Kuasa Mazhab Sapen: Amin Abdullah dan Jebakan “Jaring Laba-laba”

Sumber: Chatgbt


Historisitas pemikiran Islam di Indonesia selalu menarik untuk dikulik, dibicarakan, dan dijadikan sebagai objek diskursus. Selain karena konstruksi wacana yang plural, pemikiran Islam Indonesia kontemporer akan terus bergumul dengan realitas dan tuntutan zaman. Masyarakat Islam, akan terus vis-à-vis dengan modernitas. Maka tak ayal, jika beragam pemikiran Islam menyembul ke permukaan sebagai salah satu bentuk respon terhadap kehidupan sosial, dan hal itu menunjukkan bahwa pemikiran Islam di Indonesia bersifat demokratis. Sebagaimana kata Fazlur Rahman: “..hanya pemikiran Islam yang demokratis-lah yang dapat berhasil (diterima) di Indonesia” (Rahman, 1982: 128).

Berbagai pemikiran itu lahir dari lokus-lokus intelektual, salah satunya kampus keagamaan (Islam) seperti IAIN atau UIN. Keberadaan kampus keagamaan di Indonesia menjadi faktor penting dalam khazanah pemikiran Islam di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh mudahnya akses literatur (Islam dan Barat) dan iklim intelektual yang memadai. Seolah-olah dari dalam gedung kampus itu, kita melihat persemaian benih-benih mujadid yang dapat melahirkan gagasan-gagasan baru. Sebagaimana yang dilakukan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Bak “Akademia Plato”, kampus yang terletak di Sleman ini mampu menciptakan ide dan gagasan yang canggih, terutama berkenaan dengan studi keislaman.

Sejak saya menginjakkan kaki di Jogja, dan mengikuti perkuliahan di UIN Suka, nama yang sering disebut-sebut hingga menggema sampai ke sudut kampus ialah M. Amin Abdullah (l. 1953). Beliau adalah seorang “filsuf” Islam Indonesia yang memiliki kontribusi besar dalam khazanah keilmuan Islam dengan teori “integrasi-interkoneksi”-nya. Semua civitas akademika UIN Suka pasti sudah tidak asing lagi dengan pendekatan integratif-interkonektif. Bahkan, sejak mahasiswa baru, kita sudah disuguhi pemikiran cendekiawan Muslim “jebolan” McGill University itu. Karena memang pendekatan teoritik itu dijadikan paradigma keilmuan, kurikulum, dan model penelitian di UIN Suka hingga saat ini.

Lewat “santri-santri” Pak Amin (sapaan akrab) yang menjadi dosen, teori itu berdengung keras di telinga dan membentuk perspektif mahasiswa di UIN Suka. Sampai saat ini, integrasi-interkoneksi yang digagas Pak Amin menjadi salah satu materi wajib bagi mahasiswa UIN Suka di berbagai tingkatan. Sehingga, tidak mungkin mahasiswa tidak kenal dengan teori ini, terlepas mereka paham atau tidak. Dari fenomena inilah, hati dan pikiran saya tergerak untuk “menggelitik” kemapanan pemikiran Pak Amin yang sudah mengakar kuat dalam sendi-sendi kultur ilmiah kita di UIN Suka. Sebab, sebagai mahasiswa Mazhab Yogya (atau Mazhab Sapen), saya melihat sosok Pak Amin dan perspektif “integrasi-interkoneksi”-nya telah menjelma sebagai rezim pengetahuan yang hegemonik.

M. Amin Abdullah & Butir-butir Pemikiran: Telaah Singkat

Siapa sangka, seorang anak laki-laki yang lahir pada 28 Juli 1953 di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah yang bernama M. Amin Abdullah itu kemudian menjadi sosok yang disegani di dunia Islam. Buah pemikiran Pak Amin seakan membuka cakrawala berpikir masyarakat dan mendobrak kejumudan Islam di Indonesia. Hal itu tidak diragukan lagi, sebab beliau memang diberi kesempatan untuk ngangsu kaweruh ke Middle East Technical University (METU) Turki, dan mengikuti program Post-Doctoral di McGill University, Kanada (Effendi, 2023). Hal ini penting diketahui, karena kala itu hanya beberapa orang yang memiliki kesempatan untuk kuliah di luar negeri. Apalagi, Pak Amin mendapatkan “sponsor” dari Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki (1985).

Pak Amin merupakan seseorang yang mampu mengelaborasi khazanah Islam klasik dan epistemologi Barat dengan tujuan untuk menjawab tantangan global, seperti isu Hak Asasi Manusia (HAM), pluralisme agama, kemiskinan, bias gender, perdamaian, dan sebagainya (Roswantoro, 2013). Dari konteks sosio-historis itulah, pemikiran Pak Amin menyeruak ke dasar kontestasi pemikiran Islam di Tanah Air. Untuk memahami landasan epistemologis pemikiran Pak Amin, terdapat tiga hal yang perlu dijelaskan: dialog normativitas dan historisitas; menolak truth claim; dan paradigma integrasi-interkoneksi.

Pertama, ihwal normativitas dan historisitas dalam studi Islam. Pak Amin bertolak dari pemisahan antara normativitas dan historisitas dalam Islam. Sebagai upaya untuk memahami Islam, menurut Pak Amin, kita harus membedakan antara “normativitas” dan “historisitas”. Masalah yang memiliki dampak serius dalam khazanah Islam, adalah semrawut-nya pemahaman antara wahyu (Al-Qur’an) dan interpretasi terhadap wahyu itu. Hal inilah yang menyebabkan stagnasi pemikiran umat Islam, karena tidak ada batasan yang jelas mengenai keduanya.

Menurut Pak Amin, kita perlu membedakan kedua aspek itu. Normativitas Islam berarti segala ajaran, dogma, syariat, atau kandungan Al-Qur’an yang shalih likulli zaman wa makan. Aspek normatif Islam bersifat universal dan “sakral”. Sementara historisitas Islam itu merujuk pada aspek kesejarahan, konteks sosio-historis, atau pergumulan ajaran dengan realitas sosial. Dengan demikian, aspek historis bersifat “profan” dan dinamis (Abdullah, 2022). Al-Qur’an, misalnya. Ia bersifat normatif dan universal. Kebenaran ajaran Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an tidak bisa di-otak-atik. Kalau “pemahaman” terhadap Al-Qur’an itu, menurut Pak Amin, bersifat profan dan dinamis. Pemahaman ulama Arab dan Indonesia bisa berbeda, karena konteks dan latar kultural mereka.

Diferensiasi itulah yang harus benar-benar kita pahami, agar tidak terjebak ke dalam kubangan dogmatisme dan taklid buta (taken for granted) dalam beragama. Selain itu, dalam memahami Islam, kedua aspek tadi harus selalu disertakan. Hubungan keduanya, dalam pemaknaan Pak Amin, seperti sebuah koin yang memiliki dua sisi mata uang (Abdullah, 2022). Dengan menghadirkan aspek normatif dan historis, pemahaman keagamaan (Islam) akan berkembang dan kontekstual.

Kedua, menolak klaim kebenaran (truth claim). Hal yang selalu disoroti Pak Amin ialah klaim kebenaran dalam segala pemikiran, utamanya Islam. Karena klaim semacam itu hanya akan melahirkan fanatisme dogmatik di satu sisi, dan stagnasi pemikiran di sisi lain. Dalam hal ini, Pak Amin menggunakan landasan teoritik dari Thomas S. Khun. Menurut Khun, setiap fase perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dialog antara “normal science” dan “scientific revolution”. Normal science adalah situasi di mana paradigma keilmuan menjadi dominan sehingga ia dipakai sebagai indikator utama dalam ilmu pengetahuan, sedangkan scientific revolution (revolusi ilmu) merupakan kondisi terjadi sebuah perubahan terhadap paradigma keilmuan (Khun, 1970).

Revolusi ilmu itu ditandai dengan adanya “anomali-anomali” dalam tubuh normal science. Sehingga hal ini menyisakan masalah, keganjilan, dan kendala yang membuat paradigma ilmu pengetahuan tidak lagi memadai dalam menjawab tantangan zaman. Landasan epistemik inilah yang digunakan Pak Amin dalam membaca fenomena klaim kebenaran dalam komunitas Islam (Abdullah, 2002). Fenomena klaim kebenaran ini disoroti Pak Amin sebagai upaya untuk membongkar dogmatisme pemikiran Islam yang berpotensi melahirkan sikap kaku dan mengeliminasi kelompok lain yang dianggap berbeda. Bahkan, dogmatisme dapat menyebabkan kekerasan atas nama agama (Islam).

Ketiga, paradigma integrasi-interkoneksi. Puncak pemikiran Pak Amin ketika memunculkan teori integrasi-interkoneksi. Paradigma keilmuan ini hendak mengatasi persoalan sekularisme ekstrem dan fundamentalisme agama. Solusi yang ditawarkan Pak Amin ialah apa yang ia sebut “teoantroposentris-integralistik”, yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan bersumber pada agama (Islam) dan manusia (Abdullah, 2006). Secara sederhana, integrasi mengandung arti hubungan saling mengambil dan memberi antar-tradisi keilmuan (Islam dan umum). Kemudian, interkoneksi merujuk pada hubungan saling menghargai dan mempertimbangkan satu sama lain (Roswantoro, 2013). Sehingga, integrasi-interkoneksi bermaksud untuk tidak membenturkan antar-ilmu, melainkan mencoba membangun dialog antar-keduanya.

Dalam studi Islam, pendekatan multidisipliner merupakan hal yang harus dilakukan sebagai aplikasi dari paradigma integrasi-interkoneksi ini. Bagaimana ilmu-ilmu keislaman dan ilmu umum seperti sosiologi, psikologi, hukum, sains, dan seterusnya berdialog dan saling memberi sehingga akan melahirkan perspektif baru dan kontekstual. Dengan kata lain, pendekatan integratif-interkonektif ini hendak membentuk cara pandang manusia (Muslim) yang tidak hanya bertumpu pada ilmu agama (teologi, fiqh, tasawuf) semata, melainkan juga mempertimbangkan ilmu-ilmu lain untuk membaca realitas kehidupan. Dari perspektif ini, kemudian Pak Amin merajut paradigma integrasi-interkoneksi studi Islam dengan membuat “jaring laba-laba” (spider web)—yang menjelaskan segala ilmu bersumber nash Al-Qur’an-Hadist dan alam semesta (sunnatullah), sebagaimana gambar berikut:



Dengan model jaring laba-laba itu, pengembangan studi Islam kemudian harus berpijak pada tiga hadharah (hadharah al-nash, hadharah al-falsafah, dan hadharah al-‘ilm) dan mempertautkannya. Interpretasi terhadap nash Al-Qur’an dan Hadist (hadharah al-nash) ditinjau dengan ilmu-ilmu empiris (hadharah al-‘ilm) seperti sains, teknologi, dan sosial-humaniora, dan juga mempertimbangkan aspek etis-filosofisnya (hadharah al-falsafah). Paradigma ini menegaskan, bahwa tiga wilayah pokok ilmu pengetahuan, yakni Islamic science, natural science, dan social-humanities science tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling terkait satu sama lain.

Integrasi-Interkoneksi di Tampuk Kekuasaan

Setelah sedikit mengulik pemikiran Pak Amin di atas, hal yang harus dipertanyakan adalah: bagaimana integrasi-interkoneksi itu akhirnya menjadi paradigma keilmuan yang mapan dan memiliki resonansi yang kuat di UIN Suka? Untuk menjawabnya, kita perlu sedikit menengok posisi intelektual dan peran Pak Amin di UIN Suka.

M. Amin Abdullah merupakan sosok yang sangat dekat dengan kultur keagamaan Muhammadiyah. Selain itu, Pak Amin merupakan intelektual Islam yang berada di lingkaran “Mazhab Yogya”. Carool Cersten (2018) menyebut Pak Amin sebagai seorang intelektual penerus Limited Group Mukti Ali di Yogyakarta kala itu. Setelah kembali ke Indonesia, beliau kemudian mengajar di IAIN Yogyakarta dan Surabaya, juga UGM. Pak Amin pernah menjadi Direktur Pascasarjana dan Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) di UMY. Sebelum menjadi Rektor, beliau sempat menjabat sebagai Wakil Rektor IAIN Yogyakarta (Cersten, 2018). Dan kemudian beliau menjadi Rektor di IAIN Yogyakarta selama dua periode (2002-2010).

Ketika Pak Amin menjadi Rektor itulah, IAIN Yogyakarta kemudian bertransformasi menjadi UIN pada 2004. Dari perubahan status IAIN ke UIN itulah memberikan peluang bagi beliau untuk memperkenalkan filsafat pendidikan baru supaya lulusan-lulusan UIN memiliki kemampuan akademik, inovasi, dan kualitas diri yang memadai. Walhasil, di bawah kepemimpinan Pak Amin, UIN Yogyakarta semakin menampakkan “warna” yang menarik. Sejak saat itu juga, Pak Amin dan think tank-nya, membuat kurikulum baru dengan pendekatan integratif-interkonektif dalam studi agama di pendidikan tinggi (Kersten, 2018). Kurikulum itu merupakan tawaran akademis terhadap fenomena dikotomi epistemologis antara sistem “pendidikan umum” dan “pendidikan agama” di Indonesia.

Dengan melihat posisi dan peran Pak Amin di UIN Suka di atas, kita dapat memahami bagaimana kuasa dan pengetahuan saling menopang satu sama lain. Otoritas Pak Amin sebagai Rektor (dua periode) kala itu, jika kita telaah secara historis, akan menemukan titik terang: bahwa integrasi-interkoneksi menjadi paradigma ilmu di UIN tidak lepas dari “kuasa” Pak Amin sebagai Rektor. Lebih jauh, wacana integrasi-interkoneksi menjadi mapan, karena “santri-santri” Pak Amin selalu menggaungkan “kecanggihan” pemikiran beliau. Seolah-olah, paradigma yang dibangun Pak Amin tidak ada celah, sehingga narasi-narasi yang disampaikan para dosen saat ini lebih cenderung apresiatif—bukan kritik.

Padahal, setiap pemikiran perlu dipandang sebagai “korpus terbuka” dan diuji relevansinya. Tapi, sampai saat ini, seakan-akan akademisi di UIN Yogyakarta “sungkan” menggugat paradigma yang dibangun “guru”-nya, Pak Amin. Dari fenomena ini, apakah UIN Suka telah mengalami kemunduran intelektual? Apakah Mazhab Yogya telah gagal mencetak “Mukti Ali” baru yang dapat mendobrak kemapanan wacana keilmuan agama (Islam)?

Keluar dari Jebakan “Jaring Laba-laba”: Sebuah Metode Pembacaan

Sebuah pemikiran, jika tidak dibaca secara kritis-dekonstruktif, maka ia akan segera menjelma sebagai “fosil” yang beku, kaku, dan bisa juga menghegemoni kita. Padahal, seyogianya kita menerima dan membaca buah pemikiran seseorang dengan pendekatan skeptis dan memosisikannya sebagai “korpus terbuka”. Dengan demikian, pemikiran itu senantiasa dapat ditafsirkan sesuai keadaan. Kebekuan pemikiran itu juga bisa dialami oleh pemikiran Pak Amin. Jika tidak ada “gugatan” intelektual yang mencoba mendobrak kemapanan integrasi-interkoneksi dari dalam maupun dari luar UIN, maka ia akan menjadi wacana yang dominan. Dan sudah barang tentu bersifat hegemonik.

Sebagai upaya agar pemikiran “integrasi-interkoneksi”-nya Pak Amin yang sudah menghujam kuat di UIN Yogyakarta ini tidak menjadi fosil dan mapan, menurut saya, kita perlu membaca hal itu dengan pendekatan kritis. Oleh karena itu, di bagian ini saya hanya akan menyebutkan beberapa pendekatan teoritik untuk “menggelitik” kemapanan integrasi-interkoneksi dan keluar dari jebakan “jaring laba-laba” itu.

Pertama, matinya sang pengarang (The Death of the Author). Untuk memulai pembacaan terhadap integrasi-interkoneksi, sebelumnya kita perlu menggunakan perspektif “matinya pengarang”. Perspektif ini berguna bagi kita, karena ia mengharuskan kita untuk memandang bahwa Pak Amin telah “mati” (secara metaforis) oleh kelahiran gagasan-gagasannya. Interpretasi terhadap teori integrasi-interkoneksi tidak lagi ditentukan oleh pengarang (Pak Amin), melainkan oleh pembaca.

Dalam konteks ini, kitalah yang memiliki kesempatan untuk menafsirkan ulang pendekatan multidisipliner khas Mazhab Sapen itu. Dengan demikian, dalam membaca pemikiran Pak Amin, kita tidak lagi merasa “sungkan”. Justru, kita akan lebih leluasa dan “bebas” melakukan aktivitas interpretatif. Roland Barthes, adalah filsuf yang menggelorakan perpsektif ini dengan mengatakan: kelahiran sang pembaca harus dibalas dengan kematian seorang pengarang (Barthes, 1989).

Kedua, hermeneutika. Setelah menganggap bahwa Pak Amin telah “mati” oleh karya-karyanya, maka pemikiran integrasi-interkoneksi itu kemudian menjadi “teks” hermeneutis. Karena, dalam khazanah hermeneutika, segala sesuatu yang mengandung jejaring makna atau struktur simbol-simbol merupakan teks. Sehingga, dapat dikatakan, bahwa pemikiran Pak Amin juga termasuk teks. Dalam memahami teks Pak Amin itu, kita bisa menggunakan hermeneutika sebagai metode pembacaan. Secara sederhana, hermeneutika harus meliputi tiga hal: teks (text), pengarang (author), dan pembaca (reader).

Untuk membaca “integrasi-interkoneksi”-nya Pak Amin, kita bisa menggunakan beragam jenis metode hermeneutika yang telah ada. Mulai dari Schleiermacher sampai Derrida. Kita juga bisa menggunakan hermeneutika para pemikir Muslim kontemporer, misalnya Ali Harb. Untuk membaca sebuah teks, menurut Harb, kita tidak hanya menyingkap apa yang dikehendaki teks (pernyataan). Lebih jauh dari itu, membaca teks harus mampu mengungkap “apa yang tidak dikatakan” (Harb, 1995). Sehingga, dalam membaca pemikiran Pak Amin itu, jika menggunakan Harb ini, kita bisa membongkar makna-makna terselubung yang berada di balik teks, dan kita dapat melahirkan makna-makna baru. Alhasil, metode hermeneutika semacam ini sangat membantu kita dalam membaca kebekuan teks integrasi-interkoneksi.

Ketiga, kuasa-pengetahuan. Kita telah melihat bagaimana pendekatan integratif-interkonektif Pak Amin itu begitu lekat dengan UIN Suka, dan selalu ada nama Pak Amin di setiap kajian keislaman di UIN. Secara sederhana, ketika mendengar “integrasi-interkoneksi”, di benak orang pasti ingat UIN Suka. Dan, tentu, seorang yang mencetuskan teori itu: M. Amin Abdullah. Kemapanan teori Pak Amin tidak akan pernah lepas dari “kuasa” yang mendorongnya. Untuk membaca realitas ini, kita bisa menggunakan genealogi kuasa Foucault. Karena analisis genealogis itu berusaha menyingkap asal-usul apa yang kita anggap rasional, sesuatu yang dianggap benar, berakar dalam dominasi, dan relasi kuasa dalam wacana tertentu (Foucault, 1997).

Salah satu proyek intelektual Foucault juga mengenai apa yang ia sebut “kuasa-pengetahuan”. Istilah ini merujuk pada bagaimana kekuasaan membentuk dan memproduksi pengetahuan dengan tidak terlibat langsung, atau tidak “kasat mata”. Sehingga, pengetahuan merupakan instrumen kekuasaan, dan kekuasaan itu menjadi validator pengetahuan. Dalam istilah Foucault yang lain, pada periode sejarah tertentu ada suatu “rezim pengetahuan”. Nah, analisis Foucauldian ini bisa kita gunakan untuk membongkar rezim pengetahuan integrasi-interkoneksi yang menghegemoni dan mengontrol kita—seluruh civitas akademika UIN Suka.

Penutup

Tulisan ini tidak memiliki tendensi apa pun, selain untuk menyajikan metode pembacaan terhadap “rezim pengetahuan” Mazhab Sapen yang perlu dibaca secara kritis-dekonstruktif. Lagi pula, tulisan ringkas ini tidak memberikan analisis yang tajam mengenai teori Pak Amin itu, karena tujuan tulisan ini dibuat hanya sekedar untuk memantik diskursus belaka. Sebab, sebagai mahasiswa, saya melihat ada indikasi “pemfosilan” pemikiran Pak Amin dan praktik hegemoni intelektual di lingkungan Mazhab Sapen.

Agar hal itu tidak terjadi, saya menawarkan beberapa pembacaan teoritis sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Model kritik ilmiah semacam ini perlu kita bangkitkan kembali untuk melahirkan ide dan gagasan baru yang dapat memberikan angin segar bagi iklim intelektual kita di lingkungan Mazhab Sapen. Dan, tentu, tulisan ini adalah sebuah “korpus terbuka” yang tidak anti-kritik.

Sanad Literatur

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

_________, Falsafah Kalam di Era Postmodern. Yogyakarta: IRCiSoD, 2022

_________, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006

Effendi, Sofian, “Penggali Epistemologi Integratif Studi Islam Indonesia Melalui Pendidikan Liberal Arts di Pesantren” dalam; Al Makin dkk, 70 Tahun M. Amin Abdullah: Pemikir, Guru, dan Pemimpin. Yogyakarta: Laksbang Akademika, 2023

Foucault, Michel, Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern. P. Sunu Hardiyanta (ed.). Yogyakarta: LKiS, 1997

Harb, Ali, Kritik Kebenaran. Yogyakarta: LKiS, 1995

Kersten, Carol, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana Umat Islam Indonesia Era Reformasi. Bandung: Mizan, 2018

Khun, Thomas S., The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago, 1970

Rahman, Fazlur, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press, 1982

Roswantoro, Alim, “Epistemologi Pemikiran Islam M. Amin Abdullah” dalam; Islam, Agama-agama, dan Nilai Kemanusiaan: Festschrift Untuk M. Amin Abdullah. Yogyakarta: CISFrom, 2013


Penulis: Dendy Wahyu Anugrah, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

0 Response to "Kuasa Mazhab Sapen: Amin Abdullah dan Jebakan “Jaring Laba-laba”"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel