Ketidak hadiran Buku Sastra dalam Dunia Remaja


Oleh : Faiqur Rahman


Gambar : lakonhidup. com

              Ada banyak peristiwa yang saya alami ketika sudah keluar dari bangku sekolah. Saat ini saya merupakan salah satu mahasiswa Universitas ternama di Yogyakarta. Akan tetapi sebelum itu, saya sudah setahun lamanya menghabiskan waktu untuk belajar di Garawiksa Institute Yogyakarta. Yaitu tempat para mahasiswa dan non mahasiswa yang berkeinginan untuk belajar menulis sastra dan ilmiah. Di tempat itu saya lebih banyak mengerti dan memahami apa itu sastra serta bagaimana cara menggunakannya. Hal tersebut saya dapatkan melalui diskusi, bedah karya, dan bimbingan-bimbingan lain dari para mentor.

            Berbeda pada saat saya masih berada di bangku sekolah (SMP/MTS), saat itu saya hanya mendapatkan teori tanpa harus mengerti dengan apa yang telah disampaikan oleh guru. Tidak ada kewajiban untuk membaca sebuah buku agar menambah wawasan pengetahuan. Sekalipun perpustakaan terbuka lebar, tentunya sebagai anak yang masih polos, serta tercatat sebagai anak yang lebih rajin bermain kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan serta, sangatlah dibutuhkan kewajiban dan dorongan semangat dari orang tua juga para guru untuk menumbuhkan karakter.

            Sedangkan ketika saya sudah beranjak ke jenjang pendidikan tingkat menengah atas, saya melanjutkan ke Madrasah Aliyah Tahfidh Annuqayah (MAT), yang merupakan sebuah lembaga pendidikan jurusan agama. Lembaga tersebut terletak di sebuah pesantren besar di Sumenep, yaitu Pondok Pesantren Annuqayah. Kabarnya, pesantren tersebut dikenal banyak menghasilkan para santri yang sukses, Sehingga kemudian saya tertarik untuk mendalami ilmu pendidikan di sana.

            Didalam pesantren tersebut saya banyak belajar berbagai macam pendidikan, terutama sastra. Sastra yang ada di pesantren ini berkembang karena adanya beberapa faktor, di antaranya adalah adanya sebuah komunitas-komunitas yang mendapat dukungan dari pesantren. Seperti Lesehan Sastra Annuqayah (LSA), lalu kemudian diikuti oleh komunitas-komunitas sastra lain seperti Komunitas Penyisir Sastra Iksabad (Persi), Komunitas Cinta Nulis (KCN), serta komunitas yang lainnya. Namun komunitas KCN ini lebih condong terhadap tulisan Cerpen.

            Sayangnya, dalam komunitas tersebut tidak ada kewajiban untuk membaca sebuah buku, hanya saja ada anjuran terhadap mereka yang ikut komunitas tersebut. Itu pun membutuhkan sebuah kesadaran dari para pegiat sastra dalam komunitasnya. Hal ini tentu kurang baik terhadap masa depan karya mereka. Selain karyanya tidak memiliki daya tarik yang kuat terhadap pembaca, mereka juga akan kebingungan ketika ingin memulai menciptakan karya.

            Melihat sistem yang digunakan di Amerika Serikat (AS) dalam konteks membaca, saya sangat terharu dan berharap hal ini diterapkan juga di Indonesia. “AS mewajibkan masyarakatnya untuk membaca 25 Novel selama tiga tahun”. Barangkali, hal tersebut merupakan salah satu faktor AS melahirkan orang-orang kreatif. Seandainya hal ini dijadikan sebagai bahan acuan bagi Negara Indonesia, akan berdampak baik terhadap  para generasi bangsa itu sendiri. Apalagi, mengingat minat baca yang ada di Indonesia sekarang sangat rendah, yaitu menduduki peringkat 60 dari 61 Negara. Hal ini diungkapkan Kepala Perpustakaan Nasional, Muh Syarif Bondo.

Fungsi sastra
            Dengan adanya sastra di Indonesia, akan memberikan perubahan yang sangat baik terhadap para generasi muda. Sekalipun perjalanannya begitu lambat, tapi senantiasa akan memberikan pengaruh yang besar, baik dalam konteks pergerakan mahasiswa, non mahasiswa, lebih-lebih terhadap urusan Negara. Karena dengan sastra, pikiran kita akan tampak kreatif, peka terhadap keadaan, bisa membaca segala sesuatu yang ada di sekeliling kita, serta yang lainnya. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Panuti Sujiman, bahwa, sastra merupakan karya lisan ataupun tulisan yang mempunyai beberapa ciri seperti “keindahan, keartistikan, dan keorisinilan dalam setiap bagian isi dan ungkapan yang ada di dalamnya”.

            Sastra memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah: pertama, rekreatif, yaitu sebagai hiburan. Ada beberapa orang ketika membaca sastra mendapatkan sebuah hiburan tersendiri. Para pembaca seakan fokus terhadap konflik yang terjadi di dalamnya, dan sesaat kemudian melupakan konflik yang terjadi di dunia nyata. Dengan membaca kisah sastra, barangkali pembaca akan tersenyum sendiri menikmati keindahan kisah-kisah yang tersaji, atau justru menangis kecil ketika merasakan kesedihan dalam karya sastra, atau tertawa, jika penulis menyelipkan lelucon menarik di dalam karyanya.
 
            Kedua, deduktif, yaitu sebagai pendidikan. Dengan membaca karya sastra, pembaca akan mendapatkan pengalaman serta ilmu-ilmu baru di dalam karyanya. Karena sejatinya, karya sastra membahas tentang berbagai aspek kehidupan yang bisa membuat pembacanya merasakan hal-hal yang sulit dirasakan secara nyata. Misalnya, kita menjadi tahu sejarah Indonesia, berkat membaca semua Karya - karya buku Pramoedya ananta toer.

            Ketiga, estetis, yaitu keindahan. Di dalam sastra biasanya ada gemulai tarian kata yang berjejer indah. Setiap calon penulis dituntut untuk memahami simbol-simbol serta visualisasi tersebut, dan harus mampu mengartikan keindahan apa yang dimaksud. Karena keindahan puisi tersebut timbul dengan sendirinya. Seperti puisinya Rini Intama yang terkumpul dalam judul Kepada Perempuan, Kepada Kisah-Kisah, Kepada Negeri. Tema-tema tersebut oleh penyair Rini Intama diekspresikan melalui berbagai macam fungsi personal, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menyatakan diri, baik berupa perasaan maupun pikiran.

            Keempat, moralitas, yakni sastra yang baik. Biasanya sastra tersebut selalu mengandung moral yang tinggi. Semua karya sastra besar yang ada di Indonesia memiliki moralnya sendiri. Seperti kisah Siti Nurbaya karya Marah Rusli, yang memberikan moral tentang cinta dan budaya (salah satunya). Begitu juga dengan puisi Tanah Air dari Muhammad Yamin, surat moral akan kemerdekaan. Yang menyatakan bahwa sastra adalah mural.

            Kelima, Religius, yaitu sebagai bangsa yang dibuat berdasarkan kepercayaan atas Tuhan yang Maha Esa. Tentu aspek agama sebaiknya tidak musnah dari karya sastra, karena sastra adalah hasil dari budaya masyarakat. Artinya, masyarakat yang beragama, sudah seharusnya sudah menyusun karya sastra yang memberikan perspektifnya tentang agama.

Kondisi Remaja Tanpa Kehadiran Buku-Buku Sastra
Remaja merupakan masa Transisi ketika anak mulai beranjak dewasa. Masa tersebut dianggap masa yang sangat menyenangkan. Karena pada saat itu biasanya anak mulai bisa mengenal lebih jauh terhadap lawan jenisnya. Beribu rasa, deg-degan, akan berbaur secara langsung. Dan ingatan ini akan terus membekas hingga ia dewasa. Seorang psikolog masalah remaja, Roslina Veraule, mengungkapkan, bahwa “Masa remaja sekarang sangat berbeda dengan Masa remaja sepuluh tahun silam, Remaja sekarang lebih berekspresi pada emosi, mengungkapkan perasaan tanpa sembunyi-sembunyi dan malu seperti dulu”.

            Bergandengan tangan di tempat-tempat umum, berciuman, dan berpelukan merupakan sebuah kebiasaan para remaja sekarang. Mereka sudah tidak memiliki rasa takut dan gentar terhadap undang-undang dalam agama maupun negara. Bagi orang tua, perbuatan seperti ini tentunya membuat hatinya perih. Bahkan, tidak segan-segan anak tersebut akan membuat malu keluarganya. Akan tetapi, orang tua juga memiliki rasa kecut dalam menghadapi pergaulan anaknya. Jika terlalu ketat mereka akan berontak dan pertikaian tidak bisa dihindari. Tentunya perbuatan keji seperti ini tidak diinginkan terjadi oleh orang tua.

            Pergaulan memang sangat dibutuhkan di kalangan para remaja. Mereka seperti merasa sangat dahaga yang ingin terpuaskan. Suka lingkungan, hura-hura, dan lain sejenisnya, Hal tersebut tidak lain adalah bentuk proses mereka dalam menentukan jati dirinya. Dan orang tua berperan aktif dalam meminimalisir pergaulan anaknya tersebut, agar tidak salah dalam membentuk kader yang sukses.

            Dalam konteks mendidik, kebanyakan orang tua mendoktrin anaknya untuk taat terhadap tuntunan Agama. Namun selain itu, juga sangat perlu adanya suapan pendidikan lain yang dapat membuka serta memperluas pengetahuan sang anak. Dalam hal ini, buku-buku sastra berperan penting untuk lebih berpikir kreatif, kritis, dan kognitif. Sehingga kemudian terbentuklah prinsip yang terus memperhatikan dan mengintegrasikan persoalan moral dan keluhuran budi pekerti.

            Selain itu, membaca cerita sastrawan muda, Faisal Oddang, tentang peserta seminar yang sama sekali tidak familiar ketika ia menyebut 20 nama sastrawan pilih tanding. Kata Oddang, ada satu peserta mengaku akrab dengan Tere Liye, tapi ketika Oddang bertanya judul buku milik Tere Liye mana yang pernah ia baca, mahasiswa itu pun terbata-bata mengaku bahwa ia sejujurnya hanya menyukai tulisan-tulisan di kiriman status Facebook akun Tere Liye. (Detiknews)

            Kejadian seperti itu sangatlah menyentil terhadap dirinya sendiri. Akibatnya, mahasiswa tersebut akan malu ketika berpapasan dengan orang lain, apalagi sampai diketahui identitasnya. Maka, perlu adanya hidangan buku  khususnya buku sastra-ringan bagi pemula-agar dapat mengejar ketertinggalan dari berkembangnya zaman, dalam hal ini bisa dimulai sejak mengenyam pendidikan di sekolah.

*Penulis adalah  Kader PMII Rayon Ashram Bangsa

Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan '18 korp(PASKO)

0 Response to "Ketidak hadiran Buku Sastra dalam Dunia Remaja"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel