawan. Secara historis dapat dicatat, bahwa hari pahlawan mempunyai latar belakang. Sebagaimana hari-hari besar lainnya yang juga tidak kalah penting, hari pahlawan juga patut diperingati. Bukan hanya sekadar memperingati tetapi juga sedikit merefleksikan apa-apa yang semestinya dapat ditiru. Bagaimanapun, catatan kesejarahan mempunyai nilai inspiratif yang sangat transenden.

Setelah kemerdekaan diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, dan dua hari setelahnya kabar itu baru sampai ke Surabaya—yang beberapa bulan kemudian jadi titik kesejarahan dari hari pahlawan. Tuntutan untuk mempertahankan kemerdekaan sejatinya muncul atas dorongan persuasif, baik personal maupun kelompok. Bagaimanapun, sebelumnya telah menghabiskan banyak darah dan hal lainnya. Maka dorongan untuk mempertahankan kemerdekaan yang direbut dengan susah payah tersebut terus menggema di benak setiap individu.

Ditambah lagi, pada tanggal 20 Oktober resolusi jihad muncul dari KH. Hasyim Asy’ari yang mampu mendobrak semangat mempertahankan kemerdekaan. Pada puncaknya hingga meledak pertempuran 10 November  1945. Resolusi jihad ini yang pada tahun 2015 menjadi latar belakang penetapan hari santri. Dengan gambaran begitu, untuk mempertahankan kemerdekaan, dorongan muncul dari beragam macam golongan dan kelompok.

Sejatinya memang ketika kembali ke masa awal perjuangan para pahlawan, mereka bukanlah orang yang sama, baik dari gerakan, pemikiran. Meski tampaknya dalam catatan kesejarahan terlihat sama dan sejalan. Begitu juga respon terhadap penjajahan tidak selalu sama di antara setiap pejuang. Berbagai tindakan dan respon muncul dari orang-orang yang secara latar belakang yang sejatinya tidak sama; baik ras, suku, budaya, bahkan agama.

Sebut saja, misal, Bung Karno yang tidak jarang berselisih dengan Bung Hatta. Juga pandangan Wahid Hasyim dan Soedirman yang lebih cocok dengan Bung Karno daripada Bung Hatta. Tetapi, mengutip Greg Barton, Wahid Hasyim punya relasi yang cukup baik dengan Bung Hatta. Itu adalah sebuah gambaran bagaimana keberagaman justru dapat disatukan demi cita dan hasrat kemerdekaan. Dengan kata lain, tetap bergandengan tangan demi satu tujuan serta menyingkirkan sejauh mungkin egosentrisme.

Dalam konteks Indonesia mutakhir, yang justru terkesan problematik adalah keberagaman itu sendiri. Dari keberagaman tersebut sering muncul polemik intoleransi dan rasialisme. Indonesia sebagai negara yang plural tentu harus secerdas mungkin dalam menyikapi problem keberagaman tersebut. Tidak hanya satu suku, bahasa, ras, dan agama yang ada di Indonesia. Perlu dicatat, bahwa keberagaman adalah sunnatullah atau sebuah keniscayaan. Maka dalam perspektif Aksin Wijaya, keberagaman tidak adalah sesuatu yang ada. Lebih dari itu ia adalah hal yang memang harus dirawat dan dipertahankan.

Menjelang hari pahlawan, maka refleksi terhadap hari pahlawan itu sendiri harus digaungkan di dalam diri. Refleksi kritis terhadap keberagaman yang seringkali melahirkan isu intoleransi harus ditanamkan sedalam mungkin. Intoleransi bukan isu kecil-kecil, ia sudah semakin menyeruak dan seperti tidak ada habis-habisnya, apalagi menyangkut kepercayaan dan teologi.

Kesadaran mutlak wajib muncul dari dalam tiap individu dan kelompok. Klaim kebenaran terhadap diri dan kelompok sendiri harus benar-benar dibungkam. Pada akhirnya, satu tujuan demi tercapainya cita-cita mempertahankan kemerdekaan, serta membangun peradaban. Jika hanya hari pahlawan sekadar seremonial belaka, sama sekali tidak merubah apa-apa. Memang butuh langkah-langkah yang konkret dan komprehensif. Sekali lagi, yang menjadi prioritas adalah kemajuan bersama demi negara. Egosentrisme harus diredam demi kebersamaan di tengah realitas yang plural.

Terakhir, ada banyak hal yang lebih penting dari seremonial. Banyak hal yang juga lebih urgen dari sekadar penghargaan hari pahlawan dengan catatan di kalender-kalender yang menggantung di setiap dinding. Kesadaran terhadap realitas dan kecerdasan emosional (emotional question) harus mendapat tempat di dalam diri kita masing-masing.

 

Moh. Rofqil Bazikh Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga dan berproses di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis puisi di pelbagai media cetak dan online.

0 Response to "Hari Pahlawan; Sebuah Refleksi atas Keberagaman"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel