BEKIKUK

Oleh: Eko Nurwahyudin*
Sumber gambar: artsmarts4kids.blogspot.com

 “Alhamdulillah. Kalau Gusti Pengeran tidak Maha Bijaksana, tentunya kita sudah kepergok mencuri dua tahu isi ini. Bonyok dihajar? Mungkin tidak, tapi di-dropout? Ah, pantaslah buat cecunguk macam kita ini!” ucap Bekikuk.  “Kalau bukan karena kepet dihajar lapar tak ada uang serecehpun dalam dompet dan tak berhasil cari hutangan, tak akan aku mencuri. Apalagi ajak-ajak kau segala. Tapi, siapa juga yang peduli denganmu kalau bukan aku? Mereka? Halah mbelgedes! Setelah lusa lalu kita kritik mereka habis-habisan, mana mungkin mereka masih peduli denganmu?” tambahnya dengan intonasi yang meninggi, sedikit mengusik kumpulan mahasiswa-mahasiswi yang tengah asik membicarakan topik-topik perkuliahan.

“Goblok! Pelankan suaramu, nanti mereka mengadu ke pihak kampus, tamatlah kita” ucapku menenangkannya.

“Mereka payah! Aku berani taruhan, mereka tak bakal berani melapor sekalipun mereka dengar aku koar-koar terus terang. Toh mereka terlalu sibuk dengan tugas kuliahnya!”.

“Matamu picek! Maludi segede itu tak kelihatan?” ujarku cemas sambil menjitak kepalanya. “Pelankan suaramu kuk!”.

“Halah, tenang aja,” sahut Bekikuk cepat mengentengkan. “Dia kan teman kita satu bendera. Kalau sampai dia mengadu, kebangetanlah dia! Berarti sia-sia dong prosesnya dari kader sampai selesai kepengurusannya kalau masih tak anggap kita sahabatnya?” terusnya lebih menyepelekan. “Hahaha kau, takut dia bakal melapor?” ejeknya makin menjadi.

Aku ketar-ketir. Toleh kanan, toleh kiri. Toleh depan, toleh belakang. Kupingku kubuka lebar-lebar, seakan tempat pembuangan akhir yang sedia menampung semua obrolan tak bermutu orang-orang di lingkup taman. Dan pupil mataku yang telampau cilik dibandingkan kedua lubang kupingku akhirnya hanya cukup menampung satu penjuru saja. Ya, terlebih kupandangi lingkaran Maludi dan kader-kadernya.

Dua kali lima menit berselang. Belum ada suara-suara lirih ataupun lantang yang mengancam. Apa semua yang ada di taman ini tak dengar Bekikuk ceplas-ceplos barusan? Mana mungkin mereka budek! Pura-pura? Ya, Kemungkinan besar mereka pura-pura.

Tapi Maludi kenapa dia tenang-tenang pula? Padahal dia dedengkotnya pergerakan yang tak kenal kompromi. Mentalnya? Pastilah jauh bila dibandingkan mahasiswa yang cuma kuliah pulang, kuliah pulang. Kenapa dia masih tenang-tenang? Apa kesaksian Bekikuk cuma dikira candaan semata? Ah, mana mungkin.

“Kau masih sehat kan? Masa gara-gara sepotong tahu isi curian kau keracunan? Sudahlah aku jamin dia tak bakal mengadu ke kampus!” ujarnya. Bekikuk yang mengerti aku masih ketar-ketir meneruskan,  “Halah, kekhawatiranmu itu terlalu berlebih. Takut kau dengannya?”.

Aku masih saja terdiam. Mengamati gigi-giginya yang kuning.

“Aku yang urus dia kalau berani ngebacot! Ribet!” tegasnya menyatakan kesanguupan.

“Pelankan suaramu kuk! Mau cari masalah kau?” pintaku kedua kali.

“Halah, kau itu ya kayak baru kenal aku kemaren sore. Kau masih ragu padaku? Aku bisa lobi dia. Kalau kau masih tak percaya, kau minta aku mengeksekusinya kapan saja perkara gampang”.

Lobi? Orang macam Maludi mau dilobi? Eksekusi? Ditantang berkelahi? Meskipun Maludi kurus kering gitu, aku yakin ia berani ladeni Bekikuk yang jauh lebih bongsor. Tak berlebih kiranya aku menilai. Pasalnya, semester pertama tahun 2014 kala itu, pernah kusaksikan sendiri, dia yang jadi kordinator aksi demonstrasi kenaikan BBM di jalan utama dan orasinya yang lantang tak redam oleh sekompi pasukan berseragam lengkap dengan senapan yang memagar di Barat dan Timur. Bahkan ketika massa aksi lintang pukang, dibubarkan paksa dengan tembakan gas air mata ia tak lari. Orang macam dia bisa dilobi?

“Hoi!” teriaknya mengaggetkanku. “Melamun apa kau? Kau masih tak percaya padaku? Begini-begini aku sedikit bisa silat. Orang ceking macam dia tinggal kucengkiwing, banting, kupukuli apa susahnya?”.

“Gundulmu main otot, adu jotos! Kau kira ini masih jaman Orba? Dilaporkan masuk builah kau! Bukan Cuma kau, aku juga bakal kau seret-seret”.

“Hahahaha. Lha katanya senasib sepenanggungan? Macam mana kau itu? Ah, masa aku masuk bui kau juga tak ikut” gelagaknya meletup. “Bercanda cuk! Jangan masukin hati,” pintanya sambil mengelus-elus punggungku, seakan ia mengajak rujuk kekasihnya yang tengah rajuk. “Tenang saja, lagipula minggu depan aku kiriman, langsung aku bayar lebih dari harga dua tahu isi ini. Langsung aku bayar lebih” tambahnya menegaskan lagi.

“Ah, sialan kau mencla-mencle! Pertama kau bilang tak benarkan kita mencuri, tapi omonganmu dari tadi terus-terusan mengentengkan. Mbelgedes!”.

“Ealah mana ada cecunguk yang nggak mbelgedes? Kalau bukan gara-gara kepepet, perut melilit nggak ada duit apa mau dibuat? Mau kau puasa sampai tiga hari lagi? Nunggu seminar? Keburu teparlah kita dikoyak lapar. Kasihan badanmu itu tunggu tiga hari cuma buat sekedar bisa berak! Udahlah kalau kau tak suka muntahin aja! Ribet!” ujarmu kecut, memutus perdebatan.

Kau menghela nafas panjang. Sementara ritme nafasku masih teratur, seperti ritme langkah gerombolan mahasiswa yang beranjak pulang. Kedua biji matamu yang mulai bergerak liar kebingungan namun lamban, membuatku gemas ingin mencongkel dan menggigitnya. Kau mulai berpaling. Entah dalih apa lagi yang akan keluar dari moncongmu?

Agaknya hampir tiga topik obrolan Maludi dan kader-kadernya berganti. Kira-kira tiga kali tigabelas menit lamanya aku belum juga bersuara, begitu juga kau. Posisi punggung kita telah jadi cekung.

“ Eh eh, itu cewek taksiranmu kan?” ujarmu sambil menuding. Aku berpaling mengikuti kuasa telunjukmu.

Diancuk!”

“Sebegitu suka kau dengannya? Sampai bisa kukibuli. Hahahaha. Siapa namanya? Aku lupa,” ejeknya. “Bukankah kini dia pengurus baru di bendera biru? Kalau tak salah dia kan penerus generasi Maludi?” tanyanya seperti seorang dosen yang sedang memberikan kuliah alakadarnya. “Ah, ya! Namanya Rahmi kan? Hmm orang macam kau berani naksir dia? Dia itu adik organisasinya Maludi loh! Hebat berani naksir dia kau?” ujarnya sambil mengecap.

.           “Bawel kau!” jawabku singkat jengkel.

“Jujur saja! Orangnya cantik juga ya? Kok agaknya aku mulai tertarik ya? Berani kau saingan denganku? Hahaha,” tantangnya. “Kalau kau tak suka, mending kugarap saja dia”

“Maksudmu? Hahaha orang macam kau begini bisa jangan mimpi jadi kekasihnya? Makan aja kita masih kerepotan” ejekku, disusul letupan tawamu.

“Terus orang macam kau?”.

“Tentunya lebih besar peluangnya daripada kau dan Maludi” tegasku.

“Ah, kan sudah kuduga kau suka. Bajingan kau, kenapa tak bilang jujur saja perkara begini. Muluk sekali!”.

“Mana ada maling yang mau ngaku kuk? Pikir! Kau juga yang ajari aku muluk dan pintar berdalih”.

Tertawa kita akhirnya pecah.

“Ayo cari minum!” ajakmu.

“Kemana?”.

“Masjid” jawabmu singkat sambil menggeret tanganku memaksa pergi.

Aku masih menoleh kebelakang. Kursi panjang dan sebuah meja yang alpa, bekas pantat yang masih hangat kita tinggalkan di kursi panjang itu, dan pertanyaan-pertanyaan bodoh mengikutiku, “Berapa lama lagi gerombolan Maludi dan kader-kadernya duduk di sana cengengesan? Berapa banyak topik pembicaraan lagi yang mereka bicarakan? Apakah pengakuan bodoh Bekikuk tentang pengalaman mencuri dua potong tahu isi dan percakapan panjang kami tentang lobi-lobi, dalih, dan pembenaran akan jadi pergunjingan mereka? Kalau iya, berapa lama mereka akan menggunjing? Apakah akan jadi sekedar bahan gunjingan yang tawar dan biasa saja atau bahkan jadi lelucon yang mengundang gelak tawa? Kalau begitu tak perlulah aku khawatir” batinku.

Aku menoleh ke belakang lagi. Meja dan kursi panjang bekas kita duduki telah disinggahi, dua lingkar mahasiswa buyar, dan Maludi beserta kader-kadernya masih tenang-tenang saja.

“Cepatlah! Haus benar aku” pintanya.

Azan ashar berkumandang. Entahlah, kumandang suaranya terasa lebih keras dari biasanya. Aku menoleh ke belakang, memastikan. Nyatanya tak ada jejak langkah kami. Semakin mengecil dan hilang dari pengelihatan.

Kumandang azan makin keras. Tigabelas jangkah lagi masjid berada. Pertanyaan-pertanyaan yang kian bodoh kembali mendera : “Masih pantaskah aku meminta kehausan yang berlebih dariMu? Masihkah Engkau sudi jadi Maha Bijak bagi kami? Masihkah Engkau sudi jadi Maha Pengasih bagi kami? Bolehkah kami meminum airMu sampai kembung?”
 ***

            “Gusti Pangeran kan nggak pernah tidur. Tenang, minggu depan aku dapat kiriman. Nanti kita bayar dua potong tahu isi yang kita curi tadi. Tak usah kau berlebihan terhadap Maludi dan kader-kadernya atau gerombolan mahasiswa-mahasiswi di taman tadi. Lagipula tiga tahun lebih kita kuliah, dari seratus teman di jurusan kita sendiri saja coba kau hitung berapa sih yang berani bersuara? Tiga tahun proses di organisas kau masih saja polos! Sudah lupa kau, malahan kita pernah lebih bangsat daripada sekarang ini? Nasib baik kita sudah berhenti jadi tukang minta-minta. Sodor proposal ke institusi-institusi atau ke senior-senior. Nasib baik kita belum jadi broker-broker handal semuda ini! Buat acara-acara seminar, gelembungin prososal, tilep kucuran dana. Bah! Kau pikir dana sebesar itu buat satu kali acara dari mana? Dari warung-warung makan atau warung kopi yang kita masukin proposal? Kau sendiri tau, mentok kita cuma dikasih gula, sama kopi. Dari uang anggota? Berapa banyak jumlah anggota yang mau iuran sukarela? Buat makan sendiri aja masih kebingungan cari utangan. Dari senior yang udah jadi orang? Halah mbelgedes! Punya uang banyak dari mana mereka? Dari gaji mereka? Apa kau pikir senior-senior yang sudah jadi orang itu lebih prioritaskan gajinya buat mendanai acara-acara kita? Halah mbelgedes! Mereka tentu lebih milih kebutuhan keluarganya dulu. Lantas uang banyak itu dari mana? Masih saja kau belaga bego. Tenang saja perkara Maludi dan kader-kadernya. Yakin mereka tak bakal bersuara. Kita aja anggap kebobrokan di banyak organisasi aja diam apalagi Maludi dan kader-kadernya bakal tak peduli perkara kita mencuri dua potong tahu isi ini. Apalagi yang kau khawatirkan dari mereka terutama si Maludi itu? Apa karena dia kuliah di fakultas hukum dan mantan dedengkot gerakan? Mbelgedes! Sudahlah tak usah pikir macam-macam.Lebih baik sekarang kita pikir besok makan apa? Oh ya, cari pinjam uang sama Rahmi aja. Gimana berani kau? Gengsi? Kalau gengsi besok kita mencuri lagi saja” ujarmu semakin ngawur.

Ah, mungkin Bekikuk kembung. Lihat! sepanjang pulang, langkahnya sempoyongan.

Warkop Lico, 02 September 2017

*Penulis adalah kader PMII  Rayon Ashram Bangsa
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2014 (Korp Aliansi Pejuang Indonesia)

Keterangan kata:
Gusti Pangeran : Tuhan YME
Mbelgedes : kata slang jawa untuk menggambarkan ketidakpercayaan, ketidakberesan
Dropout : hilang data atau dikeluarkan
Ngebacot : banyak cakap atau cerewet, bawel
Diancuk atau cuk : bahasa jawa bisa berarti celaan atau dalam konteks pergaulan biasanya digunakan dalam percakapan sebaya bisa diartikan bro.










0 Response to "BEKIKUK"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel