CHILDFREE DALAM PANDANGAN ISLAM

sumber: Lembaga PPAP Seroja

Islam adalah agama rahmatan lil ’alamin, yang di dalamnya diatur berbagai hal dalam kehidupan, dari hal yang terkecil hingga yang terbesar. Islam hadir sebagai jawaban atas masalah yang dihadapi umat manusia dari zaman ke zaman. Untuk mengetahui respon Islam tentang hukum childfree maka umat manusia bisa mempelajari berbagai nash dan pemikiran dalam mengonter dan menginterpretasikan childfree.

Fenomena childfree di dalam fiqh diilustrasikan sebagai kesepakatan suami dan isteri yang menolak mempunyai seorang anak. Oleh karena itu pertanyaan hukum asal childfree dapat dilihat melalui hukum asal childfree dalam fiqh, yaitu sebelum sperma masuk pada rahim perempuan atau sebelum suami melakukan hubungan seksual. Fiqh telah merekam beberapa kasus yang hampir serupa dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya, seperti sama sekali tidak menikah, menahan diri untuk tidak bersetubuh pasca menikah, dan ‘Azl atau mengeluarkan sperma di luar vagina. Jika dicermati secara substansial, semua kasus sama dengan pilihan childfree dengan sudut pandang menolak mempunyai anak sebelum berpotensi mempunyai (hamil). Imam al-Ghazali terkait hal ini menjelaskan hukum ‘azl adalah boleh, tidak sampai makruh atau haram. 

Dalam syarh ihya’ Imam al-Ghazali menyebutkan:

“Kita mengatakan bahwa ‘azl tidaklah makruh baik dengan arti makruh tahrim dan makruh tanzih, lantaran buat memilih embargo terhadap suatu hal hanya bisa dipengaruhi menggunakan sumber dalam nash atau qiyas dalam nash, meski tidak ditemukan qiyas dan nash yang dijadikan dalil embargo azl. Justru yang terdapat qiyas yang melegalkannya, yaitu sama sekali tidak menikah, tidak berhubungan biologis pasca berkeluarga, atau mengeluarkan sperma sehabis memasukkan penis ke vagina. Sebab semuanya hanyalah tindakan meninggalkan keutamaan, bukan pekerjaan yang bersifat larangan” (Al-Ghazali, 1997).

Berdasarkan dari pendapat Imam al-Ghazali di atas, maka childfree yang dilakukan dengan cara ‘azl hukumnya boleh namun akan berbeda hukumnya ketika childfree ini dilakukan dengan cara meniadakan system reproduksi secara total dan sengaja, karena hukum menghilangkan sistem reproduksi adalah haram. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayed Abi Bakr dalam kitab I’anatu at Thaalibiin yang menjelaskan bahwa penggunaan alat yang dapat memutuskan kehamilan dari sumbernya hukumnya adalah haram (Fauzi, 2017). Oleh sebab itu, apabila childfree adalah menolak mempunyai anak sebelum sperma berada di rahim perempuan, maka hal tersebut termasuk dalam kategori diperbolehkan. 

Pada hadis-hadis lain Nabi Saw menjelaskan tentang perintah menikah dan mempunyai seorang anak:

“Sungguh seorang laki-laki niscaya menyetubuhi isterinya kemudian sebab persetubuhan itu pahala anak laki-laki yang berjihad fi sabilillah, kemudian mati syahid”.

“Siapa yang meninggalkan menikah karena khawatir kesulitan mengurus anak istri maka tidak termasuk dariku. Nabi Saw mengatakannya tiga kali”.

Hadis pertama di atas, dipandang oleh Imam al-Ghazali sebagai jalan untuk memperoleh Musabbab mempunyai keturunan, yang mana kita ketahui bahwa yang smenjadikan anak dalam perempuan hanyalah Allah Swt. Dengan berhubungan suami isteri dan mengeluarkan sperma di dalam rahim perempuan, suami sudah mendapatkan pahala. Oleh karena itu, al-Ghazali menilai hadis ini hanya bersifat anjuran dan boleh apabila ada orang yang memilih untuk tidak melakukannya atau memilih tidak punya anak (Al-Ghazali, 1997). Demikian juga hadis yang kedua di atas, maksudnya adalah tidak sesuai dengan yang diajarkan Nabi, yaitu perihal melakukan pilihan amal yang lebih utama (Al-Ghazali, 1997).

Al-Zabidi (1989) juga memiliki pendapat yang mendukung pendapatnya Imam al-Ghazali. Secara tegas al-Zabidi (1989)menyatakan bahwa: “Karena sebenarnya seorang laki-laki tidak diwajibkan menikah kecuali saat terpenuhi syarat-syaratnya. Sebab itu, bila menikah maka ia tidak wajib melakukan apapun kecuali menginap di suatu tempat bersama isteri dan menafkahinya. Bila ia menyetubuhinya, maka tidak wajib baginya untuk inzal atau memasukkan sperma ke rahim isteri. Karena itu, meninggalkan semua hal tersebut hanyalah meninggalkan keutamaan, tidak sampai makruh apalagi haram”.

Dengan melihat pendapat al-Ghazali dan al-Zabidi (1989) yang membolehkan penolakan mempunyai anak sebelum potensial mempunyai, yaitu sebelum sperma berada di rahim perempuan, maka hukum asal childfree adalah boleh. Meskipun hukum asalnya boleh, akan tetapi dapat berubah seiring dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya (Umam & Akbar, 2021).

Salah satu tujuan menikah yang disyariatkan Islam adalah guna mendapatkan keturunan. Keturunan ini dimaknai dengan memiliki anak kandung dari hasil pernikahan yang dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 1.

Menurut as-Shobuni, secara umum Q.S. an-Nisa’ ayat 1 ini membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan. Dari awal surat sebagaimana disebutkan diatas mengingatkan manusia akan asal usul kejadiannya yaitu dijadikan dari jiwa yang satu, kemudian menikah, mewarisi, menanggung hak dan kewajiban, berketurunan dan lain sebagainya (Hamidy, 2013). Secara khusus dapat dipahami bahwa ayat di atas menjelaskan bahwa memiliki keturunan merupakan salah satu tujuan pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia untuk bisa terus berjalan dan berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya.

Dalam tafsir Katsir (1998) dijelaskan bahwa Rasulullah Saw beserta para rasul sebelumnya juga merupakan seorang manusia yang melakukan aktifitas manusia pada umumnya seperti makan, minum, berjala di pasar, menikah, dan memiliki keturunan (Ibn Katsir & Al-Fida, 1998).

Al-Qurthubi (2008) sependapat dengan tafsiran tersebut, ia berpandangan bahwa Allah Swt telah menjadikan rasul-rasul layaknya manusia biasa yang melakukan apa yang Allah halalkan bagi mereka beserta kenikmatan dunia seperti menikah dan memiliki keturunan, hanya saja yang membedakan mereka dengan manusia lainnya adalah wahyu yang mereka terima (Al-Qurthubi, 2008).

Berdasarkan penafsiran dari Imam Ibnu katsir dan Imam al-Qurhubi jelaslah bahwa pernikahan dan memiliki keturunan adalah fitrah manusia di dunia ini. Allah SWT memberikan kesempatan yang luas kepada manusia untuk menikmati kehidupan dunia bersama dengan pasangan hidup dan keturunan yang baik. 

Pemahaman sebagai konsepsi keturunan merupakan salah satu dari tujuan pernikahan dapat juga dilihat dari firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nahl ayat 72.

Berdasarkan semua firman Allah SWT di atas, dapat dipahami bahwa mempunyai keturunan atau anak adalah fitrah yang dimiliki manusia dan harus disyukuri bersama. Sehingga kehadiran anak dalam perjalanan rumah tangga dan kehidupan bisa menjadi ladang ibadah dan apabila serta membawa kebahagiaan bagi orang tua di dunia dan di akhirat. Dalam hal kegaiatan bahagia memiliki keturunan, Allah Swt berfirman di dalam Q.S. Ali-Imran ayat 14.

Sebagaimana Allah memberikan petunjuk mengenai tujuan dari pernikahan yaitu untuk mempunyai keturunan. Dalam berbagai ayat al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW atas izin Allah juga bersabda tentang bagaimana seorang laki-laki harus menikahi perempuan yang subur dan hal ini mengisyaratkan betapa mulia dan berpahala sesorang yang mempunyai keturunan.

Dalam agama Islam, kehadiran seorang anak merupakan kewenangan dan kehendak Allah Swt dengan melalui proses penciptaan. Orang tua dalam hal ini hanyalah menjadi wasilah lahirnya anak ke dunia sehingga wajar jika anak dianggap sebagai titipan Tuhan kepada orang tuanya yang harus dijaga dan diperlakukan secara manusiawi agar kelak menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berguna bagi nusa, bangsa dan agama (Fadhila, 2022).

Setiap orang tua harus mempersiapkan Pendidikan dan bertanggungjawab atas anaknya. Anjuran untuk memperoleh keturuna harus dibersamai dengan kesadaran penuh akan sebuah tanggungjawab sebagai orang tua, sebagaimana yang telah dijelskan dalam firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 9. Ayat tersebut memberikan penjelasan tentang anjuran memperbanyak keturunan perlu dibersamai dengan perhatian dan kesejahteraan sang anak sehingga anak tersebut bisa hidup dengan baik di dunia ini. Salah satu contoh cara mengoptimalkan pendidikan anak adalah dengan cara mengatur jarak kelahiran anak dan tidak sampai pada menolak kehadiran seorang anak dan memilih childfree.

Berdasarkan kajian nash di atas, dapat dipahami bahwa secara tekstual memang tidak ada satupun ayat yang membahas pelarangan childfree. Namun, secara substansi Q.S. an-Nisa’: 1, Q.S. ar-Ra’d: 38, dan Q.S. an-Nahl: 72 menganjurkan manusia atau pasangan suami isteri untuk memiliki keturunan yang sah dari hasil pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Dalam kajian Islam, childfree bisa diqiyaskan dengan ‘azl. Maksud dari ‘azl ialah menumpahkan sperma di luar vagina. Lebih detailnya al-‘azl secara bahasa berarti melepaskan, memisahkan (Yunus, 1973). Dalam ilmu medis, al-‘azl ini disebut dengan coitus interruptus, yakni melakukan ejakulasi di luar vagian sehingga sperma tidak bertemu sel telur isteri (Yanggo & Anshary, 2002), akibatnya mani yang di keluarkan oleh suami terpencar keluar vagina isteri, atau dengan cara menggunakan alat kontrasepsi baik suami atau isteri untuk menghindari pembuahan (hamil).

Childfree diqiyaskan dengan ‘azl karena hal tersebut secara substansial sama dengan pilihan childfree dari sisi sama-sama menolak wujudnya anak sebelum berpotensi wujud (hamil). Hubungan seksual antara suami dan isteri adalah sebab paling mungkin untuk seseorang bisa mengalami kehamilan. Cara tersebut bisa menjadi jalan pasangan suami isteri untuk tetap hidup bersama, melakukan hubungan seksual bersama tetapi tidak memiliki anak karena sang isteri tidak akan hamil jika sperma suami tidak masuk dalam sel telur isteri. Hubungan suami ini menjadi sebab paling kuat dalam penciptaan manusia, hanya dalam kasus tertentu saja manusia tercipta tanpa hubungan seksual seperti Nabi Adam AS, Siti Hawa, dan Nabi Isa AS (Al-Buthi, 2010).

Dalam Islam, jika niat yang ada hanyalah untuk menunda kehamilan, baik menggunakan alat maupun secara alami tanpa memutus kehamilan dari sumbernya maka hukumnya boleh (Ramli, 1969) dan inilah yang menjadi alternatif bagi pasangan suami isteri yang merasa belum siap untuk memiliki keturunan dengan berbagai faktor yang ada. Selama masa penundaan, pasangan dapat saling belajar untuk mempersiapkan diri dengan matang, baik secara mental ataupun material guna membentuk keluarga yang bahagia bersama hadirnya seorang buah hati. 

Penulis: Adji Pratama Putra

0 Response to "CHILDFREE DALAM PANDANGAN ISLAM"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel