Sebuah Pemantik, Menulis Esai dengan (Tidak) Baik

EventHunterIndonesia
Jika Anda hendak memasuki sebuah rumah, apa yang terlintas di pikiran pertama kali? Benar, pintu. Jika Anda tidak sedang malas, berjalanlah sebentar, tengoklah toko sembako terdekat dan lihat strukturnya. Anda tidak mungkin melewatkan sebuah etalase yang berisi sekian macam barang. Demikianlah perumpamaan sebuah tulisan. Seorang penulis Israel, Yigal Zur, menghabiskan kisaran dua minggu untuk membongkar pasang halaman pertama novelnya. Bayangkan, hanya untuk menulis halaman pertama sebuah novel. Baru halaman pertama, saudara-saudara, luar biasa! Ringkasnya, nasib tulisan ditentukan oleh kalimat pembukanya.

Artinya, jika Anda termasuk sekte orang yang malas memperhatikan kalimat pembuka, jangan berharap pembaca menikmatinya hingga tandas. Tidak dibuang ke tong sampah saja sudah untung. Maka, halaman pertama—dalam konteks Yigal Zur—atau paragraf pertama dalam tulisan esai, menjadi hal yang penting diperhatikan. Kalimat pembuka yang buruk, kurang lebih umpama rumah tanpa pintu. Kalaupun ada pintu paling-paling rusak dan tidak bisa dibuka. Apa yang diharapkan dari rumah dengan pintu rusak? Atau sebuah toko sembako Madura dengan etalase kosong melompong? Tidak ada, saudara-saudara, tidak ada.

Anda boleh menyanggah bahwa tulisan saya ini tidak bagus. Maksudnya kalimat pembukanya tidak bagus atau bahkan buruk. Tidak masalah. Saya memang tidak hendak memberi sebuah tamsil bagaimana cara membuka tulisan dengan baik. Lebih tepatnya saya tidak akan memberikan contoh dengan tulisan saya. Namun, saya punya beberapa rekomendasi tulisan untuk dilihat kalimat pembukanya. Kita bisa menikmatinya, mengamatinya, bagaimana tulisan dibuka. Anda bisa melihat tulisan Dea Anugrah dengan tajuk Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya. Perihal nama ini, saya meminta maaf karena berulang kali menyebutnya di banyak kesempatan. Secara subjektif saya katakan itu termasuk salah satu contoh pembuka yang menggugah.

Kecuali tulisan Anda makalah atau jurnal ilmiah yang ditugaskan oleh dosen, tidak ada alasan untuk membuka tulisan dengan definisi. Maksudnya, membuka tulisan dengan mengemukakan definisi hanya lazim ditemukan pada makalah, pada jurnal-jurnal ilmiah. Mengapa? Musabab pada dasarnya tidak menarik membuka tulisan dengan definisi. Tidak sedikit pembaca akan merasa ngantuk dengan kalimat pembuka model definisi. Apalagi definisi tentang demokrasi. Apalagi definisi tetang demokrasi plus tentang deskripsi realitas yang banyak diketahui. Tanpa Anda menulis seperti itu, pembaca sudah tahu terlebih dahulu.

Rasa-rasanya tidak ada rakyat Indonesia yang sukar memahami perihal demokrasi. Hanya bocah ingusan yang masih butuh dijelaskan perihal demokrasi. Saya menyatakan demikian hanya untuk menghindari mengatakan bahwa membuka tulisan demokrasi dengan definisi hanya sia-sia belaka. Tidak ada urgensinya, tidak penting. Beruntung, tulisan ini terselamatkan oleh kemampuan penulis yang mampu meracik kata dengan sedikit baik—katakanlah demikian. Saya sungkan hendak mengatakan ‘tidak buruk-buruk amat’. Dengan kata lain, penulis sudah mempunyai modal dasar kemampuan menata kalimat, menyusun paragraf, tinggal perspektifnya saja yang tidak terlihat. 

Perspektif ini entitas penting dan krusial di dalam sebuah esai. Tanpa adanya perspektif dari seorang penulis, esai tidak jauh beda dengan laporan. Ia hanya mendeskripsikan realitas dan mengolahnya. Kemudian mengilustrasikan dengan pengungkapan yang berbeda. Tanpa perspektif, sebuah esai hanyalah omong kosong belaka. Sementara, perspektif yang baik adalah perspektif yang baru dan tidak common sense. Begini, Anda tidak bisa menulis dan mengatakan bahwa korupsi itu buruk. Anda tidak bisa menulis dengan mendeskripsikan bahwa UU ITE banyak pasal karetnya. Tanpa Anda tulis saja orang-orang sudah pasti paham. Lalu buat apa membuang tenaga membuat tulisan yang sudah bisa dipahami banyak orang—bahkan sebelum tulisan itu dibuat.

Akhirnya, untuk menutup tulisan pemantik ini, saya akan mencolek nama Rusdi Mathari (allahumma ighfir lahu). Saya teringat bukunya dengan tajuk Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Saya terinspirasi dan hendak mengatakan, untuk membuat esai yang bagus, terlebih dahulu kita harus menulis esai yang buruk. Dengan demikian, jika tulisan Anda buruk saja belum, bagaimana mau bagus? Tulisan saya ini hanya pemantik dengan bumbu nyinyir. Sebab memang demikian tabiat penulisnyaLagi pula, saya tidak suka banyak memuji. Sudah terlalu banyak pujian di dunia dan pujian tidak merubah apa-apa. Sudah mirip Seno Gumira Ajidarma, belum?(**)  


Oleh: Moh. Rofqil Bazikh*

*Mahasiswa penuh waktu, pembaca paruh waktu, sayangnya bukan pembaca yang tekun dan tahan godaan.

0 Response to "Sebuah Pemantik, Menulis Esai dengan (Tidak) Baik"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel