Politik Akal Sehat

 

Sumber: NUSANTARANEWS

Di gerbang Sekolah Akademia (387 SM) tertulis begini: "Yang belum memahami matematika dilarang masuk Sekolah ini." Seolah Plato ingin menegaskan bahwa matematika adalah pelajaran inti di Sekolah itu, karena matematika adalah ilmu pasti yang dapat membantu menyelesaikan persoalan-persoalan manusia di dunia ini. Sama seperti matematika, politik adalah inti kehidupan manusia. Bedanya: matematika bisa dikalkulasi, politik jelas tidak bisa dikalkulasi. Batas itu yang hendak penulis terangkan dalam tulisan ini.

Bicara soal politik, maka titik tolaknya berada pada kehidupan yang merdeka dan adil sebagai prasyarat utama pertumbuhan peradaban, karena dengan kemerdekaan dan keadilan, kualitas peradaban suatu bangsa dan negara semakin meningkat. Maka dalam bukunya yang fenomenal 'The Human Condition', seorang Hannah Arendt menerjemahkan politik sebagai upaya menempuh kemerdekaan dan kebebasan. Ia menyusun teori dan konsep politiknya ke dalam tiga dimensi; kerja, karya, dan tindakan. Bahwa manusia, bagi Arendt, sejatinya adalah makhluk yang bebas dan otonom. Oleh sebab itu tindakan-tindakan manusia --sekalipun bebas-- tidak berarti sewenang-wenang tetapi harus berbasis pada kepentingan bersama untuk menyusun kehidupan yang lebih beradab dan rasional. Maka politik harus diamplifikasi ke dalam kerja-kerja komunal supaya menghasilkan karya-karya yang konkrit dan lebih bermanfaat untuk sesama manusia.

Demokrasi dan Ekonomi

Hal mendasar yang patut diberi perhatian penuh oleh negara republik Indonesia adalah multikrisis bangsa yang terjadi sejak tahun 1997 sampai sekarang, mulai dari krisis ekonomi sampai krisis sensitivitas kemanusiaan. Menjadi penting bagi kita untuk segera melakukan rekonstruksi sistem dan struktur-struktur yang ada. Dalam konteks ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Paulo Freire, bahwa masyarakat memiliki banyak kesadaran; di antaranya adalah kesadaran kritis, disamping kesadaran magis dan naif. Artinya bahwa masyarakat harus mulai menyadari dirinya sebagai sesuatu yang belum selesai, bukan sesuatu yang sudah dikehendaki oleh takdir. Oleh karena itu, kesadaran kritis bertanggung jawab untuk mendeteksi akar dari persoalan bangsa ini, dan sekaligus bertanggung jawab untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik. 

Ketika berbicara kemiskinan dan ketidakadilan, kesadaran kritis akan membaca bahwa yang terjadi adalah akibat dari sistem dan struktur yang tidak memadai. Perlu adanya ruang untuk menciptakan kesempatan supaya masyarakat terlibat aktif dalam proses dialog "penciptaan struktur dan sistem" sebagai supremasi kedaulatan rakyat. Sehingga rakyat bisa leluasa mengekspresikan kehendaknya untuk kemajuan bangsa dan negara.

Demokrasi segera menyiapkan ruang-ruang itu untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapi bangsa ini, sehingga masyarakat Indonesia baik elit maupun massa sudah siap menghadapi transisi secara kritis, supaya tidak digoyahkan oleh kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan, dan tidak terjebak ke dalam situasi sektarian. Kick off, sektarianisme menyebabkan keangkuhan, anti dialog, dan reaksioner. Dan pay off, kaum sektarian-kanan maupun kiri menganggap dirinya sebagai pemilik sejarah, pembangun tunggal, dan satu-satunya pengatur roda sejarah. Kita tidak boleh larut dalam suasana-suasana yang demikian menyebalkan. 

Jangan ada lagi ambisi-ambisi "yang sana ingin menghentikan jalannya sejarah, yang sini ingin mendahuluinya." Frasa 'kami' dan 'mereka' harus melebur menjadi 'kita': kita adalah bhinneka tunggal ika. Sudah saatnya kehadiran transisi ini dari otoritarianisme ke demokrasi dinikmati sebagai perayaan humanisasi rakyat Indonesia; tidak ada lagi fanatisme berlebihan atas golongan tertentu yang dapat menyebabkan irasionalitas dalam berpolitik, tidak ada lagi tebar-menebar kebencian yang dapat menimbulkan tindakan brutal dan anarkis, sehingga bangsa ini beralih menjadi bangsa yang humanis dan berkeadaban. 

Ketika dialog sudah terbuka lebar dan kesamaan kesempatan diberi jalan, maka implikasinya terhadap banyak sektor, salah satunya adalah laju kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi. Dasar konstitusi kita adalah kesetaraan dalam bidang ekonomi: Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Maka dalam kaitannya dengan sumber daya alam, diperlukan adanya detil-operasional untuk mendistribusikan kekayaan alam secara merata sebagai basis kemandirian ekonomi bangsa ini. Bung Hatta sudah menelurkan ide 'koperasi' sebagai ruh dan semangat ekonomi kerakyatan, sementara Bung Karno telah menyumbangkan kata 'land reform' sebagai tindakan konkrit dari gagasannya tentang Marhaenisme. 

Jelas tidak ada alasan bagi generasi hari ini untuk tidak mengembangkan ide-ide brilian dari para pendahulunya supaya bangsa ini merdeka secara penuh; tidak saja merdeka secara de jure tetapi juga secara de facto; tidak saja merdeka secara politik tetapi juga secara ekonomi, dan juga sekaligus untuk menuntaskan harapan Tan Malaka yang menghendaki bangsa ini merdeka seratus persen.

Membangun Karakter Bangsa

Karakter itu ibarat pondasi dari sebuah bangunan, dan akar dari sebuah pohon. Maka kokoh atau tidaknya sebuah bangunan bergantung pada seberapa kuat pondasinya, dan besar atau tidaknya sebuah pohon bergantung pula pada seberapa kuat akarnya. Demikian juga dengan satu bangsa, menjadi besar atau kerdil ditentukan oleh karakter dan jati dirinya sebagai bangsa. Maka menjadi penting untuk melakukan pembentukan karakter (character building) dalam diri kita sendiri. Dalam membentuk karakter dan jati diri bangsa, perlu kiranya kita mencontoh empat komponen yang ada dalam diri Nabi Muhammad Saw: sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathanah (cerdas). Pemimpin yang jujur bisa membawa rakyatnya berbuat jujur, pemimpin yang tidak jujur rakyatnya jadi penipu. Kejujuran adalah awal kemenangan. Dan begitu seterusnya

Maka perlu adanya korelasi antara rakyat dan pemimpinnya untuk membangun watak dan kebiasaan yang baik secara berkelanjutan. Ada pemimpin yang punya keluhuran budi, ada rakyat yang memiliki kebersihan nurani. Ada pemimpin yang bijaksana, ada rakyat yang suka rela. Ada pemimpin yang sederhana, ada rakyat yang suka cita. Dengan demikian, proses pembentukan karakter bangsa ini semakin cepat dan terarah sehingga memperkuat jati diri dan ketahanan diri. Kita akan jadi bangsa yang berjalan tegak penuh percaya diri di tengah keperkasaan bangsa-bangsa lain.

Partai dan Pemilu

Jika berbicara soal demokrasi, paling tidak mencakup dua hal: struktur dan kultur. Struktur adalah instrumen untuk menyediakan fasilatas berlangsungnya demokrasi dan selanjutnya menata kehidupan masyarakat yang lebih konstruktif. Struktur demokrasi bisa berupa undang-undang, eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif, pemilihan umum, dan lain sebagainya. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah instrumen teknis untuk melahirkan pemimpin-peminpin baru dalam politik selama lima tahun sekali. 

Tentu saja bidikan utama pemilu 2024 adalah menuntaskan uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas: kemiskinan dan keadilan, kesempatan yang sama dalam politik formal, kesetaraan ekonomi, kesetaraan hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya, menjamin kebebasan berekspresi, menghentikan ego sektarian, dan membangun karakter bangsa. 

Berikutnya adalah kultur demokrasi. Kultur demokrasi tak bisa dibangun dalam jangka waktu yang singkat, tapi harus dikembangkan secara pelan-pelan dan bertahap. Di sinilah partai politik harus ambil peran penting, yaitu jadi public educator. Artinya partai politik harus merangkap jadi sekolah-sekolah, dan mewariskan ide dan gagasannya kepada generasi muda sehingga generasi muda dapat dibekali dengan kemampuan konseptual yang mumpuni dalam bidang politik dan demokrasi. Bertebaranlah pikiran-pikiran besar bangsa ini, dan terbang melanglang buana bersama garudanya. Demikian harapan-harapan mulia yang harus dititipkan kepada pemimpin-pemimpin baru dari hasil pemilu tahun 2024 nanti.

Penulis: Moh Rizal, Kader PMII Ashram Bangsa.


0 Response to "Politik Akal Sehat"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel