Ketidak hadiran Buku Sastra dalam Dunia Remaja
Monday, November 19, 2018
Add Comment
Oleh : Faiqur Rahman
Gambar : lakonhidup. com
Ada banyak peristiwa
yang saya alami ketika sudah keluar dari bangku sekolah. Saat ini saya merupakan
salah satu mahasiswa Universitas ternama di Yogyakarta. Akan tetapi sebelum
itu, saya sudah setahun lamanya menghabiskan waktu untuk belajar di Garawiksa
Institute Yogyakarta. Yaitu tempat para mahasiswa dan non mahasiswa yang
berkeinginan untuk belajar menulis sastra dan ilmiah. Di tempat itu saya lebih
banyak mengerti dan memahami apa itu sastra serta bagaimana cara
menggunakannya. Hal tersebut saya dapatkan melalui diskusi, bedah karya, dan
bimbingan-bimbingan lain dari para mentor.
Berbeda pada saat saya masih berada
di bangku sekolah (SMP/MTS), saat itu saya hanya mendapatkan teori tanpa harus
mengerti dengan apa yang telah disampaikan oleh guru. Tidak ada kewajiban untuk
membaca sebuah buku agar menambah wawasan pengetahuan. Sekalipun perpustakaan
terbuka lebar, tentunya sebagai anak yang masih polos, serta tercatat sebagai
anak yang lebih rajin bermain kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan serta,
sangatlah dibutuhkan kewajiban dan dorongan semangat dari orang tua juga para
guru untuk menumbuhkan karakter.
Sedangkan ketika saya sudah beranjak
ke jenjang pendidikan tingkat menengah atas, saya melanjutkan ke Madrasah
Aliyah Tahfidh Annuqayah (MAT), yang merupakan sebuah lembaga pendidikan
jurusan agama. Lembaga tersebut terletak di sebuah pesantren besar di Sumenep,
yaitu Pondok Pesantren Annuqayah. Kabarnya, pesantren tersebut dikenal banyak
menghasilkan para santri yang sukses, Sehingga kemudian saya tertarik untuk
mendalami ilmu pendidikan di sana.
Didalam pesantren tersebut saya
banyak belajar berbagai macam pendidikan, terutama sastra. Sastra yang ada di
pesantren ini berkembang karena adanya beberapa faktor, di antaranya adalah
adanya sebuah komunitas-komunitas yang mendapat dukungan dari pesantren.
Seperti Lesehan Sastra Annuqayah (LSA), lalu kemudian diikuti oleh
komunitas-komunitas sastra lain seperti Komunitas Penyisir Sastra Iksabad
(Persi), Komunitas Cinta Nulis (KCN), serta komunitas yang lainnya. Namun
komunitas KCN ini lebih condong terhadap tulisan Cerpen.
Sayangnya, dalam komunitas tersebut
tidak ada kewajiban untuk membaca sebuah buku, hanya saja ada anjuran terhadap
mereka yang ikut komunitas tersebut. Itu pun membutuhkan sebuah kesadaran dari
para pegiat sastra dalam komunitasnya. Hal ini tentu kurang baik terhadap masa
depan karya mereka. Selain karyanya tidak memiliki daya tarik yang kuat
terhadap pembaca, mereka juga akan kebingungan ketika ingin memulai menciptakan
karya.
Melihat sistem yang digunakan di
Amerika Serikat (AS) dalam konteks membaca, saya sangat terharu dan berharap
hal ini diterapkan juga di Indonesia. “AS
mewajibkan masyarakatnya untuk membaca 25 Novel selama tiga tahun”. Barangkali,
hal tersebut merupakan salah satu faktor AS melahirkan orang-orang kreatif. Seandainya
hal ini dijadikan sebagai bahan acuan bagi Negara Indonesia, akan berdampak
baik terhadap para generasi bangsa itu
sendiri. Apalagi, mengingat minat baca yang ada di Indonesia sekarang sangat
rendah, yaitu menduduki peringkat 60 dari 61 Negara. Hal ini diungkapkan Kepala
Perpustakaan Nasional, Muh Syarif Bondo.
Fungsi sastra
Dengan adanya sastra di Indonesia,
akan memberikan perubahan yang sangat baik terhadap para generasi muda.
Sekalipun perjalanannya begitu lambat, tapi senantiasa akan memberikan pengaruh
yang besar, baik dalam konteks pergerakan mahasiswa, non mahasiswa, lebih-lebih
terhadap urusan Negara. Karena dengan sastra, pikiran kita akan tampak kreatif,
peka terhadap keadaan, bisa membaca segala sesuatu yang ada di sekeliling kita,
serta yang lainnya. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Panuti Sujiman,
bahwa, sastra merupakan karya lisan ataupun tulisan yang mempunyai beberapa
ciri seperti “keindahan, keartistikan,
dan keorisinilan dalam setiap bagian isi dan ungkapan yang ada di dalamnya”.
Sastra memiliki beberapa fungsi, di antaranya
adalah: pertama, rekreatif, yaitu
sebagai hiburan. Ada beberapa orang ketika membaca sastra mendapatkan sebuah
hiburan tersendiri. Para pembaca seakan fokus terhadap konflik yang terjadi di
dalamnya, dan sesaat kemudian melupakan konflik yang terjadi di dunia nyata.
Dengan membaca kisah sastra, barangkali pembaca akan tersenyum sendiri
menikmati keindahan kisah-kisah yang tersaji, atau justru menangis kecil ketika
merasakan kesedihan dalam karya sastra, atau tertawa, jika penulis menyelipkan
lelucon menarik di dalam karyanya.
Kedua, deduktif, yaitu sebagai
pendidikan. Dengan membaca karya sastra, pembaca akan mendapatkan pengalaman
serta ilmu-ilmu baru di dalam karyanya. Karena sejatinya, karya sastra membahas
tentang berbagai aspek kehidupan yang bisa membuat pembacanya merasakan hal-hal
yang sulit dirasakan secara nyata. Misalnya, kita menjadi tahu sejarah
Indonesia, berkat membaca semua Karya - karya buku Pramoedya ananta toer.
Ketiga, estetis, yaitu keindahan. Di
dalam sastra biasanya ada gemulai tarian kata yang berjejer indah. Setiap calon
penulis dituntut untuk memahami simbol-simbol serta visualisasi tersebut, dan
harus mampu mengartikan keindahan apa yang dimaksud. Karena keindahan puisi
tersebut timbul dengan sendirinya. Seperti puisinya Rini Intama yang terkumpul
dalam judul Kepada Perempuan, Kepada
Kisah-Kisah, Kepada Negeri. Tema-tema tersebut oleh penyair Rini Intama
diekspresikan melalui berbagai macam fungsi personal, yakni merupakan fungsi
bahasa untuk menyatakan diri, baik berupa perasaan maupun pikiran.
Keempat, moralitas, yakni sastra yang
baik. Biasanya sastra tersebut selalu mengandung moral yang tinggi. Semua karya
sastra besar yang ada di Indonesia memiliki moralnya sendiri. Seperti kisah
Siti Nurbaya karya Marah Rusli, yang memberikan moral tentang cinta dan budaya
(salah satunya). Begitu juga dengan puisi Tanah Air dari Muhammad Yamin, surat
moral akan kemerdekaan. Yang menyatakan bahwa sastra adalah mural.
Kelima, Religius, yaitu sebagai bangsa yang dibuat berdasarkan kepercayaan
atas Tuhan yang Maha Esa. Tentu aspek agama sebaiknya tidak musnah dari karya sastra,
karena sastra adalah hasil dari budaya masyarakat. Artinya, masyarakat yang
beragama, sudah seharusnya sudah menyusun karya sastra yang memberikan
perspektifnya tentang agama.
Kondisi
Remaja Tanpa Kehadiran Buku-Buku Sastra
Remaja merupakan masa Transisi
ketika anak mulai beranjak dewasa. Masa tersebut dianggap masa yang sangat
menyenangkan. Karena pada saat itu biasanya anak mulai bisa mengenal lebih jauh
terhadap lawan jenisnya. Beribu rasa, deg-degan, akan berbaur secara langsung.
Dan ingatan ini akan terus membekas hingga ia dewasa. Seorang psikolog masalah
remaja, Roslina Veraule, mengungkapkan, bahwa “Masa remaja sekarang sangat berbeda dengan Masa remaja sepuluh tahun
silam, Remaja sekarang lebih berekspresi pada emosi, mengungkapkan perasaan
tanpa sembunyi-sembunyi dan malu seperti dulu”.
Bergandengan
tangan di tempat-tempat umum, berciuman, dan berpelukan merupakan sebuah
kebiasaan para remaja sekarang. Mereka sudah tidak memiliki rasa takut dan
gentar terhadap undang-undang dalam agama maupun negara. Bagi orang tua,
perbuatan seperti ini tentunya membuat hatinya perih. Bahkan, tidak segan-segan
anak tersebut akan membuat malu keluarganya. Akan tetapi, orang tua juga
memiliki rasa kecut dalam menghadapi pergaulan anaknya. Jika terlalu ketat
mereka akan berontak dan pertikaian tidak bisa dihindari. Tentunya perbuatan
keji seperti ini tidak diinginkan terjadi oleh orang tua.
Pergaulan
memang sangat dibutuhkan di kalangan para remaja. Mereka seperti merasa sangat
dahaga yang ingin terpuaskan. Suka lingkungan, hura-hura, dan lain sejenisnya,
Hal tersebut tidak lain adalah bentuk proses mereka dalam menentukan jati
dirinya. Dan orang tua berperan aktif dalam meminimalisir pergaulan anaknya
tersebut, agar tidak salah dalam membentuk kader yang sukses.
Dalam
konteks mendidik, kebanyakan orang tua mendoktrin anaknya untuk taat terhadap
tuntunan Agama. Namun selain itu, juga sangat perlu adanya suapan pendidikan
lain yang dapat membuka serta memperluas pengetahuan sang anak. Dalam hal ini,
buku-buku sastra berperan penting untuk lebih berpikir kreatif, kritis, dan
kognitif. Sehingga kemudian terbentuklah prinsip yang terus memperhatikan dan
mengintegrasikan persoalan moral dan keluhuran budi pekerti.
Selain
itu, membaca cerita sastrawan muda, Faisal Oddang, tentang peserta seminar yang
sama sekali tidak familiar ketika ia menyebut 20 nama sastrawan pilih tanding.
Kata Oddang, ada satu peserta mengaku akrab dengan Tere Liye, tapi ketika
Oddang bertanya judul buku milik Tere Liye mana yang pernah ia baca, mahasiswa
itu pun terbata-bata mengaku bahwa ia sejujurnya hanya menyukai tulisan-tulisan
di kiriman status Facebook akun Tere
Liye. (Detiknews)
Kejadian
seperti itu sangatlah menyentil terhadap dirinya sendiri. Akibatnya, mahasiswa
tersebut akan malu ketika berpapasan dengan orang lain, apalagi sampai
diketahui identitasnya. Maka, perlu adanya hidangan buku khususnya buku sastra-ringan bagi pemula-agar
dapat mengejar ketertinggalan dari berkembangnya zaman, dalam hal ini bisa
dimulai sejak mengenyam pendidikan di sekolah.
*Penulis adalah Kader PMII Rayon Ashram Bangsa
Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan '18 korp(PASKO)
0 Response to "Ketidak hadiran Buku Sastra dalam Dunia Remaja"
Post a Comment