Menimbang Interdependensi PMII

Oleh: Imam Nawawi*
Sumber gambar: http://www.nu.or.id
Polemik tentang kembalinya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ke NU masih bergejolak. Perlukah PMII menjadi Badan Otonom NU? Secara historis dan kultural, PMII dan NU memiliki keterkaitan sangat erat. Sehingga,  seolah-olah keduanya adalah satu; PMII ya NU, dan NU ya PMII. Menurut sejarah, PMII lahir dari rahim NU. Dan, karena itu pula  PMII harus kembali kepada biyungnya[1].

Di sisi lain, pihak kontra berpendapat, PMII tidak perlu kembali ke NU. Sebab, hanya persoalan struktural dan tidak substansial.  Bahkan, kembalinya PMII ke struktural NU adalah suatu kemunduran. Dalam konteks kaderisasi, PMII lebih maju dibandingkan Badan Otonom NU, seperti IPNU-IPPNU. Tetapi, anggapan tersebut tidak memiliki akar pemikiran yang kuat.

Polemik tersebut  setidaknya telah terjadi sejak ditetapkannya hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama  dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama’ (Munas-Konbes NU) ke-32. Munas-Konbes NU tersebut berisi ultimatum kepada PMII untuk segera kembali pada NU. Selain itu, Munas-Konbes NU yang berlangsung di Makassar tersebut juga memberikan masa tenggang kepada PMII sampai pelaksanaan muktamar ke-33 di Jombang untuk menentukan sikap. Jika PMII tetap tidak mau kembali maka NU akan mendirikan badan otonom baru di tingkat mahasiswa.[2] Berdasarkan hasil muktamar Jombang, PMII resmi menjadi Banom NU, meski pun pada Kongres PMII di Palu lalu, tidak dibahas apakah akan bergabung atau tidak.

Setidaknya ada beberapa alasan NU mengeluarkan keputusan tersebut. Pertama, adanya keterputusan jenjang kaderisasi di tingkatan mahasiswa. Secara formal, jenjang kaderisasi NU hanya sampai di tingkatan pelajar, sedangkan di tingkatan mahasiswa tidak ada. Meski dalam kulturnya, beberapa mahasiswa juga jadi kader IPNU.  Sejak PMII memutuskan diri untuk pisah dan independen dari NU—yang saat itu masih sebagai partai politik, NU tidak lagi memiliki badan otonom khusus untuk membidani kaderisasi dan penyiapan sumber daya manusia di perguruan tinggi.[3]

Kedua, sebagian besar ulama’ NU menilai arus pemikiran dan gerakan PMII saat ini terlalu ‘liar’ dan liberal. Sehingga nilai aswaja an-nahdhiyah-nya cenderung dilupakan. Beberapa orang mungkin punya pendapat yang berbeda. Namun, setidaknya independensi PMII yang telah melalui perjalanan panjang ini meniscayakan adanya liberasi gerakan, yaitu sebuah usaha pelepasan dari berbagai belenggu yang mengikatnya dan pada saat yang sama merupakan bentuk perlawanan terhadap otoritas tertentu. Jika dibiarkan, kader-kader NU ke depan mungkin jauh dari harapan.

Oleh karena itu, banyak kalangan yang meyakini bahwa untuk melihat potret masa depan warga NU ikut dipengaruhi oleh transformasi yang dicapai PMII dalam berbagai bidang kehidupan.  Di sini transformasi gerakan PMII harus terus dilakukan yang terwujud melalui kerja keras dan elanvital yang kuat. Elanvital di sini mewujud dalam beragam ekspresi pemikiran, pilihan gerakan politik hingga visi dan tradisi demokrasi yang ingin diwujudkan.

PMII saat ini tidak sebagaimana PMII tempo dulu. Inklusifitas yang dipegang seolah-olah menjadi suatu jebakan bagi PMII sendiri. Inklusifitas yang dulu adalah cara berpikir luas, komprehensif, tidak eksklusif, tidak memihak dan berorientasi pada kebenaran kini berubah menjadi pemahaman liberal. Nilai keislaman dan ke-aswaja-annya terlalu longgar. PMII cenderung menggunakan persepsi “kanan” dalam persoalan keagamaan, bukan lagi moderat.

Fenomena ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari fenomena intellectual booming yang terjadi di lingkungan NU, utamanya di penghujung tahun 80-an. Fenomena ini merupakan puncak dari proses liberasi dan radikalisme (baca: berpikir mendalam) yang tidak jarang  memunculkan gagasan-gagasan yang cukup radikal dan kerap kali memancing kemarahan sang kiai.[4]

Hal ini menjadi perhatian serius para ulama’ NU mengingat bahwa kader PMII adalah kader NU juga dan semua yang dijalankan serta menjadi tradisi PMII merupakan tradsisi NU juga. Akan tetapi selama PMII masih independen para ulama’ tidak bisa apa-apa. Mereka hanya bisa memberikan teguran-teguran “jarak jauh” yang bisa diindahkan bisa pula tidak. Jika PMII bergabung lagi pada NU, NU bisa lebih leluasa memberikan nasehat-nasehat—tentu yang tidak berlebihan. Artinya, NU mengajak PMII kembali padanya sebagai upaya ‘menyelamatkan’ PMII dari keterpurukan pemahaman ke-aswaja-annya.

Ketiga, alasan interdependensi PMII sudah tidak relevan lagi. Setelah muktamar 1983 di Situbondo,  Jawa Timur, NU menyatakan diri lepas sebagai partai politik dan memutuskan kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi sosial-keagamaan yang bertekad untuk mengembangkan sumber daya manusia di bidang ekonomi, agama dan pendidikan. Bukankah PMII memilih independen lantaran NU saat itu adalah partai politik?

Interdependensi PMII secara struktural memberikan kesan bahwa PMII sebagai anak yatim, tidak punya orang tua. PMII untuk saat ini tidak memiliki induk siapa-siapa, sebab pasca Deklarasi Murnajati[5] secara resmi ia telah terputus dari induknya. Itu artinya PMII tidak memiliki afiliasi organisasi yang jelas dan hal ini menunjukkan ketidak-jelasan eksistensi di level yang paling inti. Bahkan terkesan seolah-olah organisasi sebesar PMII itu tidak lagi memiliki arah perjuangan yang pasti.

Padahal, menurut penuturan Slamet E Yusuf bahwa independensi PMII adalah hasil perenungan terhadap posisi dan eksistensi PMII yang mengalami stagnasi, dan jika tidak diperbaharui akan membawanya pada jurang yang penuh kegelapan, apalagi hanya menjadi alat politik. Karena partai politik dan mahasiswa memiliki wilayah yang sangat berbeda sama sekali. Jika partai politik bergulat pada kepentingan-kepentingan, maka mahasiswa bagaimanapun juga bergulat pada proses peneguhan dan pencarian jati diri, pada tingkat-tingkat yang objektif, ilmu pengetahuan, moralitas, intelektual dan seterusnya.[6] Ini menandakan bahwa kalau NU telah bukan partai politik dan bisa memperluas pandangan objektif PMII, maka sewajarnya PMII kembali ke NU.

PMII sebagai harakah NU

Pada tahun 1991 PMII hanya menyatakan sikap interdependensi dengan NU. Artinya, PMII mengakui adanya persamaan-persaman dengan NU. Di antara isi deklarasi interdependensi tersebut berbunyi:

PMII dan NU memiliki persamaan-persamaan dalam persepsi keagamaan dan perjuangan, visi sosial dan kemasyarakatan, keraguan, ketidak menentuan serta kesaling-curigaan; sebaliknya untuk menjalin kerjasama program secara kualitatif fungsional baik secara program nyata maupun penyiapan sumber daya manusia, PMII menyatakan siap untuk meningkatkan kualitas hubungannya dengan NU atas prinsip berkedaulatan organisasi penuh, interdependensi, dan tidak intervensi struktural dan kelembagaan, serta prinsip mengembangkan masa depan Islam Ahlusunnah wal Jama’ah Indonesia. (ditetapkan di Pondok Gede, Jakarta pada 29 Oktober 1991)

Ini menunjukkan bahwa sebenarnya antara PMII dan NU sudah mulai “baikan” dan tidak ada masalah apa-apa. Hal itu terbukti pada isi Deklarasi Interdependesi PMII pada 1991  di atas. Sejauh perjalanan interdependensi PMII, ia tetaplah sebagai gerakan nahdliyin. Sebagimana diakui sendiri dalam deklarasi interdependensi di atas bahwa PMII memiliki kesamaan tradisi, visi-misi, gerakan sosial dan ideologi ahlus sunnah wal jama’ah. Maka akan lebih baik jika PMII dan NU kembali bersatu dalam satu ikatan.

Secara ideologis PMII adalah kader ideologi NU. Artinya, apa yang diajarkan di PMII adalah apa yang ada di NU. Maka sebenarnya, eksistensi PMII merupakan perwujudan konkret dari harakah an-nahdliyah.

Di sini jelas bahwa PMII adalah bagian integral dari NU. Sejarah pecahnya PMII dari NU dan menjadi independen, bukan karena PMII tidak mau pada NU, tetapi lantaran hal tersebut memang harus dilakukan sebagai  suatu cara “menyelamatkan diri” dari Orde Baru. Maka dari itu, karena kondisinya sudah berbeda dengan Orde Baru, semua akses sudah terbuka, proses demokrasi menjadi prioritas dalam berbangsa dan bernegara, maka sekali lagi, tidak ada salahnya jika PMII kembali pada NU sebagai suatu pengakuan dan upaya memperjelas eksistensinya sebagai organisasi kader ideologis NU. diharapkan dengan begitu PMII dan NU akan memiliki kontribusi besar dalam membangun masa depan bangsa Indonesia.

Oleh sebab itu, sangat disayangkan sikap sebagian kader PMII yang menganggap ultimatum Munas-Konbes NU ke-32 sebagai suatu usaha memundurkan gerakan PMII. Padahal jika ditelaah menggunakan pikiran jernih, justru dengan bergabungnya PMII menjadi badan otonom NU, PMII akan memiliki status perhubungan yang jelas. Sebaliknya, jika PMII tidak mau kembali hal itu merupakan jalan terjal bagi PMII sendiri.[7]

Patut diakui bahwa bagaimana pun kebutuhan NU kepada badan otonom di tingkat perguruan tinggi tidak bisa ditawar lagi. NU membutuhkan badan otonom yang jelas, yang terikat secara struktural maupun kultural. Kebutuhan itulah yang menjadi alasan PBNU untukmembentuk badan otonom baru di tingkat mahasiswa jika PMII masih juga tidak mau ‘pulang’.[8] Tentu, hal tersebut merupakan ancaman serius bagi PMII.

Artinya, jika NU benar-benar membentuk Badan Otonom (Banom) baru. Tentu akan menimbulkan konflik dan perpecahan antar kader NU. Dan perjuangan PMII akan berdarah-darah merebut posisi dan kader di kampus-kampus. Perebutan antar sesama organisasi kultural ‘berdarah’ NU tidak akan bisa dihindarkan. Perebutan yang sebenarnya sia-sia dantidak perlu dilakukan, tetapi demi mempertahankan eksistensi mau tidak mau hal tersebut harus dilaksanakan.

Di sini pandangan masyarakat NU akan terpecah dalam berbagai spekulasi. Akan ada ‘ide’ untuk membanding-bandingkan. Perbandingan pertama yang akan dipakai pasti jalur struktural, hierarki ideologis dan kultural. PMII tidak memiliki hierarki struktural, maka ia akan dianggap tidak jelas arahnya. Ke mana PMII berkiblat orang-orang tidak akan peduli. Meskipun internal PMII tetap mengakui NU sebagai akar ideologinya. Orang-orang hanya akan memandang bahwa PMII tidak memiliki ‘orang tua’ karena orang tua kandungnya telah memungut ‘anak baru’.

Sikap Skeptis

Akan tetapi, sejauh pengamatan penulis PMII sebenarnya bukan tidak mau kembali kepada NU. Hanya saja ada keraguan dan ketakutan kalau nantinya PMII kembali, sejarah pahit yang dulu dialami akan terjadi lagi. Ada trauma masa lalu yang membuat PMII takut. Takut kebebasan berpikir, berekspresi, bergerak, dan kaderisasinya akan dihambat dan dibatasi secara berlebihan oleh NU. Itu  artinya ‘luka-luka’ politik PMII di masa lalu nampaknya belum bisa sembuh secara sempurna.

Wajar sikap tersebut muncul. Kecurigaan yang timbul atas trauma masa lalu merupakan niscaya adanya. Trauma masa lalu itu kemudian mewujud sebagai sebuah kekhawatiran. Kekhawatiran terhadap sikap “tak bersahabat”, jika PMII kembali menjadi badan otonom NU. kekhawatiran tersebut bisa kita tebak menggunakan nalar rasional kita bahwa ketika PMII masuk dalam struktural sebagai badan otonom NU, mau tidak mau PMII harus melaksanakan apa yang telah NU putuskan, toh, walaupun semisal bertentangan dengan ideologi mahasiswa sebagai kaum intektual dan cendekia. Itu artinya PMII harus manut atau senantiasa patuh kepada NU sebagai ‘atasannya’ meskipun hal itu tidak diinginkannya. Tentu idealisme, kekuatan intelektual, kebebasan sikap dan ketidak-berpihakan PMII kepada siapa pun bisa terancam.

Karena bagaimana pun ketika telah terikat secara struktural, maka secara etika, PMII memiliki ‘tanggungan’ moral untuk berpihak pada NU. Contoh sederhana, jika NU pro pada keputusan pemerintah menaikkan harga BBM, maka secara etika, PMII—sebagai badan otonom NU—pun harus pro kepada keputusan itu, atau toh semisal tidak setuju, asumsi publik tetap akan mengatakan bahwa PMII ikut setuju kepada induknya.

Hal itu mengingat bahwa di sisi lain NU meskipun telah bukan partai politik tetapi tidak dipungkiri bahwa oknum-oknum di dalamnya adalah pelaku politik. NU belum sepenuhnya terbebas dari dunia politik praktis. Itu artinya, bahwa pengembalian NU ke khittah 1926, hanya berhasil untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan secara konsepsional namun gagal secara operasional.[9]

Selain itu, latar belakang kekhawatiran tersebut juga muncul lantara NU belum selesai dengan ‘dirinya sendiri’. Banyak Badan Otonom (Banom) NU yang belum diurusi dengan jelas. Katakanlah semisal konflik GP Ansor dengan Banser, ketidak-jelasan kaderisasi IPNU-IPPNU dan sebagainya.  Itu artinya kesiapan NU untuk menampung dan mengurusi mahasiswa—yang terwadah dalam PMII—masih dipertanyakan.

Penutup

Maka di sini ada beberapa masalah yang harus diselesaikan. Di satu pihak NU membutuhkan PMII sebagai badan otonomnya. Di pihak lain, PMII menyimpan kecurigaan   besar dan “ketakutan” kepada NU. Oleh karena itu, dua kepentingan ini harus dipertemukan. Dan—mungkin –atas dasar itulah PBNU memutuskan untuk mengadakan  pertemuan tiga pihak, yakni IKA-PMII, PB PMII danTim Kaderisasi PBNU guna membahas persiapan lebih lanjut mengenai kembalinya PMII. Hal itu, untuk sementara waktu merupakan langkah solutif  yang diharapkan bisa memediasi masing-masing ‘kepentingan’  di antara dua pihak.[10]

Di pertemuan ini, PMII bisa mengajukan persyaratan-persyaratan atau mengajukan sebuah perjanjian, misal; 1) NU tidak boleh terlalu memonopoli PMII meskipun ia sebagai badan otonomnya. 2) Nalar berpikir PMII tidak boleh diarahkan ke nalar politik. Artinya, NU harus bisa menerima nalar progresifitas pergerakan sebagai suatu  keniscayaan dalam gerakan mahasiswa. 3) NU tidak banyak intervensi pada PMII, lebih-lebih dalam perkara politis. 4) NU tidak boleh menghambat gerakan yang menjadi cita-cita dasar PMII. 5) PMII bisa kembali independen jika terbukti NU tidak mampu membawa PMII ke arah yang lebih baik.

Perjanjian tersebut penting agar PMII bisa membangun suatu era di mana kecirian pergerakan yang pro-demokrasi dan identitas kejernihan intelektual yang menjunjung tinggi kebebasan.Arah dan wajah bangsa di masa depan ditentukan oleh seberapa ‘cerdas’ generasi mudanya. Maka dari itu, jika gerakan mahasiswa dibatasi, maka kreatifitas akan mati sebab gerakan  mahasiwa membutuhkan ladangnya sendiri.

Sebenarnya apa yang ingin penulis sampaikan adalah bagaimana antara pihak pro dan pihak kontra PMII kembali ke NU tidak saling bersikukuh mempertahankan pendapat masing-masing. Artinya bahwa PMII kembali ke NU adalah penting. Namun, NU berbenah diri jauh lebih penting.


*Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
PMII angkatan 2014 (Korp Aliansi Pejuang Indonesia)
Bergiat di komunitas Menulis Pinggir Rel (MPR)
Serta aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia








DAFTAR PUSTAKA
Arifin,Zainul, dkk. 2009. KH. Moh. Tolchah Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren)
Taufiq, Wardi. 2004. Bergerak dengan Nalar Baru, Meraih Citra Baru Keislaman dan Keindonesiaan, (Jakarta: P3M)
Tim Penyusun. 2014. Modul PKD Rayon Ashram Bangsa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, (tt).
Anshori, Syaiful Bahri, dkk. 2000. Fiqh Kewarganegaraan; Intervensi Agama-Negara terhadap Masyarakat Sipil, (Jakarta: PB PMII)
NU Online, Muktamar 2015, Tenggang Waktu PMII “Pulang” ke NU. Edisi Sabtu 01/11/2014
NU Online, IKA-PMII Setuju PMII Kembali Menjadi Badan Otonom NU, edisi Kamis 19/03/2015

[1] PMII dilahirkan pada tanggal 17 April 1960 di Sekolah Mu’alimat NU Wonokromo, Surabaya dalam situasi politik zamannya. Organisasi tersebut terbentuk berkat desakan kuat beberapa mahasiswa NU untuk membentuk sayap organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang kaderisasi, menjunjung tinggi intelektualitas dan kualitas kepemimpinan kaum muda. Maka atas dasar itu, PMII lahir dari departemen perguruan tinggi IPNU sebagai kelanjutan kaderisasi di tingkat mahasiswa.
Lahirnya PMII memiliki hierarki sejarah yang cukup panjang. Berawal dari kegelisahan kader NU di tingkat mahasiswa sampai pada berdirinya departemen perguruan tinggi IPNU yang kemudian mengadakan forum untuk menindaklanjuti usulan pembentukan organisasi baru di tingkat mahasiswa. Forum tersebut berlangsung pada 17 April 1960 atau bertepatan dengan 21 Syawal 1379 H yang menghasilkan beberapa keputusan. Pertama, menyepakati berdirinya organisasi mahasiswa NU dengan nama “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”, disingkat PMII. Kedua, susunan peraturan dasar organisasi dalam mukaddimahnya jelas dinyatakan bahwa “PMII merupakan kelanjutan/mata rantai dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU”. Ketiga, menetapkan 17 April sebagai hari lahir PMII. Pada hari itu juga Peraturan Dasar PMII resmi diberlakukan. Keempat, memutuskan pembentukan tiga formatur, Mahbub Djunaedi sebagai Ketua Umum, A. Chali Mawardi sebagai Ketua Satu dan M. Said Budairi sebagai Sekretaris Umum PP PMII periode pertama. Zainul Arifin, dkk, KH. Moh. Tolchah Mansoer Biografi Profesor NU yang Terlupakan,2009, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren),  hal, 83-84.
[2] Hal ini dikemukakan oleh Imam Aziz selaku Ketua Umum PBNU yang baru. Lihat, NU Online, Muktamar 2015, Tenggang Waktu PMII “Pulang” ke NU. Edisi Sabtu 01/11/2014
[3] Secara historis, lepasnya PMII dari NU didasari oleh karena NU adalah partai politik. Saat itu, di mana pemerintahan Orde Baru berkuasa, suasana politik begitu mencekam. Pada tahun pemilu tahun  1971 Partai NU menjadi kekuatan utama. Kalau pemilu 1955, Partai NU memperolah suara 18,3%  sementara pada tahun 1971 menjadi 18,8%. Ini berarti perolehan suara NU pada pemilu 1971 mengalami kenaikan meskipun mendapat intimidasi yang kaut dari militer. Golkar (waktu itu namanya Sekber Golkar) sebagai pemenang sekaligus menjadi maenstreamyang sedang tumbuh di mana proses birokratisasi dan militerisasi politik itu sedang terjadi. Posisi Partai NU saat itu sebagai kelompok politik yang paling berlawanan dengan Golkar. Dengan demikian, mau tidak mau Partai NU dan seluruh jajarannya memperoleh proses peminggiran yang luar biasa. PMII adalah bagian dari itu, sehingga harus juga dipinggirkan, maka rektor-rektor IAIN yang berlatar belakang NU diganti, pejabat-pejabat di departemen agama yang alumni PMII dihabiskan dan lebih celaka lagi, lembaga kultural yang menjadi binaan NU seperti pesantren—basis terakhir yang menjadi pertahanan NU—dikucilkan. Lihat: Wardi Taufiq, Bergerak dengan Nalar Baru, Meraih Citra Baru Keislaman dan Keindonesiaan, 2008 (Jakarta: P3M), hal, 4-5
[4] Wardi Taufiq, Op. Cit,hal, 15
[5] Melihat realitas sosio-politik yang penuh stagnasi itu, membangkitkan kader PMII untuk melihat kembali eksistensinya. Kader PMII di semua tingkat melakukan perenungan mendalam terhadap posisinya yang sungguh tidak menguntungkan. Dari perenungan itu lahirlah keputusan untuk melepaskan diri dari Partai NU. Artinya, PMII memutuskan untuk independen dari NU. Keputusan independensi tersebut terjadi di Murnajati, Lawang, Malang, Jawa Timur yang kemudian disebut “Deklarasi Murnajati”. Deklarasi Murnajati pada 1972 tersebut memberikan keputusan telak kepada NU untuk tidak ikut campur lagi dalam urusan keorganisasian PMII. Deklarasi Murnajati menandakan bahwa sejak saat itu PMII telah memilih ruang gerak sendiri. Pernyataan independensi ini merupakan babak awal untuk merumuskan PMII sebagai organisasi kader intelektual, sebagaimana disandang oleh mahasiswa, bukan lagi sebagai organisasi kader partai.  Ibid, hal, 9
[6] Wardi Taufiq, Loc.Cit.
[7] Sejauh perjalanannya, PMII telah melewati tiga fase besar yang hal itu berpengaruh pada konstruksi cara berpikir. Pertama, antara 1960-1970, yaitu di saat PMII mulai didirikan dan harus menjawab tantangan zaman: menjadi organisasi kader bagi Partai NU; dan perkembangan revolusi zaman. Sebagai organisasi kader, ketika itu PMII dituntut untuk melakukan pendukungan penuh terhadap apa yang diperjuangkan Partai NU. Kedua, periode pencarian identitas diri (1972-1990) setelah menyatakan independen dari Partai NU. Ketiga, periode memantapkan identitas politik (1991-2000), yaitu pengembangan wacana-wacana kritis dengan lebih banyak menghidupkan kelompok-kelompok diskusi, pendidikan masyarakat dan dibarengi aksi di jalanan. Lihat: Syaiful Bahri Anshori, dkk, Fiqh Kewarganegaraan; Intervensi Agama-Negara terhadap Masyarakat Sipil, 2000, (Jakarta: PB PMII) hal, 148
[8] Hal ini dikemukakan oleh Imam Aziz selaku Ketua Umum PBNU yang baru. Lihat, NU Online, Muktamar 2015, Tenggang Waktu PMII “Pulang” ke NU. Edisi Sabtu 01/11/2014
[9] Secara formal NU memang bukan organisasi politik berdasarkan muktamar 1983 di Situbondo dengan pernyataan kembali ke khittah 1926. Tetapi dalam realitasnya semangat politik orang-orang NU masih kuat dan terkadang hal itu melibatkan organisasi NU untuk terlibat. Maka jangan heran, di desa-desa maenstreamterhadap kiai dengan partai politiknya masing-masing masih sangat kental hingga sekarang. Bahkan maenstream tersebut seringkali mengakibatkan perpecahan di internal NU sendiri. Lebih jelasnya lihat: Zainul Arifin, Op.Cit, hal, 115
[10] NU Online, IKA-PMII Setuju PMII Kembali Menjadi Badan Otonom NU, edisi Kamis 19/03/2015


















0 Response to "Menimbang Interdependensi PMII"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel